Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Tuesday, April 29, 2008

Diary HATI #7

NAMRU-2, Sebuah Intervensi Asing di Balik Lembaga Penelitian

Ah, akhirnya bangsa ini bersuara juga! Baru saja bangun dari tidur lelapnya, masyarakat –meski dengan tertatih-tatih dan perlahan, serta masih dalam keterkejutan atas fakta baru yang mereka ketahui—kian gencar menentang NAMRU, sebuah Lembaga Penelitian AS yang konon telah bertengger di bumi pertiwi ini selama 40 tahun lamanya. Sungguh, sebuah interval waktu yang terlalu lama bagi jutaan orang untuk terdiam, sepi, tanpa kata. Sebuah kejanggalan yang akhirnya berujung pada sebuah pertanyaan: apakah tidur lelap bangsa ini terjadi alami begitu saja , ataukah ada kesengajaan untuk sebuah tidur massal dari 200 juta orang Indonesia?

Lalu, apa yang tiba-tiba membangunkan masyarakat? Hingga mereka bisa begitu berani menentang NAMRU ini, dari kelas grass root yang dipromotori mahasiswa hingga tataran pemerintah? Benarkah berita tentang agenda terselubung yang ia miliki? Apa makna semua ini? Kawan-kawan ITB, ada apa sebenarnya dengan NAMRU?

Apa sih NAMRU itu?

Di tengah naiknya isu NAMRU di beberapa bulan terakhir ini, tentunya pasti masih ada segelintir orang yang bertanya dengan polosnya, “Apa sih NAMRU itu? “. Tak heran, dan justru untuk menjawab pertanyaan itulah tulisan ini hadir.

NAMRU-2 (The US Naval Medical Reseach Unit Two) merupakan sebuah lembaga riset yang berada di bawah otoritas Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia1). NAMRU tersebar di berbagai negara misalnya Mesir (NAMRU-3), Thailand, Kenya, dan Peru. Lembaga riset ini melakukan bertugas meneliti penyakit menular dan penyakit tropis, termasuk malaria, muntaber, AIDS, dan flu burung di Indonesia. Tentu dari sini ada banyak pertanyaan yang bermunculan: apa kepentingan di balik semua ini? Bagaimana bisa ada di Indonesia? Bagaimana dampaknya bagi bangsa Indonesia?

Pada awalnya, memang NAMRU diundang oleh pemerintah RI untuk mengatasi wabah samplar di Jawa Tengah (1968) dan wabah malaria di Papua (1970). Berkat penelitian dan solusi NAMRU, memang wabah samplar akhirnya bisa diatasi. Akan tetapi, pada kedatangannya yang kedua kali, NAMRU hadir di negeri ini dengan membawa sebuah MoU yang ditandatangani Siwabessy (Menkes AS) dan Francis Galbraith (Dubes AS). Melalui MoU inilah, NAMRU-2 berdiri dan terus melakukan penelitian di Indonesia, meski tidak ada wabah baru yang signifikan atau bahkan saat ini ketika kontrak kerjasama telah habis.

Berbagai Kejanggalan dari Sebuah Lembaga Penelitian

Pertama, inferioritas kewenangan pemerintah RI atas NAMRU-2. Kendati berada di atas lahan milik DepKes RI, di daerah Rawasari, Jakarta, pemerintah RI sejatinya tidak memiliki gigi sama sekali atas pengaturan dan pemantauan riset yang ada di NAMRU-2 ini. Belum ada regulasi resmi dari pemerintah yang bisa diberikan dan membatasi aktivitas di NAMRU-2 ini. Alih-alih itu, pada 1987 NAMRU justru membuat lab riset di Jayapura. Bahkan, status NAMRU-2 di Indonesia dinaikkan ketika NAMRU di Filiphina ditutup, atas legitimasi WHO yang menunjuk NAMRU-2 sebagai basis riset kesehatan Asia Tenggara, sekali lagi tanpa kekuatan kebijakan Indonesia.

Kedua, status kekebalan diplomatik yang dipertanyakan. Pada tahun 2008, Wiranto pernah berkoar-koar mempertanyakan status 23 peneliti AS yang memiliki kekebalan diplomatik. Mereka dengan bebasnya keluar masuk negeri ini atas nama urusan diplomatik, tanpa pemeriksaan. Jelas hal ini membahayakan pertahanan dan keamanan Indonesia.

Ketiga, ketidaktransparansian hasil riset. Hal ini sudah menjadi isu umum dan membuat NAMRU-2 jumpalitan menjawab pertanyaan publik mengenai hasil riset selama 40 tahun ini. Ya, selama ini NAMRU memang sama sekali tidak mempublikasikan hasil-hasil temuannya sama sekali, ke DepKes sekalipun. Jika memang atas dasar kerjasama kedua negara, bukankah timbal balik informasi sudah menjadi harga mutlak?

