Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Monday, September 26, 2011

Materi LiKa #3

Kenali Tuhanmu, Teladanmu dan Petunjuk Jalan Hidupmu

Kenali Tuhanmu

Mungkin kita pernah bertanya, “ benarkah ada Tuhan?” , ” Apa iya ada sesuatu yang menciptakan aku, kamu, alam ini? “ , “ sedang apa Tuhan?”

Jika ya, maka sungguh sangat mudah untuk menjawabnya. Mengapa? Karena kita memiliki akal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya saja akal memang memiliki keterbatasan. Dia hanya mampu memahami hal-hal yang bisa diindera oleh manusia. Oleh karena itu, kenalilah Tuhan kita dengan memperhatikan hal-hal di sekitar kita yang bisa kita indera. Dengan akal, kita bisa memperhatikan bahwa ada dua jenis manusia, ada hewan, tumbuhan, kehidupan, dan sebagainya, akal akan menyimpulkan bahwa semuanya itu terbatas, bahwa semuanya membutuhkan kepada Zat yang Maha, Zat Yang tidak Terbatas, Zat yang Menciptakan, Dialah Tuhan.

Alquran sendiri mengajak kita untuk memperhatikan apa yang ada di sekitar kita.

Kami benar-benar memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu benar. (QS 41: 53).

Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi serta semua yang telah Allah ciptakan? (QS 7: 185).

Tidakkah manusia itu berpikir bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sementara (sebelumnya) tidak ada sama sekali? (QS 19: 67)

Di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin; juga pada diri kalian sendiri. Lalu mengapa kalian tidak memperhatikan? (QS 51: 20-21).

Sebaliknya, Alquran maupun Hadis Nabi melarang kita untuk memikirkan (bahkan mempertanyakan) hal-hal yang metafisis ( yang notabene tidak bisa kita kita indera). Dalam salah satu surahnya, misalnya, Allah berfirman:

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh (nyawa). Katakanlah, “Ruh itu adalah bagian dari urusan-Ku; tidaklah kalian diberi ilmu pengetahun kecuali sangat sedikit.” (QS 17: 85).

Sementara di dalam suatu hadisnya, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Berpikirlah kalian tentang makhluk; jangan kalian berpikir tentang Al-Khâliq.” (H.R. Abû Nu‘aym dalam Al-Hidâyah)

Kenali Teladanmu

Setelah keimanan kita kepada eksistensi Al-Khâliq, akal kita juga memahami bahwa manusia pastilah butuh terhadap nabi/rasul. Hal ini bisa dipahami dari dua alasan:

Pertama, secara fitri, manusia butuh untuk menyembah apa yang dia akui sebagai Tuhan. Tata cara menyembah ini tentu tidak bisa ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena jika demikian, dia bisa jadi menyembah dengan cara yang tidak Tuhan sukai, akhirnya dia jatuh pada kesesatan. Jadi, tata-cara penyembahan mestilah datang dari Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, manusia membutuhkan nabi atau rasul untuk menjadi penyampai informasi bagaimana sesungguhnya Tuhan kita mau disembah.

Kedua, manusia tentu dalam kehidupannya butuh aturan. Dia butuh aturan bagaimana dia makan, apa yang baik dan buruk untuk dia makan, bagaimana dia berkeluarga, bagaimana dia bergaul di tengah masyarakat, bagaimana dia melakukan kegiatan ekonomi, juga bagaimana dia hidup dalam sebuah negara. Semua ini butuh aturan, dan jika aturan ini diserahkan pada manusia, tentulah akan mengantarkan pada perselsihan dan kerusakan. Perilaku mengumpulkan harta-kekayaan secara ilegal yang bisa merugikan pihak lain, pelacuran, dan homoseksualitas, hanyalah sedikit saja contoh dari perilaku destruktif akibat manusia mengatur dirinya sendiri.

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al Baqarah: 213)

Oleh karena itu, aturan-aturan di atas mesti datang dari Tuhan. Sebab, Tuhanlah yang paling mengetahui hakikat manusia. Oleh karena itu pula, manusia memerlukan contoh/teladan bagaimana dirinya memenuhi tuntutan-tuntutan di atas. Sampai di sini, rasionalitas akal kita akan membenarkan bahwa manusia memang membutuhan adanya nabi/rasul, sebagai representasi dari pelaksanaan aturan-aturan Tuhan dalam mengatur pemenuhan atas kebutuhan manusia.

Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Kenali Alquran, Petunjuk Hidupmu

Keberadaan risalah yang dibawa oleh nabi/rasul tentu saja perlu diuji, sebab tidak sedikit manusia yang mengklaim dirinya nabi atau utusan Tuhan (nabi/rasul gadungan), mengklaim pula bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu.

