Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Sunday, February 24, 2008

Diary HATI #2

Indonesia Mandiri Energi: Kenapa Tidak?

Bagai kelaparan di lumbung padi. Inilah yang bisa menggambarkan fakta pengelolaan energi di negeri ini. Ya, zamrud khatulistiwa yang kita diami saat ini memang terkenal sebagai suatu negeri yang kaya raya dengan segala potensi alam yang dimilikinya baik di laut dan di darat. Namun, sayangnya kekayaan alam kita tampaknya tidak berbanding lurus terhadap tingkat kemajuan dan kesejahteraan penduduknya.

Di satu sisi, Indonesia memiliki cadangan emas terbesar kedua di dunia (Papua). Indonesia juga memiliki cadangan minyak sebesar (per 1 Januari 2006) 8,68 miliar barel, yang terdiri dari 4,37 miliar barel cadangan terbukti dan 4,31 miliar barel cadangan potensial, dan potensi gas bumi sebesar 169,4 tcf, yang terdiri dari 93,9 tcf cadangan terbukti dan 75,5 tcf cadangan potensial. Belum lagi dengan potensi energi alternatif lainnya seperti.. tenaga uap bumi, tenaga surya, batu bara dll. (www.bpmigas.com)

Namun di sisi lain, Bank Dunia melaporkan bahwa lebih dari 100 juta atau hampir setengah penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan yaitu dengan standar penghasilan di bawah Rp18.000/hari. (Media Indonesia, 11/12/2006). Tingkat pengangguran hingga Februari 2006 saja sudah mencapai angka 106,3 juta orang yang tentu meningkat pula pada tahun 2008 ini. Kenaikan harga BBM di kepemerintahan SBY tentunya membuat banyak warga yang semakin terhimpit.

Fenomena terbaru adalah terpangkasnya subsidi BBM yang mendorong pemerintah untuk membatasi penggunaan bensin bersubsidi. Untuk motor dibatasi 1 liter bensin premium / hari sedangkan untuk kendaraan pribadi lainnya dibatasi 3-4 liter/hari dan tak dibatasi untuk angkutan umum (SCTV, Februari 2007). Bayangkan bagaimana produktivitas dan kinerja masyarakat dengan kondisi seperti ini? Padahal, tingkat kebutuhan BBM untuk setiap orang bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing.

Realita yang Paradoks

Mirisnya realita energi bangsa ini sudah menjadi opini umum dan semakin ramai diperbincangkan oleh pelbagai kalangan mulai taraf elit hingga buruh, mulai politisi hingga akademisi . Hal yang menarik di antaranya adalah kenaikan harga BBM yang berkali-kali lipat dalam periode terakhir. Pada saat yang sama terlihat jelas intervensi perusahaan swasta asing seperti MNC atas sumber daya energi bangsa.

Pascapenerapan UU Penanaman Modal pertama kali pada 1978, gerbang liberalisasi sumber-sumber energi ke tangan asing melalui MNC (Multi National Company) semakin terbuka lebar hal ini bisa terlihat dari privatisasi BUMN yang ada, termasuk badan pengelola energi.

Contohnya, Kilang LNG Arun Aceh yang memiliki cadangan 1,7 triliun kubik gas dimiliki oleh pertamina (55%,) Exxon Mobile (30%), dan Japan Indonesia LNC Co. (15%). Blok Cepu dengan cadangan 781 juta barel (versi Exxon) ternyata dikuasai oleh Exxon Mobile (45%), daerah (10%) dan pertamina (45%). Papua dengan cadangan emas terbesar kedua di dunia, dikuasai oleh Freeport (81,28%), PT Indocopper Investama (9,4%) dan pemerintah (9,4%) dan berbagai contoh lainnya. Secara umum, menurut Ketua Kaukus Migas Nasional, Efendi Sirodjuddin, 70 % industry migas Indonesia dikuasai oleh Amerika Serikat.

Belum lagi jika kita melihat bahwa pembagian hasil ini dilakukan setelah pemerintah membayar cost recovery, yaitu penggantian seluruh biaya oprasional yang dikeluarkan dalam mengelola sumber-sumber energi tersebut. Tentu pendapatan pemerintah sesungguhnya sedikit dan jauh lebih menguntungkan pihak swasta/asing.

Reorientasi Paradigma Pengelolaan Energi Nasional

Permasalahan mendasar dari pengelolaan energi berdasar dari suatu paradigma bahwa energi adalah bagian dari private goods sehingga setiap orang/instansi bebas memiliki dan mengelolanya baik asing maupun dalam negeri. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang seharusnya dikelola langsung oleh negara bisa digunakan untuk rakyat, disedot oleh perusahaan swasta asing.

Mengembalikan Peran Negara

Dengan demikian, jawaban dari permasalahan energi nasional adalah dengan merubah paradigma yang selama ini memandang energi sebagai private goods yang bebas diperjualbelikan oleh individu/swasta menjadi public goods yang sejatinya milik bersama warga dan wajib dikelola oleh negara. Kendati jika ada perusahaan multinasional yang ingin bekerjasama maka sejatinya negara dan masyarakat harus diuntungkan dengan sistem bagi hasil yang proposional tanpa menimbulkan suatu ketergantungan terhadap pihak asing.