Keempat, kaitan erat NAMRU-2 dengan Protokol Verifikasi Konvensi Senjata Biologi. Dalam suratnya kepada Presiden BJ Habibie, Menlu Ali Alatas menjelaskan bagaimana Indonesia dibebani oleh protokol ini, terutama dalam hal deklarasi dan investigasi yang ditetapkan areanya sebesar 500 km2, padahal NAMRU-2 berada di tengah kota Jakarta.

Saatnya Introspeksi , Berbenah Diri, dan Bergerak!

Ini bukan sekedar masalah kesehatan. Ini juga menyangkut masalah wilayah penyebaran dan masalah yang semakin kompleks. Bangsa ini harus kembali belajar untuk bersatu, disiplin dan bertindak cepat mencari jalan keluar”, ujar Siti Fadilah Supari dalam bukunya Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.

Pascaaksinya yang menghebohkan dunia internasional dengan membongkar kejanggalan penanganan kasus virus H5N1, kini Bu Menkes menjadi gerah dan tidak bisa tinggal diam melihat kejanggalan NAMRU-2. Dan memang, naik daunnya isu ini berawal dari aksi bu Menkes ini yang gencar berbicara di publik.

Sedikit Analisis

Fenomena NAMRU-2 ini mengindikasikan lemahnya kebijakan polugri (Politik Luar Negeri) bangsa ini dan mengakibatkan tergadainya kedaulatan Indonesia. Seharusnya, jika memang NAMRU-2 didirikan atas dasar kerjasama bilateral, maka akan ada hubungan take and give yang terjalin. Namun pada faktanya tidak sama sekali. Indonesia hanya diam, tak memiliki otoritas apa-apa. Bahkan seorang Menteri Kesehatan pun sangat sulit untuk bisa masuk dan melihat aktivitas riset di NAMRU ini.

Di sisi lainnya, NAMRU-2 harus diwaspadai oleh semua kalangan termasuk kita sebagai mahasiswa. Di balik ketidaktransparansian riset terdapat indikasi adanya kepentingan dan agenda terselubung. Bayangkan , dengan program NAMRU ini, AS memiliki data base penyakit berbahaya di Indonesia (dan juga di berbagai belahan dunia lainnya, mengingat NAMRU tersebar di berbagai negara strategis). Benar kata Bu Siti, ini bukan lagi permasalahan kesehatan. Ini adalah permasalahan pertahanan negara kita! Ini bisa dilihat bagaimana dalam kunjungan MenKes RI ke Amerika yang dipertemukan dengan Menteri Pertahanan Keamanan AS, bukan Menteri Kesehatan AS. Artinya, AS memiliki agenda/kepentingan mengenai pertahanan keamanannya.

Hei Guys, What Should We Do?

Dari peristiwa ini, sebuah pengopinian dan pencerdasan publik perlu dilakukan. Cukup sudah masyarakat terdiam selama ini. Selain itu, kita perlu meninjau kembali makna dari riset dan penelitian yang dilakukan selama ini. Sebagai civitas akademik, tentu kita tahu bagaimana peran riset seharusnya ditujukan untuk membangun bangsa, bukan untuk kepentingan kelompok/negara tertentu. Dari sini, kita juga bisa memproyeksikannya pada peneltian-penelitian yang ada di kampus kita ini. Seberapa banyak di antaranya yang mengarah pada problem solving permasalahan masyarakat ataukah lebih banyak untuk kepentingan asing yang mendanai riset-riset tersebut?

Selanjutnya, kita perlu menghimbau pemerintah untuk meningkatkan keberanian yang lugas dan tegas terutama dalam kebijakan Polugri. NAMRU-2 tentu tidak bisa terus berjalan jika pemerintah memiliki bargaining position yang kuat sehingga kedaulatan negeri ini tidak lagi tergadaikan.

Potret Sejarah, Teladan Gratis bagi Indonesia

Miris sekali rasannya jika melihat bangsa ini, tidak hanya SDA, tidak hanya SDM, bahkan kedaulatan dan harga diri bangsa pun yang tergadaikan. Tampaknya Indonesia perlu belajar. Indonesia perlu berbenah. Penelitian strategis perlu diberi atensi lebih. Kekuatan polugri perlu ditinjau kembali.