Sebagai umat Nabi Muhammad saw., kita tentu saja berhak untuk menguji kebenaran risalah yang dibawa oleh beliau, yakni Alquran. Oleh karena Alquran secara faktual berbahasa Arab, maka ada tiga kemungkinan untuk menguji kebenaran Alquran bahwa ia memang benar-benar risalah yang langsung bersumber dari Allah. (1) Alquran adalah karangan bangsa Arab. (2) Alquran adalah karangan Nabi Muhammad, karena beliaulah yang membawanya. (3) Alquran adalah benar-benar firman Allah sebagai risalah yang langsung diberikan kepada pembawanya.

Kemungkinan pertama secara teologis terbantahkan. Sebab, Alquran sendiri dalam sejumlah ayatnya telah menantang orang-orang Arab untuk membuat karya yang serupa dengan Alquran, walaupun hanya satu surah saja. Secara historis, sejak Alquran pertama kali turun hingga detik ini, tantangan tersebut terbukti tidak pernah terjawab; tak ada seorang Arab pun yang mampu melakukannya.

“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13).

Kemungkinan kedua secara historis maupun didasarkan pada realitas empiris juga tidak terbukti. Sebab, Muhammad adalah bagian dari komunitas bangsa Arab juga. Betapa pun jeniusnya, ia tetaplah orang Arab, apalagi ia adalah seorang yang ummi. Oleh karena itu, hal yang rasional jika Muhammad tidaklah mungkin merupakan orang yang membuat Alquran.

Selain itu, kita mengetahui bahwa, di samping menyampaikan risalah Allah berupa Alquran, pada saat yang bersamaan Nabi Muhammad juga mengeluarkan banyak hadis, Akan tetapi, para pakar linguistik Arab maupun para sastrawan Arab, dengan mudah menemukan bahwa secara struktural maupun gaya penuturan, Alquran berbeda jauh dengan Hadis-hadis Nabi. Sementara tuduhan orang-orang kafir bahwa Alquran tidak lebih merupakan sesuatu yang disadur oleh Nabi Muhammad dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr, juga dibantah langsung oleh Alquran sendiri. Bukti-bukti empiris di atas sekaligus menafikan anggapan bahwa Alquran merupakan karya Nabi Muhammad, dan sekaligus menegaskan bahwa Muhammad betul-betul seorang nabi dan rasul Allah.

“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata:‘Bahwasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab yang jelas” (TQS. An-Nahl [16]: 103).

Jika demikian realitasnya, berarti hanya kemungkinan ketigalah yang benar-benar valid dan bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional, yakni bahwa Alquran memang merupakan firman Allah yang disampaikan langsung oleh Diri-Nya kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril . Tidak ada kemungkinan lain di luar itu dilihat dari perspektif empiris bahwa Alquran itu berbahasa Arab. Kemungkinan di luar itu tak lebih merupakan ilusi atau fantasi belaka. Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memang tidak mau berpikir, atau memang orang yang tidak punya pikiran.

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan Kamilah yang akan menjaganya". (AL Hijr 15:9)

Konsekuensi Keimanan kepada Allah, Rasulullah, dan Alquran

Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa keimanan terhadap eksistensi Al-Khâliq (Allah), kebutuhan manusia akan nabi/rasul, dan juga kebenaran risalah-Nya (dalam hal ini Alquran), adalah bisa dibuktikan secara rasional. Dengan itu, siapa pun orangnya, selama ia memiliki akal (berapa pun kadar intelektualitasnya), pasti dapat memahami realitas ini dengan mudah.

Sebagai seorang Muslim setelah kita membuktikan keberadaan Allah, kebutuhan akan Rasul, dan kebenaran alquran, maka selanjutnya kita meyakini sepenuhnya informasi-informasi tentang hal-hal yang metafisis (gaib) — yang termasuk ke dalam Rukun Iman (Arkân al-Imân) — yang diberitakan oleh Alquran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw.

Alquran, misalnya, menginformasikan bahwa Tuhan yang telah kita buktikan eksistensinya oleh rasio kita adalah Allah; bukan Yahweh, Yesus, ataupun dewa-dewa yang ada dalam mitologi Hindu/Budha. Allahlah yang wajib disembah, bukan yang lain. Alquran menginformasikan bahwa malaikat itu benar-benar ada; bahwa ada para nabi/rasul yang sebelum Nabi Muhammad saw.; dan bahwa ada kitab-kitab lain yang turun jauh sebelum Alquran.