Hari Esok: Tantangan dan Kesiapan

Menolak intervensi asing atas sumber daya Indonesia yang telah merampok kekayaan bangsa ini tentu belum tentu diintepretasikan bahwa kita mendukung bahwa sistem BUMN konvensional yang ada saat ini. Mungkin dari segi manajerial, pemasaran, kedisiplinan, dan profesionalitas, MNC menawarkan performansi sistem yang lebih baik. Justru inilah tantangan kita. Menuju Indonesia mandiri energi bukanlah hal yang mudah tetapi harus dilakukan.

Dari Mana dan Bagaimana?

Pertama: reorientasi paradigma pengelolaan energi dari liberalisasi menuju sentralisasi demi kemakmuran rakyat. Kedua: adanya dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah yang benar-benar berdedikasi kepada rakyat seperti upaya pengembangan iptek, penelitian untuk dalam negeri. Ketiga : kesiapan teknologi dan persiapan sarana dan prasarana eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi termasuk pendirian industry hulu. Keempat: perlunya perombakan dan perbaikan sistem di negeri ini secara mendasar dan komprehensif. Sebab, kemandirian energi ini juga perlu dukungan perbaikan sistem ekonomi, politik, pendidikan dan tentunya regulasi yang kuat dari pemerintah.

Namun, keempat hal di atas sulit terealisasikan tanpa adanya langkah inisiasi awal yang kuat dan pasti. Dengan demikian, menuju Indonesia mandiri dibutuhkan langkah kelima : pengopinian yang kontinu kepada seluruh kalangan sehingga terbentuk kesadaran massal akan pentingnya kemandirian energi bagi Indonesia Di sinilah peran kita sebagai mahasiswa untuk memberikan penyadaran dan pengopinian tersebut kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait menuju kemandirian energi. Jadi, Indonesia mandiri energi ? Kenapa tidak! (nayla)

Diary HATI #1

Wajah kampus yang berubah...

Pasca BHMN-isasi ITB sejak tahun 2000, nuansa kapitalis kian menyengat. Fenomena baru pun bermunculan, seperti dibukanya jalur USM, kenaikan SPP, pembukaan jurusan SBM, hingga ke masalah parkir … Hmm… ada apa sih dengan ITB?

Implementasi BHP

Semua perubahan ini tidak lain adalah akibat dari implementasi BHP (kendati secara hukum masih berbentuk BHMN) sebagai suatu paradigma baru pendidikan di Indonesia. Ya, ITB adalah salah satu dari institusi pendidikan yang telah meterapkan konsep BHP ini.

BHP atau Badan Hukum Pendidikan sesungguhnya telah diinisiasi sejak tahun 2003 dan akan disahkan pada bulan Maret 2008 nanti.

Esensi dari BHP adalah otonomisasi suatu institusi pendidikan (seperti sekolah dan universitas) dalam mengelola dan meningkatkan kinerjanya. Dengan demikian, Pemerintah tidak lagi menjadi sentral pengambilan kebijakan.

Sebaliknya, sekolah atau universitas diarahkan sebagai ‘mesin pendidikan’ yang tidak hanya menyelenggarakan kegiatan akademik dan penelitian melainkan juga dalam hal pendanaan secara mandiri.

Gerbang Kapitalisasi Pendidikan yang Semakin Terbuka

Dengan kacamata baru yang ditawarkan BHP ini, institusi pendidikan dipandang tak ubahnya sebuah perusahaan mandiri pada umumnya: lepas dari tanggung jawab negara. Akibatnya, suatu institusi pendidikan harus mencari sendiri sumber pendanaan yang pada akhirnya akan bermuara pada kapitalisasi pendidikan.

Seperti halnya ITB saat ini, yang harus mencari dana pendidikan sendiri baik melalui riset-riset atau proyek-proyek yang didanai asing, penutupan jurusan yang tidak marketable, atau meningginya biaya masuk ITB hingga puluhan juta rupiah.

Sangat miris, pendidikan kini dipandang sebagai komoditas yang diperjual belikan. Dampaknya, mau tidak mau masyarakat harus membayar lebih mahal untuk mengecap pendidikan yang lebih baik dan berkualitas.

Pengembalian Peran Pemerintah

Menyikapi isu BHP ini, Pemerintah sebagai center regulator sebuah negara sesungguhnya tidak bisa angkat tangan dari dunia pendidikan. Indonesia dengan segala kekayaan alamnya yang melimpah ruah jelas mematahkan argumentasi ketidakmampuan negara dalam pendanaan pendidikan nasional, bukan justru memandirikan institusi pendidikan dengan BHP ini.

Hak Seluruh Warga Negara

Pendidikan merupakan ‘hak’ seluruh warga negara, bukan hanya SD sampai SMP melainkan juga hingga tingkat universitas.

Pendidikan sejatinya bukanlah sekedar pilihan komoditi konsumsi, melainkan sebuah kebutuhan mendasar suatu bangsa yang akan melahirkan individu problem solver di masa depan.

Saatnya menjadi mahasiswa yang kritis!

Sebagai bagian dari ITB, sudah seharusnya kita lebih tanggap dan kritis pada setiap fenomena yang ada. BHP telah hadir sebagai suatu konsep pendidikan baru yang jelas-jelas telah membuka lebar gerbang kapitalisasi dunia pendidikan.

Lalu, dimanakah kita?

Diary HATI kali ini tentu tidak bisa mengupas isu BHP secara keseluruhan.

Untuk itu, female-HATI mengajak sahabat-sahabat untuk bergabung bersama kajian female HATI lebih lanjut. Hmm.. Mau???