Jika berkaca pada sejarah, kita bisa melihat sebuah contoh yang jauh berbeda dengan apa yang diterpakan oleh Daulah Khilafah Islamiyah selama 13 abad. Riset/penelitian dan perkembangan teknologi mendapatkan dukungan yang besar dari Daulah Khilafah. Riset ditujukan untuk kemaslahatan ummat bahkan penduduk dunia sekalipun. Jika, AS saat ini melakukan penelitian untuk kemanfaatan tertentu, penelitian daulah Khilafah Islamiyah kala itu justru berkontribusi positif pada dunia. Sebut saja Avicenna (981-1037 M) yang dielu-elukan para ilmuwan barat di bidang kedokteran, tak lain adalah Ibnu Sina yang mengeluarkan mega karyanya, Qonun (Canon) tentang perawatan penyakit jantung.

Kontribusi riset pada zaman Daulah Khilafah Islam lainnya antara lain: anatomi (Mansh Ibn Muhammad), fisiologi (Ibn Nails al-Qarshi) yaitu mengenai teori sirkulasi darah minor, 3 abad sebelum William Harvey yang diklaim dunia sebagai pengagas teori tersebut, atau pada bakteriologi (Ibnu Sina, Ibn Khuatimah). Abul Hasan, dokter dari Adud al-Daulah memperkenalkan proses pendarahan sebagai metode penanganan cerebral haemorrage (pendarahan otak). Riset fundamental dan orisinal juga bisa kita lihat pada kitab al-Tsarif oleh Abdul Hasim al-Zahrawi mengenai teknik bedah tengkorak, dan masih banyak riset lainnya. Tak hanya itu, tingginya atensi pemerintahan daulah khilafah Islam akan kesehatan ummat dapat dilihat dari begitu banyaknya rumah sakit yang dibangun pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad. Model rumah sakit daulah khilafah Islam pada abad 14 ini menginspirasikan model-model rumah sakit di daerah lain, khususnya Italia dan Prancis, pasca perang Salib (Shahib al-Kutb, 2002. Science and Islam. London: Khilafah Publication).

Begitu pula dengan penjagaan kedaulatan negara, daulah khilafah islamiyah berhasil menunjukkan bagaimana ia disegani oleh negeri-negeri lain di dunia kala itu. Jika pemerintah saat ini hanya diam menyaksikan NAMRU-2 bercokol selama 40 tahun lamanya, maka beda dengan apa yang dikatakan Sultan Abul Hamid 2 yang dengan lugas menolak Israel yang membujuknya untuk menjual tanah Palestina.

Sahabat, NAMRU-2 kiranya bisa menjadi bahan perenungan dan bukti yang bisa membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan negeri ini. Sebuah keheningan publik selama 40 tahun tampaknya cukup memberikan bukti otentik bagaimana Indonesia benar-benar dalam intevensi asing, yang kali ini berkedok lembaga penelitian. Hal ini harus berubah. Siapa lagi yang merubahnya kalau bukan kita? Okey, Bu Siti Fadilah Supari bisa menjadi teladan dari sisi keberaniannya membongkar fakta-fakta. Namun, ia tidak bisa sendiri. Ia membutuhkan kita. Ia membutuhkan mahasiswa! Kita perlu mencerdaskan dunia, kawan-kawan!

Pertanyaannya adalah, dengan apa kita merubah Indonesia yang lemah menjadi Indonesia yang superpower? Islam telah memberikan bukti empirik pada saat penerapan Islam komprehensif di bawah naungan daulah Khilafah Islamiyah dengan wilayah 2/3 dunia, bahkan menjadi peradaban teladan sepanjang masa. Lantas, mengapa tidak kita coba membangun Indonesia dengan Ideologi Islam?

Sunday, April 20, 2008

Sedikit Kata di Hari Kartini

21 April...

Sebuah hari… merenungi, memaknai

Tentang sebuah makna

Tentang sebuah arti

Wanita dan kehidupan

Sungguh, sebuah pembahasan menarik tiada henti

Namun apalah arti dari satu hari ini

Jika ia pergi, tak berjejak, tak berarti

Ya, apalah arti dari hari ini?

Mungkin sebuah hari tuk meninjau kembali

Makna penciptaan Tuhan atas kaum hawa

Dengan berbagai misi dan kontribusi

Dengan berbagai persoalan dan solusi

Untuk itu, kami ingin berbagi

Bersama, mencari dan mengkaji

Dengan indahnya Islam ideologi

Sahabat...

Kami tunggu selalu di HATI…!

———————————-

Female of HATI

Perjuangan Kartini BUKAN Perjuangan Feminis

Diary # 6


Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka



Syair lagu di atas adalah sepenggal lagu yang sering kita nyanyikan ketika kita masih duduk di bangku TK dan SD dulu. Apalagi kalo upacara bertepatan dengan tanggal 21 April, pasti lagu ini tidak terlewat untuk kita nyanyikan. Bukan begitu?