Alquran juga menginformasikan bahwa terjadinya hari kiamat adalah suatu keniscayaan, sama halnya dengan keniscayaan bakal adanya hari kebangkitan dan hari perhitungan; adanya surga dan neraka; adanya makhluk yang bernama jin, dan lain-lain yang memang diterangkan secara qath‘î (tegas). Di luar itu, Alquran banyak menuntut umat manusia untuk melaksanakan seluruh taklif (perintah dan larangan) yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Semua taklif tersebut mesti direalisasikan seluruhnya oleh umat manusia. Pengingkaran terhadap sebagian taklif, apalagi keseluruhannya, hanya merupakan pengingkaran dan pembangkangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, seluruh informasi dan taklif yang terdapat di dalam Alquran dan As-Sunnah, bukan saja harus diyakini, tetapi yang lebih penting adalah direalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia.

Dengan semua itu, Islam berarti telah memberikan jawaban yang benar-benar memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan hingga akhirnya menenteramkan jiwa. Dari konsepsi seperti itulah Islam kemudian menderivasikan aturan-aturan dan tata-cara hidup sebagai solusi atas seluruh problem yang dihadapi manusia di dalam kehidupannya. Dengan demikian, Islam sesungguhnya bukan sekadar keyakinan spiritual semata, tetapi ia adalah sebuah ideologi atau way of life.

“.......Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah meridhai Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS al-Maidah [5]: 3).

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [T. Al Maidah ayat 50].

Wallâhu a‘lam bish-shawâb.


Sunday, September 18, 2011

Materi Lingkar Kajian #2

Menggapai Keimanan Yang Hakiki

Sejarah manusia sesungguhnya tidak pernah sunyi dari para pencari Tuhan. Dengan dorongan religiositas (fitrah untuk beragama) dan juga spiritualitas, umat manusia selalu melakukan pencarian demi pencarian Tuhan Yang Sebenarnya. Bagi sebagian orang, agama menjadi jawaban. Namun demikian, sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, jauh sebelum tampilnya agama-agama formal (di luar Islam) ke permukaan, dunia telah diramaikan oleh para filosof yang selalu terlibat dalam diskursus ketuhanan (teologi); bahkan dalam wacana tentang asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi). Sebagian dari mereka benar-benar “menemukan” Tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam “igauan” yang tak jelas ketika mencoba memaksakan diri menjangkau esensi Tuhan yang sesungguhnya hingga tak sedikit yang masuk ke dalam perangkap ateisme.

Sementara itu, di kalangan sebagian kaum Muslim saat ini, keyakinan terhadap Allah masih saja dibungkus oleh hal-hal yang dogmatis dan irasional, ataupun hanya merupakan produk warisan turun-temurun. Kondisi ini sering melahirkan individu Muslim yang secara geneologis Islam (Muslim KTP), tetapi dari segi perilaku keseharian malah mengaburkan ajaran Islam. Paling banter, sebagai Muslim, mereka hanya menampilkan kesalihan simbolik dan artifisial. Sebab, di sini, kesalihan tidak lagi diukur oleh kerangka yang lebih substansial, yaitu syariat Islam sebagai sebuah totalitas.

Dalam konteks Islam, sikap keberagamaan demikian tentu saja kontraproduktif sekaligus kontradiktif terhadap semangat Alquran yang selalu memerintahkan manusia untuk mendasarkan keimanannya pada rasio (‘aql) dalam makna yang sesungguhnya; bukan sebatas dorongan intuisi keberagamaan saja, sebagai representasi dari fitrah beragama yang ada pada dirinya. Apalagi jika keimanannya hanyalah produk dari prasangka-prasangka Sebab keimanan (aqidah) itu itu sendiri, dalam Islam, sejatinya adalah “pembenaran yang pasti (tanpa ada keraguan sedikit pun), yang sesuai dengan realitas (bukan ide khayalan) yang didasarkan pada adanya bukti/dalil (baik dalil aqlî maupun naqlî).”

Oleh karena itu, hanya dengan menggabungkan keduanya, yakni religiusitas(fitrah keberagamaan)dan rasionalitas (pemikiran) — yang tentu saja harus berupa pemikiran yang tercerahkan (al-fikr al-mustanîr) — keimanan yang hakiki dan kokoh dapat diraih oleh manusia kepada Zat yang disebut Tuhan, yakni Allah SWT.

Pandangan Hidup Manusia

Perjalanan manusia di dalam realitas kehidupan ini akan selalu dikendalikan oleh suatu pandangan hidup yang diyakininya. Pandangan hidup manusia tentang dunia ini pada prinsipnya akan selalu terkait dengan tiga simpul besar yang beribu-ribu tahun silam dicoba dipecahkan oleh manusia. Simpul besar itu secara ringkas terkait dengan pertanyaan: (1) Darimana manusia berasal?; (2) Untuk apa manusia hidup?; dan (3) Akan ke mana manusia setelah mati?