R.A. Kartini termasuk golongan bangsawan alias
priyayi di Jawa. Beliau adalah putri R.M. Sosroningrat, bupati Jepara. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Akan tetapi, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.


Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman yang berasal dari Belanda. Lewat surat-surat inilah kita mengenal R.A. Kartini.


Ketika saya duduk di Sekolah Dasar,R.A. Kartini digambarkan sebagai pejuang emansipasi wanita,
Kartini berjuang agar kaum perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan kaum pria, seperti yang sekarang diperjuangkan oleh kaum feminis. Namun, benarkah realitanya demikian?


Pada awalnya Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Akan tetapi teman, semua orang akan berubah seiring berjalannya waktu dan dengan bertambahnya ilmu yang ia tahu. Begitu pun dengan Kartini. Begitu ia mengenal Islam, pemikirannya berubah, sebagaimana yang ia ungkapkan kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat:
Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? Bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?
Ya.. begitulah teman.. seandainya saja Kartini lebih awal memahami Islam… (
and how about us?)


Tapi, tidak ada kata terlambat bagi Kartini!! Setelah ia mengetahui kebenaran, peradaban mana yang layak untuk diikuti, ia pun kembali mengungkapkannya pada sahabatnya, sebagaimana yang ia katakan pada Abendanon:


Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah Ibu menyangkal di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?


Kartini memang memiliki keinginan untuk mendobrak adat-istiadat yang cenderung mengurung kaumnya terjebak dalam kebodohan. Akan tetapi, Kartini menyadari perbedaan yang secara alami dimiliki laki-laki dan perempuan yang menjadikan mereka memiliki peran masing-masing dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Perjuangan Kartini bukanlah untuk menyamaratakan peran laki-laki dan perempuan seperti yang diperjuangkan kaum feminis dan antek-anteknya yang menginginkan kesetaraan gender, kesetaraan dalam semua hal.

Pejuangan Kartini adalah dalam kerangka mengubah keadaan kaum perempuan saat itu agar mendapatkan haknya diantaranya adalah pendidikan yang juga merupakan kewajiban kaum perempuan. Hal ini terlihat dalam tulisannya kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902:


Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.


Seandainya Kartini ada di masa ini, ia pasti akan berada di garda terdepan untuk meluruskan kaum feminis yang menggunakan namanya untuk mendukung perjuangan mereka.
Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.
(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)


“Habis Gelap Terbitlah Terang“ itulah judul buku berisi surat-surat Kartini yang disusun kembali oleh Armijn Pane. Dan semoga kita pun dapat menjadi penerang di tengah kegelapan (kebodohan dan keterjajahan bangsa ini) dengan cahaya pemikiran Islam yang akhirnya akan menghasilkan sebuah pergerakan menuju kebaikan. Amin. Smangat!!

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada Cahaya (iman)...

(Al-Qur‘an [2]:257)

(Ayu)

Friday, April 11, 2008

Diary HATI #5

Kaleidoskop Mahasiswa, Dulu dan Sekarang

10 tahun lalu, dunia menjadi saksi tumbangnya rezim otoriter sangat represif yang telah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Jangan pernah anggap remeh kekuatan rezim ini, karena pilar-pilar penyokongnya tidak hanya tertancap di nusantara, namun bercokol dii seantero dunia. Siapa yang menyangka kekalahan diktatorian ini sedikit banyak dipicu ‘hanya’ oleh aksi yang dimotori mahasiswa? Namun begitulah faktanya. Mahasiswa berhasil mendobrak gerbang reformasi.

30 tahun lalu. 1977, satu sejarah yang tak banyak diketahui dunia. Penyerbuan kampus-kampus di Indonesia, termasuk ITB. Tak tanggung-tanggung, tentara yang ditugaskan ‘membersihkan’ kampus adalah Kodam VIII Brawijaya, suatu ‘pasukan perang’ yang baru saja pulang bertugas dari Timor Timur. Terlihat bahwa gerak represif pemerintah terhadap kampus disebabkan aksi terlalu peduli mahasiswa dalam mengkritisi pelaksanaan pemilu ketiga di Indonesia saat itu.

Saat itu mahasiswa dikenal sebagai satu strata di masyarakat yang mampu menunjukkan taringnya melawan represivitas rezim, membela satu nilai idealitas dan menyuarakan kebenaran.

Namun..

Tahun 2000, ITB memulai program separuh BHMN sebagai kampus pertama yang melakukan langkah awal BHMN-isasi kampus se-Indonesia. Sesuatu yang jelas termasuk langkah-langkah privatisasi pendidikan yang merugikan masyarakat. Mahasiswa diam.

Tahun 2006, tambang minyak baru nan melimpah ruah ditemukan di Cepu, namun entah mengapa, pengelolaan (baca:pemanfaatannya) harus mengikuti perbandingan 45:55 antara Pertamina dengan Exxon Mobil milik AS. Mahasiswa bungkam.

Tahun 2008, masalah BLBI mencuat kembali. Tak tanggung-tanggung, negara merugi 400 trilyun lebih! Selain itu, juga tersiar kabar rencana swastanisasi PLN ditengah kondisi masyarakat yang kian sulit, terbukti dengan kasus kelaparan yang terjadi di Makasar. Mahasiswa kembali tenggelam. Arus mahasiswa yang bergerak lebih kecil dibanding arus mahasiswa yang lebih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Lalu Kita?

Kawan, aku hanya mencoba menuliskan kembali serentetan peristiwa yang pernah terjadi, dan membandingkannya dengan keadaan kita saat ini.Aku gelisah. Persoalannya adalah, cukup pedulikah kita melihat ketidakpedulian mahasiswa?! Tidak hanya di ITB, tapi juga di pelosok kampus seantero tanah air. Pedulikah kita melihat tingkat ‘kepedulian’ mahasiswa terhadap masyarakat yang makin tereduksi, dan hanya menyisakan sedikit rasa peduli dalam diri sendiri?! Atau justru saat ini kita tengah terbuai menikmati dan ikut ambil bagian dalam komunitas ini?! Komunitas yang siklus berpikir dan bertindaknya beriorientasi hanya pada profit. Pada keuntungan. Pada nilai tanpa makna. Komunitas yang sepakat bahwa ‘kuliah’ adalah perdagangan, bisnis. yang keuntungannya akan dipetik ketika telah bekerja pada perusahaan-perusahaan bonafid dengan gaji puluhan juta rupiah.

Jika pola berpikir seperti itu telah mengakar urat pada mahasiswa negeri ini, wajar jika kehidupan kampus hanya diisi kegiatan ‘belajar’ dan ‘bersenang-senang’, yang diakhiri dengan pencarian koneksi untuk menemukan ‘lapangan pekerjaan’. Selesai. Sedikit sekali esensi yang dapat diambil apalagi dirasakan oleh masyarakat. Lantas kalau begitu, apa bedanya kampus kita ini dengan lembaga kursus, yang khusus mencetak karyawan-karyawan professional?! Murni knowledge transfer, tanpa value.

Kawan, kampus bukan sekedar wahana untuk mempelajari kalkulus, fisika, kimia, sistem utilitas, termodinamika, dsb. Tidak hanya itu. Namun lebih dari semuanya, kampus merupakan wahana untuk mempelajari kehidupan. Mempelajari masyarakat, dan mengaplikasikan segala macam ‘ilmu’ yang kita dapat di kelas ke dalam kehidupan kita, Masih ingat saat OSKM dulu?! Sering sekali dikumandangkan bahwa kita adalah segelintir orang yang beruntung dapat merasakan status dan fasilitas intelektual sebagai mahasiswa. Kita-lah orang-orang yang beruntung berstatus mahasiswa ITB dibadingkan 238 juta penduduk Indonesia. Kita-lah tumpuan harapan masyarakat untuk mengatasi segudang masalah yang tengah merajalela! Kita! Bukan orang lain! Wajar bukan jika kukatakan kita punya kewajiban untuk menolong masyarakat, dan meningkatkan kemajuan peradaban manusia. Setuju denganku?!

Persoalannya, apakah mungkin kita mengatasi permasalahan masyarakat jika kita tidak pernah peduli dengan itu semua? Tidak pernah peduli dengan akar permasalahan masyarakat? Atau bila kita hanya melulu disibukkan dengan ‘karir akademik’ ditambah mimpi ‘karir bonafid’ di masa depan?

Apa, Mengapa dan Bagaimana..

Kawan, ‘Ilmu’ yang kita pelajari setengah mati selama 4 tahun di kampus ini bukanlah segalanya. Ia hanya berperan sebagai tools. Alat. Kita-lah yang menentukan, digunakan untuk apakah alat itu. Tak jauh berbeda halnya seperti pisau tajam, yang dapat digunakan untuk membunuh orang atau sekedar untuk memotong kentang.