Selintas, ketiga pertanyaan tersebut terkesan sangat sederhana. Akan tetapi, upaya pencarian jawaban dari ketiganya ternyata telah menguras tenaga dan pikiran banyak cendekiawan, filosof, ataupun ulama sejak lama. Mereka — baik hanya dengan mengandalkan kapasitas intelektual maupun spiritualnya, ataupun dengan melandaskannya pada “wahyu” dari Tuhan — telah berhasil memberikan jawaban atas ketiga persoalan mendasar itu; terlepas dari benar-tidaknya jawaban tersebut. Jawaban itulah yang sebetulnya menjadi pandangan hidup manusia, yang menjadi landasan (rel) bagi dirinya dalam menempuh perjalanan kehidupannya, dan sekaligus menjadi lokomotif yang menarik “gerbong” yang bernama manusia ke arah mana saja yang dia kehendaki.

Secara sederhana, ada tiga gagasan (ide) besar manusia yang memberikan jawaban yang berbeda terhadap ketiga pertanyaan di atas.

Pertama, ide yang meyakini bahwa kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya (serba kebetulan), dan bukan diciptakan dari ketiadaan. Manusia berasal dari materi dan akan kembali menjadi materi. Mereka tidak meyakini samasekali adanya Sang Pencipta. Tuhan, menurut mereka, hanya ilusi yang tidak layak dipercaya. Dengan menafikan eksistensi Tuhan, otomatis materi dianggap sebagai sesuatu yang azali. Oleh karena itu, tujuan utama manusia hidup pun mesti diorientasikan demi mencari kebahagiaan/kepuasan material di dunia ini. Dalam alam modern, pemahaman demikian direpresentasikan oleh mazhab sosialisme-komunis.

Kedua, ide yang meyakini bahwa seluruh kehidupan di dunia ini berasal (diciptakan) oleh Zat Yang Mahamutlak (Tuhan). Akan tetapi, Tuhan tak lebih dari sekadar “Pembuat Jam”. Ia hanya bertugas mencipta, tidak punya orotitas untuk mengatur dan mengendalikan dunia. Manusialah yang memiliki otoritas penuh untuk mengatur dunia dan dirinya sendiri. Di sini, manusia diposisikan sebagai “pusat”, sehingga segala sesuatu mesti dikembalikan pada kehendak manusia. Agama, dengan demikian, hanya mengisi salah satu ruang kosong yang ada pada batin manusia. Penganut ide ini berkeyakinan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan yang sepuas-puasnya di dunia (hedonisme). Mereka memang meyakini bahwa manusia akan kembali ke alam akhirat (kepada Tuhan). Akan tetapi, dimensi duniawi dan ukhrawi seolah tidak saling berhubungan. Pemahaman demikian, di alam modern ini direpresentasikan dengan baik oleh penganut mazhab kapitalisme-sekuler.

Ketiga, ide yang meyakini sepenuhnya Tuhan sebagai Sumber dari segala sesuatu. Manusia diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu, Tuhanlah Yang Azali, sementara selain Tuhan adalah fana. Tuhan juga memiliki otoritas penuh untuk mengatur dunia ini. Manusia hanyalah pelaksana dari aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan bagi dunia ini. Dengan demikian, di dunia ini tujuan utama hidup manusia harus diorientasikan semata-mata demi mengabdi (ibadah) kepada Tuhan. Bahkan, ibadah merupakan hakikat terpentingdari keberadaan manusia sebagai makhluk di hadapan Tuhan sebagai Al-Khâliq. Ketaatan atau pengingkaran terhadap kehendak Tuhan di dunia diyakini akan mendapatkan konsekuensi di akhirat (di samping di dunia ini). Dengan demikian, ada keterkaitan erat antara alam dunia dan alam akhirat. Pemahaman seperti ini bersumber sepenuhnya dari konsep Islam sebagai satu-satunya agama otentik — baik di masa lalu maupun di masa kini — yang bersumber dari Tuhan Yang Sebenarnya, yakni Allah swt. Inilah sesungguhnya pandangan yang benar karena ide ini adalah ide yang sesuai dengan fitrah manusia dan sesuai rasio (akal) yang berimplikasi pada akan melahirkan ketentraman dalam jiwa manusia.

Dari ketiga gagasan besar yang berbeda yang diberikan oleh masing-masing kelompok manusia di atas, kita akan melihat aturan-aturan hidup yang berbeda, yang merupakan derivasi (turunan) dari ketiga gagasan itu. Aturan-aturan itu secara niscaya akan menciptakan pola hidup (way of life) yang berbeda pula dari ketiga kelompok masyarakat penganut ketiga gagasan besar tersebut. Ringkasnya, kita akan menyaksikan perbedaan mendasar dari masing-masing kelompok masyarakat yang menganut cara hidup sosialis-komunis, kapitalis-sekuler, dan Islam.

Aqidah Islam

Konsepsi Islam meliputi aqidah Islam dan hukum-hukum syara’ yang berfungsi sebagai solusi atas berbagai problem kehidupan manusia; baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, seperti ibadah, dan hubungan manusia dengan sesamanya, seperti ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan dan politik luar negeri, maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti akhlak, makanan dan pakaian. Maka, selain hukum-hukum tersebut, aqidah Islam merupakan konsepsi Islam yang pertama dan sekaligus asas bagi konsepsi yang lain.

‘Aqîdah, dalam bahasa Arab, berasal dari lafadz ‘aqada-ya’qidu- ‘aqîdatan. Lafadz tersebut mengikuti wazan fa’îlatan, yang berarti ma’qûdah (sesuatu yang diikat) , sedangkan menurut istilah, Aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh (konsep holistik) mengenai manusia, kehidupan, serta hubungan di antara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan (syari’at dan hisab), yang dinyakini oleh kalbu (wijdân) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil.

Dalam konteks Islam, aqidah Islam bisa didefinisikan dengan pemikiran tentang adanya Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah, yang diyakini oleh kalbu (wijdân) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil.

Metode membangun keyakinan adalah melalui pembuktian terhadap realitas pemikiran (konsepsi) yang diyakini dengan dalil.

Hanya saja harus tetap difahami, bahwa konsepsi holistik tersebut telah memberikan batasan, bahwa aqidah merupakan pemikiran yang menyeluruh, bukan yang penting pemikiran. Sebab, pemikiran (konsepsi) tersebut ada dua; ada yang menyeluruh dan parsial. Demikian halnya dengan sifat “yang diyakini kalbu” adalah batasan, bahwa ada pemikiran yang diyakini kalbu dan tidak diyakini. Tentu saja pemikiran yang tidak diyakini kalbu tidak dapat dijadikan sebagai aqidah. Namun tidak hanya itu, sebab sifat “dan dibenarkan (diterima) oleh akal” sekaligus menguatkan penegasan berikutnya, bahwa ada pemikiran yang diyakini kalbu, tetapi tidak diterima oleh akal dan ada yang diterima. Maka, pemikiran yang diyakini kalbu tetapi tidak diterima oleh akal, karena kontradiksi dengan realitasnya, tentu tidak bisa dijadikan sebagai aqidah.

Dengan demikian, pada dasarnya aqidah merupakan keyakinan yang bulat, sesuai dengan realitas dan bersumber dari dalil, atau merupakan sesuatu yang diyakini oleh kalbu (wijdân) yang diterima oleh akal. Adapun sesuatu yang diyakin oleh kalbu, harus bersifat pasti dan tegas. Artinya, jika kalbu menyakini sesuatu bermakna A adalah A, dan bukan A dikatakan B, atau B dikatakan C. Inilah yang disebut pasti dan tegas. Namun jika kalbu yang membenarkan dengan bulat tersebut tidak bisa menemukan realitasnya, timbullah keraguan hingga akhirnya keyakinan tadi menjadi pupus dan hilang.Inilah yang dimaksud “sesuai dengan realitas” atau “diterima oleh akal”. Sebab, akal tidak akan bisa menerima sesuatu yang kontradiksi dengan realitas, atau realitasnya tidak ada. Inilah realitas aqidah.

Karena keimanan seorang muslim wajib 100% yakin, maka tidak ada taqlîd pada orang lain dalam

masalah keimanan ini. Karena itu, al-Ghazâli menyatakan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat tanpa hujah dan hal itu bukanlah jalan memperoleh keyakinan, baik dalam bidang aqidah maupun syariah.

Jika dalam masalah aqidah tidak ada taqlîd pada orang lain, maka setiap muslim wajib menggali sendiri aqidahnya. Karena itu, dia harus memahami dalil-dalil yang dapat digunakan, termasuk cara menggunakannya sehingga sampai kepada kongklusi yang diharapkan. Lahirnya aqidah yang teguh dan selamat dari cacat dalam diri tiap muslim adalah sebuah kewajiban. Dan inilah yang pertama kali harus diupayakan oleh seorang muslim yang mukallaf. Dalam konteks inilah, as-Syâfi’imengatakan

“Ketahuilah, bahwa kewajiban yang pertama kali bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat (mengenal) Allah SWT. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu. Dalam keadaan orang yang berfikir tersebut dituntut untuk mengenal Allah. Dengan cara seperti itu, dia mampu mencapai ma’rifat kepada hal-hal yang gaib dari pengamatannya dengan indera, dan aktivitas tersebut merupakan suatu kewajiban. Hal ini merupakan kewajiban dalam bidang ushuluddin.”