Setajam apapun alat yang kita miliki tidak akan berarti apapun jika kita tidak tahu cara penggunaannya. Jika kita hanya memfokuskan pencapaian diri kita pada penguasaan ilmu itu saja, tanpa memahami esensi dan filosofi ‘akan digunakan untuk apa ilmu ini’, nothing’s we get! Orang lain yang akan mengarahkan kita, dan kita akan selalu menjadi ‘pekerja’. Mungkin memang kita akan mendapat gaji puluhan juta dari Caltex atau Schlumberger, tapi benarkah hanya materi yang kita cari?! Bukankah Allah sendiri telah menawarkan surgaNya yang seluas langit dan bumi? Dan ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir pahalanya, selamanya.

Kawanku Mahasiswa ITB, aku yakin, kita semua telah cukup dewasa untuk memahami esensi penciptaan diri kita. Tak perlu lagi dibahas panjang lebar bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepadaNya bukan?! Aku pun yakin, bahwa kawan semua telah menyadari bahwa saat ini masyarakat tengah berada dalam keadaan terpuruk. Sakit secara multidimensional. Masalah publik bangsa tidak bisa diselesaikan dengan baik dan menyebabkan penderitaan disana sini. Pendidikan, kesehatan, energi dan listrik, pelayanan umum, ekonomi, dan masih banyak lagi masalah yang melingkupi masyarakat. Ketidakadilan terjadi dimana-mana, dan rakyat tidak dapat berbuat apa-apa melihat kekayaan alam negerinya dirampok tangan-tangan asing yang merajalela. Mengalirkan air mata penderitaan.

Kawanku mahasiswa ITB, tidak dapat dipungkiri, posisi kita sebagai manusia yang diamanahi kecerdasan dan intelektualitas tinggi ditambah dengan status mahasiswa di Institut ternama yang ‘didengar’ di negeri ini memiliki kekuatan tersendiri.

Masyarakat membutuhkan kita, kaum intelektual yang akan menyelamatkan dan memperbaikii peradaban. Bukan intelektual mahacerdas yang terpenjara dalam kenikmatan gelimang gajji sekian-sekian, atau hasil penelitian ‘yang dipesan’ dan hanya teraplikasi oleh asing tanpa mengakomodir kepentingan masyarakat.

Rakyat membutuhkan kita, sekarang! (hasna)

Diary HATI #4

Menggagas Ketahanan Nasional Indonesia melalui Pengelolaan Energi*)

Sebuah Pendekatan Ekonomi-Politis atas Permasalahan Energi

Kenaikan harga minyak hingga menembus angka psikologis 100 USD per barrel benar-benar telah mengkhawatirkan kondisi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Selain itu, isu krisis energi akan menghantui masa depan negeri ini.

Sudah saatnya bagi kita untuk melakukan reorientasi terhadap kebijakan energi nasional demi Indonesia yang kuat dan kokoh. Pertanyaannya adalah: bagaimana kaitan antara kemandirian energi terhadap ketahanan nasional? Apa saja alternatif solusi permasalahan energi ini? Manakah konsep pengelolaan energi yang valid, reliable dan terbukti keandalannya—baik secara empiris maupun teoritis, dalam skala lokal maupun global—dalam mendukung ketahanan nasional Indonesia?

Apakah yang Dimaksud dengan Ketahanan Nasional?

Ketahanan dalam konteks negara dapat dianalogikan layaknya sistem imun dalam tubuh manusia. Baiknya kinerja sistem imun dapat diindikasikan oleh stabilnya kondisi tubuh kendati ancaman dari berbagai serangan virus dan kuman muncul setiap saat. Jika kinerja sistem imun ini menurun, maka tubuh akan semakin mudah terserang penyakit. Begitu pula dalam konteks negara. Apabila ketahanan suatu bangsa menurun, maka negeri tersebut akan semakin mudah mengalami permasalahan akibat adanya gangguan-gangguan (baik dari dalam maupun dari luar). Kegoncangan dan ketidakstabilan dalam negeri di seluruh aspek bisa dengan mudah terjadi jika ketahanan nasional ini lemah.

Menurut Departemen Pertahanan Nasional RI, Ketahanan Nasional (Tannas) Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Dalam memenuhi tujuan ini, tentu energi memegang peranan yang sangat penting.

Energi sebagai Unsur Ketahanan Nasional

Energi merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi kehidupan dan kegiatan pembangunan bangsa, serta penggerak roda perekonomian Indonesia. Energi merupakan unsur penting dalam pembangunan dan kemandirian bangsa, maka penyediaan dan pemanfaatannya harus berpedoman pada tujuan untuk tercapainya kemakmuran rakyat Indonesia yang berwawasan lingkungan untuk pertahanan negara (Baca juga: Diary Hati #3, “ Energi bagi Ketahanan nasional” dan Diary HATI #2 Indonesia Mandiri Energi: Kenapa Tidak?”).