Lalu, bagaimana padangan Islam mengenai keimanan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah?

be continued…

Sunday, September 11, 2011

Materi 1 Lingkar Kajian

Chapter 1 Alhamdulillah Aku Masuk ITB

ITB, Institut Teknologi Bandung… Sebuah kampus yang namanya sangat tersohor seantero wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Bahkan tidak hanya untuk Indonesia, dunia internasional pun mengakui keberadaannya. Banyak orang tua yang berharap anaknya bisa mengenyam pendidikan di kampus ini. Para pelajar pun tidak sedikit yang ingin menjadi bagian dari keluarga besar ITB. Layaknya teori ekonomi, semakin banyak peminat sedangkan barang tersedia dalam jumlah terbatas maka nilai jualnya pun meningkat. Inilah ITB, kampus yang hanya membukakan pintunya untuk para pelajar terpilih, mereka adalah tunas-tunas terbaik bangsa yang berasal dari seluruh penjuru negeri yang terseleksi dengan ketat, hanya yang terbaik dari yang terbaik yang bisa menyandang predikat “MAHASISWA ITB”. Maka bukanlah hal yang aneh jika setiap kali masa penerimaan mahasiswa baru tiba, spanduk bertuliskan “SELAMAT DATANG PUTRA PUTRI TERBAIK BANGSA” selalu terpampang menyambut para calon pemimpin baru negeri ini.

Sebuah Kilas Balik
Sejarah ITB nyaris seusia dengan republik ini, bahkan mungkin jauh lebih tua. Kampus utama ITB saat ini merupakan lokasi dari sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia. Pada tahun 1920, ITB berdiri dengan nama Technische Hogeschool (TH), sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan Belanda akan SDM untuk perusahaan-perusahaan Belanda. Seiring dengan dikumandangkannya kemerdekaan Republik Indonesia, maka TH pun bertransformasi menjadi Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Maret 1959 dan terus bertransformasi menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintahan yang memegang status quo. Sebagaimana ITB yang dinamis, kemahasiswaan yang ada di dalamnya pun tidak kalah dinamis dalam bertranformasi hingga mampu memberikan warna dalam sejarah republik ini. Tahun 1945, ketika ITB bernama Sekolah Tinggi Teknik Bandoeng para mahasiswa STTB pun turut melakukan perjuangan heroik dalam upaya merebut kemerdekaan. Nama-nama mahasiswa yang gugur diabadikan pada tugu ganesha (tugu dengan metal berbentuk kubik antara gerbang selatan ITB dan taman ganesha). Tahun 1966, terlibat dalam perjuangan TRITURA, bersama rakyat juga berperan dalam upaya pembersihan PKI. Selama pemerintahan orba, mahasiswa juga turut mengawal pemerintahan. Seiring dengan pemerintahan Soeharto yang represif,para mahasiswa berkali-kali menunjukkan kritikan mereka yang sangat tajam terhadap pemerintah. Pada tahun 1978, Keluarga Mahasiswa ITB menyusun Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Buku Putih diluncurkan pada aksi mahasiswa ITB, 16 Januari 1978 di lapangan basket dan dihadiri 2000 mahasiswa. Aksi ini diakhiri dengan pernyataan sikap “Tidak Mempercayai dan Tidak Menghendaki Soeharto Kembali Menjadi Presiden RI, KM ITB”. Spanduk bertuliskan pernyataan mahasiswa ini dipasang di depan Gerbang Ganesha. Para mahasiswa pun sempat mengalami friksi dengan kalangan militer yang berujung pada pendudukan kampus oleh militer. Benturan antara mahasiswa dan pemerintah semakin menguat. Berbagai tuntutan yang diajukan mahasiswa berhasil mengguncang pemerintah. Banyak aktivis yang ditangkap dan dipenjara. Dimulailah babak baru normalisasi kehidupan kampus pada tahun 1978 yang ditandai dengan pemberian skors dan pelarangan mahasiswa lama untuk berkuliah dan hanya mengizinkan mahasiswa angkatan 78 yang berkuliah. Masa ajaran pun diubah dari Januari-Desember menjadi Juni-Juli serta dilakukan pembubaran dewan mahasiswa. Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peranan yang besar dalam kehidupan bernegara. ITB khususnya telah menjadi institusi yang melahirkan generasi-generasi yang mewarnai kehidupan NKRI.

Kini Saatnya Kita Bercermin!
Kini, kita perlu merefleksikan diri. apa yang akan kita lakukan setelah ini? Sadarkah kita, berhasil menjadi salah satu mahasiswa ITB merupakan salah satu nikmat yang Allah swt anugerahkan kepada kita? Apakah kita berani menyombongkan diri dengan mengatakan bahwasanya keberhasilan kita saat ini murni karena usaha dan kerja keras kita sendiri? Kita pun tidak dapat menafikan begitu banyak pelajar lain yang telah berusaha dengan begitu kerasnya agar dapat menjadi bagian dari institut terbaik di Indonesia ini, tetapi belum juga berhasil. Lalu adakah alasan bagi kita untuk tidak bersyukur?
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman [55]: 13)

Bagaimana Wujud Syukur Itu?
Bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Allah, alias kufur nikmat, sejatinya adalah orang-orang sombong yang pantas dimasukkan ke nerakanya Allah swt. Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya. Allah swt berfirman
Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu. (QS. Al-Baqarah[2]: 152)

Ali Ashshabuni dalam Shafwaat al-Tafaasir menyatakan,
Ingatlah kalian kepadaKu dengan ibadah dan taat, niscaya Aku akan mengingat kalian dengan cara memberi pahala dan ampunan.
sedangkan firman Allah swt,
bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu,
bermakna:
Bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan kepadamu dan jangan mengingkarinya dengan melakukan dosa dan maksiyat.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya, “Ya Rabb, bagaimana saya bersyukur kepada Engkau?” Rabbnya menjawab, “Ingatlah Aku dan janganlah kamu lupakan Aku. Jika kamu mengingat Aku sungguh kamu telah bersyukur kepadaKu. Namun, jika kamu melupakan Aku, kamu telah mengingkari nikmatKu.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir I/142)

Di ayat yang lain Allah swt menyatakan, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 172)

Ulama-ulama tafsir menafsirkan ayat ini dengan “jika kalian benar-benar menyembah kepadaNya, bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmatNya yang tidak bisa dihitung itu dengan ibadah dan janganlah menyembah selain diriNya.”

Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa syukur harus direfleksikan dengan cara beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah swt dan meninggalkan maksiyat. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Ali Al-Shabuni. Ibadah dan taat kepada Allah swt serta meninggalkan larangan-larangan Allah merupakan perwujudan rasa syukur yang sebenarnya. Seorang yang selalu taat kepada Allah swt, menjalan seluruh aturan-aturanNya dan sunnah Nabinya pada hakekatnya ia adalah orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah swt. Sebaliknya, setiap orang yang menampik dan menolak dengan keras syari‘at Islam, tunduk dan patuh kepada aturan-aturan kufur, termasuk orang-orang yang ingkar terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Allah swt telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa, orang-orang yang mau bersyukur atas nikmat yang diberikanNya sangatlah sedikit. Kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Allah swt berfirman, artinya:
Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.(QS. Yunus [10]: 60)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka sedangkan mereka beribu-ribu jumlahnya karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu”, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]: 243)

Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa, kebanyakan manusia tidak mau bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Tatkala mendapatkan kenikmatan mereka sering melupakan Allah swt. Akan tetapi, tatkala mendapatkan kesusahan mereka mereka ingat dan bersyukur kepada Allah. Namun, setelah terlepas dari penderitaan mereka kembali ingkar kepada Allah swt. Allah telah menyatakan dengan sangat jelas
Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencara di darat dan di laut yang kamu berdo‘a kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukanNya. (QS. Al-An‘aam [6]: 63-64)

Ketika manusia ditimpa dengan berbagai macam kesusahan mereka segara berdoa dan berjanji untuk bersyukur kepada Allah jika bencana itu dilepaskan dari mereka. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari bencana mereka lupa bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah swt. Betapa banyak orang menangis, meratap dan merengek-rengek meminta kepada Allah swt agar dihindarkan dari kesusahan hidup; mulai kelaparan, kekeringan, bencana alam dan lain-lain. Mereka rela berpayah-payah memohon kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan kerendahan hati. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali menerapkan aturan-aturan kufur, bahkan menandingi aturan-aturan Allah swt. Bukankah hal ini termasuk telah menyekutukan Allah swt? Bukankah refleksi syukur sebenarnya harus diwujudkan dalam bentuk menerapkan syari‘at Islam dan selalu berdzikir kepada Allah swt?