Ketika pasokan energi di suatu negara kurang atau bermasalah, maka alutsista di negara tersebut menjadi lumpuh. Hal ini membuat pertahanan negara menjadi lemah dan negara tersebut bisa menjadi hancur. Senada dengan hal ini, George W. Bush dalam State of the Union address, January 28, 2003, mengatakan, “Our third goal is to promote energy independence for our country, while dramatically improving the environment….”.

Selayang Pandang Permasalahan Energi Dunia

Tak dapat disangkal lagi bahwa energi ini telah menjadi komoditas bisnis bahkan komoditas politik. Hal ini dapat terlihat dari permasalahan energi yang timbul akibat tidak stabilnya kondisi geopolitik di berbagai belahan dunia (Nigeria, Iraq, Venezuela, Libya). Dari catatan fluktuasi harga minyak dunia, terlihat kenaikan ekstrim harga minyak dunia tidak semata-mata diakibatkan keterbatasan persediaan melainkan adanya permasalahan politis di daerah-daerah penghasil minyak dunia.

Selain itu, krisis energi juga diakibatkan peningkatan konsumsi energi dunia seperti China, India dan Rusia. Ditambah pula oleh faktor teknis lainnya yaitu sulit dan mahalnya pengeksplorasian, pengembangan dan produksi sumber minyak karena faktor geologi. Di lain sisi, program diversifikasi dalam pengembangan sumber energi alternatif masih memiliki berbagai kendala seperti rendahnya efisiensi, isu lingkungan, dan ketidaksiapan dukungan teknologi.

Permasalahan Energi Indonesia

Di Indonesia sendiri, pemakaian energi perkapita masih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Selain itu, energi pun belum sepenuhnya dipakai sebagai aset penggerak ekonomi untuk menaikkan GDP. Permasalahan utama di Indonesia adalah tumpuan terbesar masih pada satu-dua jenis energi saja (80% Migas, 95.5% Migas-Batubara). Tentunya, kondisi ini menciptakan kerentanan yang sangat tinggi pada ketahanan pasokan energi nasional.

Mirisnya lagi, di tengah krisis energi ini, industri migas Indonesia justru 70% dieksplorasi asing (Ketua Kaukus Migas Nasional, Efendi Sirodjuddin). Hal ini terjadi akibat adanya liberalisasi dan privatisasi energi yang semakin dipermudah oleh adanya UU Penanaman Modal. Akibatnya, Indonesia ibarat ladang subur bagi para kapitalis untuk mengeruk kekayaan alam bangsa ini.

Alternatif-Alternatif Solusi bagi Energi Indonesia

Saat ini kita mempunyai dua pilihan: tetap mengizinkan privatisasi kekayaan alam Indonesia termasuk sumber-sumber energi atau mengembalikannya kepada negara. Jika kita masih mendukung pilihan pertama yaitu adanya privatisasi, maka konsekuensinya seperti sekarang : ’perampokan’ kekayaan alam oleh asing, sedangkan lebih dari 50% penduduk Indonesia miskin, antrian minyak tanah dimana-mana, atau kesulitan memperoleh energi seperti yang dialami kasus PT Arun di Aceh padahal perusahaan ini berada tak jauh dari sumber energi.

Pilihan kedua, negara kembali mengambil perannya sebagai pengontrol dan pemegang kekuasaan dalam pengelolaan energi nasional. Sebagai pembanding, kita bisa melihat bagaimana Venezuela berani membatalkan perjanjian dengan pihak multinasional company sebab telah merugikan Venezuela. Dengan berani Hugo Chavez membatalkan perjanjian dengan MNC tersebut kendati diancam akan diboikot oleh AS. Alih-alih takut, justru mereka memilih untuk mengambil alih pengelolaan energi nasional dengan menjadikan negara sebagai penguasa.

Apa hasilnya? Penguasaan sumber energi oleh negara, diikuti peningkatan pembangunan, pertumbuhan industri, penurunan tingkat ketergantungan, hingga peningkatan pelayanan sosial seperti pendidikan dengan peningkatan rasio guru – siswa hingga 1 : 15 untuk siswa SMA atau pendingkatan produksi buku hingga 50 juta eksemplar / tahun (S. Nurani, 2007. Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal. Yogyakarta: Resist Book).