Karena Kita Bukanlah Mahasiswa Biasa, Lakukanlah Hal yang Luar Biasa!
Seperti sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, menjadi bagian dari keluarga besar ITB merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan bagi kita dan tentunya kita perlu menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah dengan semakin meningkatkan ketaatan kepadaNya.
Islam berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang mampu menaklukan imperium Romawi dan Persia. Jika bukan karena cahaya Islam, tidak mungkin masyarakat Arab saat itu mencapai kegemilangan. Sejarah juga telah membuktikan begitu banyak ilmuwan-ilmuwan yang telah dilahirkan Islam ketika Barat berada dalam Masa Kegelapan. Hal yang menarik adalah ilmuwan-ilmuwan ini tidak hanya cerdas dalam urusan ilmu-ilmu teknis keduniaan, tetapi juga mereka adalah para penghafal Al-Quran, ahli hadits, dan ahli fiqih, suatu fenomena yang sangat jarang kita temui saat ini ketika banyak diantara kita yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat.

Di kampus ini, di kampus yang para mahasiswanya selalu ingin menjadi yang terbaik, ketika persaingan begitu ketat, ingatlah satu pesan dari junjungan kita, nabi besar Muhammad saw,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ, أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
"Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara." (HR. Bukhari no. 6416 )

Ath Thibiy mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata." (Dinukil dari Fathul Bariy, 18 /224 )

Dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata :
Saya datang kepada Nabi SAW, kami serombongan sebanyak sepuluh orang. Kemudian ada seorang laki-laki Anshar bertanya, “Wahai Nabiyallah, siapa orang yang paling cerdas dan paling teguh diantara manusia ?”. Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling banyak mengingat mati diantara mereka dan orang yang paling banyak mempersiapkan bekal untuk mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemulyaan dunia dan kemulyaan akhirat” (HR. Thabrani di dalam Ash-Shaghir)

Teringat sebuah pesan, “Berusahalah engkau di dunia, seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan Beribadahlah engkau, seolah-olah engkau akan mati esok.”

Maka… sesibuk apapun kita beraktivitas di kampus ini… jangan sampai membuat kita melupakan agama kita. Teruslah menggali ilmu Islam sebagai bekal kita kembali kepadaNya…

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah Ta’ala kepadanya jalan ke surga” (Dari Abu Hurairah HR Muslim).

Abu Dzar R.A menyampaikan bahwa Rasulullah SAW berkata: “Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari Ilmu adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat seratus rakaat” (HR Ibnu Abdul-Birri).

This Dunya (World) Is Like A Shadow, Run After It And You Will Never Be Able To Catch It, Turn Your Back Against It And It Has No Choice But To Follow You [Ibn Al-Qayyim]


wallahu'alam bi ash-shawab

Pembagian Jadwal dan Kelompok LiKa

…Bismillaah…

Jadwal dan Kelompok Lingkar Kajian (LiKa) female HATI


Senin (Waktu : 11.15 – 12.45 WIB)

Pengisi : Teh Ismi

Kakak Wali : Teh Syifa dan Teh Ristri

Kelompok 1 LiKa:

1.Zainiyatul Hamidah (FTSL)

2.Annisa Athifah (FTSL)

3.Dwi Purwaningsih (FTSL)

4.Meri Suryani (FTSL)

5.Siti Hajar Aswad (FITB)

6.Nadira Aliya (FTI)

7.Annur Dyah (FTI)

8.Mareta Faryanti (SAPPK)


Sabtu (Waktu : 09.00 – 11.00 WIB)

Pengisi : Teh Sally

Kakak Wali : Teh Nia dan Teh Nilam

Kelompok 2 LiKa:

1.Siti Mulyani (SF)

2.Aulia Septiani (SF)

3.Rita Purnamasari (SF)

4.Lika Rosliana (SITH)

5.Nur Faizatus Sa’idah (FMIPA)

6.Nining .R (FMIPA)

7.Hanani Dissy Ladiba (FMIPA)

8.Nurafni Eka Agustina (STEI)

9.Samantha Harisa (STEI)

10.Anis Riswati (FTI)


Sabtu (Waktu : 13.00 – 15.00 WIB)

Pengisi : Teh Rini

Kakak Wali : Teh Dinan dan Teh Gina

Kelompok 3 LiKa:

1.Khoirunnisa Istiqomah (SITH)

2.Wilma Fitri (FITB)

3.Nur Ainiyah (FITB)

4.Nuriza Wardi (SAPPK)

5.Qisthi Khuril Wazni (SAPPK)

6.Novi Briliyanti (SAPPK)

7. Arintha Teuyana .R (FTTM)

8.Nur Fatonah (FTTM)

9.Anita Cahyu Sentika (FMIPA)

10.Riska Sapitri (FMIPA)

11.Riendu Friesty Florina Ises (FMIPA)

12.Endah Burdatul Hasanah (FMIPA)