Ya, keberanian Hugo Chaves dengan revolusi Bolivarian ini tentu bisa ditiru dan secara sekilas nampak menyejahterakan. Akan tetapi, bisakah hal ini berlangsung lama? Berangkat dari dasar yang diambil yaitu konsep ekonomi sosialis maka akan kita lihat penyamarataan kekayaan bagi seluruh warga negara, misalnya ketidaksepadanan usaha dan upah riil pekerja. Di satu sisi memang terdapat pengaturan produksi dan distribusi akan tetapi yang digunakan adalah sudut pandang kolektif , bukan dengan melihat apakah kebutuhan pokok tiap individu terpenuhi. Sehingga yang terjadi adalah pemaksaan dan perampokan kekayaan, bukan pengaturan. Konsep ini tentu sangat tidak sesuai dengan fitrah manusia yaitu keinginan manusia dalam memiliki sesuatu.

Jadi, jelas sosialisme dengan asas ‘sama rasa sama rata’nya tidak bisa diharapkan. Kapitalisme dengan motif ‘mencari keuntungan sebanyak-banyaknya’ juga sangat merugikan. Lantas, apa alternatif lain yang bisa kita cari? Kini kita sampai pada solusi Islam.

Energi dalam Perspektif Sistem Ekonomi Islam

Menyikapi permasalahan energi ini, dalam pandangan sistem ekonomi Islam sumber daya energi termasuk dalam kategori kepemilikan umum. Dalilnya dari sabda Rasulullah SAW:

«اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الثّلاَثِ: فِي الْمَاءِ وَ الْكَلاَءِ وَ النّارِ»

Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Jika sumber daya energi termasuk kepemilikan umum, siapa yang harus mengelolanya? Jawaban menurut perspektif ekonomi Islam adalah negara. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh sumber daya energi untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyatnya.

Bagaimana jika negara menjual komoditas tersebut kepada rakyatnya? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dari kelanjutan Hadits di atas yang berbunyi: wa tsamanuhu haromun (dan harganya adalah haram). Maknanya adalah: mengambil tsaman yaitu keuntungan dari harga yang diambil dengan menjual ketiga komoditas tersebut hukumnya adalah haram.

Bisa saja energi ini dibebani tarif namun hanya sebatas biaya produksi saja, bukan untuk keuntungan. Dengan menolak privatisasi SDA, bukan pula berarti sistem ekonomi Islam menolak secara mentah-mentah kerja sama dengan asing. Tenaga kerja asing boleh dipekerjakan, namun hanya sebatas teknis dengan dasar keuntungan bersama—bukan pemilik—sebab rakyatlah pemiliknya dan negara hanya pengelola.

Bagaimana dengan persoalan krisis energi yang saat ini tengah melanda Indonesia? Tugas negara adalah melakukan eksplorasi ladang minyak dan diversifikasi sumber daya energi untuk kepentingan rakyatnya. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa harga komoditas energi itu mahal, sulit, membutuhkan teknologi yang tinggi, membutuhkan modal yang besar. Allah SWT telah menyiapkan segenap sumber daya energi di alam ini secara melimpah untuk kepentingan hidup manusia.

Dengan demikian, pemerintah harus tetap berorientasi pada kecukupan energi untuk rakyat misalnya dengan mengarahkan potensi minyak fosil dengan didukung pengembangan non-fosil (diversifikasi). Contoh diversifikasi yang sangat potensial misalnya nuklir dan mikrohidro atau yang lainnya. Akan tetapi, diversifikasi ini juga harus dikembangakan dengan berorientasi pada kemaslahatan rakyat bukan sebagai lahan bisnis baru semata.

Permasalahan Energi? Kembali pada Islam !

Di sini, Islam telah menyajikan suatu solusi pengelolaan energi dengan konsep yang jelas: mengembalikan posisi kepemilikan sumber daya energi kepada pemiliknya yang hakiki, yaitu rakyat. Tugas negara hanyalah mengelolanya untuk kepentingan seluruh rakyatnya.

Mengapa harus Islam? Selain karena berasal dari sumber yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu bersumber dari Zat yang Maha Sempurna, solusi Islam juga telah terbukti secara empirik keampuhannya dalam menjawab berbagai problematika manusia yang kompleks yaitu ketika selama 13 abad terbangun sebuah negara adidaya dengan ketahanan nasional yang luar biasa dengan naungan aturan Islam ini.

Apa ini sekedar romantisme sejarah? Tentu tidak, untuk itu saatnya kita memproyeksikannya kepada Indonesia sebagai suatu alternatif riil bagi pengaturan energi menuju ketahanan Indonesia yang lebih baik. (nayla)

*) Improved from the resume of seminar HATI, Pengelolaan Energi sebagai Unsur Ketahanan Negara dalam Kerangka Otonomi Daerah, 18 Maret 2008