Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Sunday, October 30, 2011

Mahasiswa dan Transformasi Masyarakat

Diary HATI edisi #2- Oktober 2011

Mahasiswa dan perubahan nampaknya kedua kata ini merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan kita. Kata mahasiswa selalu disandingkan dengan perubahan atau transformasi. Hal ini menjadi wajar karena mahasiswa memiliki potensi khususyang sulit didapati di elemen lain dari masyarakat. Mahasiswa merupakan perwujudan dari manusia muda, bersemangat, memiliki akses terhadap perkembangan ilmu dan informasi, memiliki idealitas serta pemegang estafet kepemimpinan masa depan. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh apabila mahasiswa menjadi harapan rakyat untuk mengusung perubahan dalam kehidupan mereka. Mahasiswa pun dicap sebagai insan yang peduli dan peka terhadap kondisi masyarakat yang akhirnya bergerak memperjuangkan hak-hak rakyat dan selalu berkobar jiwa pengabdian dalam dirinya. Dalam bahasa sederhana, mahasiswa mendapat sebutan sebagai pihak yang senantiasa ingin berkontribusi. Masihkan label itu ada pada mahasiswa? Semoga.

Pergerakan mahasiswa dalam mengusung perubahan haruslah diawali dengan penginderaan terhadap realita kehidupan di sekitar mahasiswa, Ini adalah langkah awal sebelum kita, mahasiswa mengambil kseimpulan untuk mengambil langkah perubaha Beranjak dari realitas kehidupan kita, tentu saat ini kita akan sepakat bahwa kondisi bangsa kita masih dalam keterpurukan. Bagaimana tidak, di Negara inimarak terjadi korupsi, kolusi, dan mafia peradila. Itu belum termasuk masalah kemiskinan yang menimpa rakyatnya, jumlah orang miskin menurut data BPS masih 30,02 juta jiwa. Di sisi lain, pemerintah juga terus menambah utang. Padahal sekadar untuk membayar bunga utang saja, pada tahun 2011 menguras lebih dari Rp 100 triliun dana APBN. Makin menyedihkan karena sumber daya alam (SDA) Indonesia yang seharusnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, sekitar 90% kekayaan migas dan 75 % kekayaan tambangnya dikuasai asing. Di bidang pendidikan, jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Dari jumlah itu, ada sekitar 2,7 juta siswa SD dan 2 juta siswa SMP terancam putus sekolah. Dengan demikian, jelas bahwa ada realitas buruk yang harus diubah, termasuk oleh kita mahasiswa.

Sebagai agen dan pelaku perubahan, tentulah kita harus memahami akar dari permasalahan yang kita hadapi saat ini, mulai dari masalah perut yang belum semua rakyat Indonesia terpenuhi kebutuhannya, masalah pengelolaan SDA yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, masalah ekonomi yang sampai saat ini banyak rakyat yang tidak sejahtera hidupnya, masalah korupsi yang melembaga di berbagai lapisan birokrat. Lantas apakah akar masalah yang mendera negeri ini???

Bila ditelaah secara jernih, dari masalah impor misalnya, Indonesia mengimpor garam, padahal garis pantai yang dimiliki negri ini merupakan garis pantai yang terpanjang di dunia, apakah ada yang kurang dari sumber daya alam kita? Ataukah pengaturannya yang bermasalah? Ditengah krisis yang melanda rakyatnya, SDA yang seharusnya bisa memakmurkan kehidupan rakyat malah dikuasai oleh perusahaan asing. Beban yang seharusnya ditanggung oleh Negara seperti pendidikan, penyediaan kebutuhan pokok, penyediaan energi, dan kesehatan kini menjadi tanggungan masyarakat yang mungkin dilakukan dengan dalih gotong royong dengan rakyat. Subsidi dicabut dengan alasan memberatkan APBN. Semua ini mengindikasikan bahwa proyek kapitalisasi dan liberalisasi telah sukses di negeri ini. Inilah ciri-ciri dari Negara kapitalis liberal, sebuah negara yang memberikan kedaulatan pada modal. Siapa yang memiliki modal yang kuat, dialah yang bisa berkuasa. Siapa yang memiliki modal, dialah yang sejahtera. Sebuah negara yang tidak mengindahkan bagaimana Tuhan melakukan pengaturan kehidupan bermasyarakat, sebuah negara sekuler. Islam yang notabene adalah agama mayoritas bangsa ini tidak lagi dipahami sebagai way of life, tidak diadopsi oleh negara dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Begitulah, sejak kemerdekaan hingga lebih dari enam dekade, sekulerisme mengatur Indonesia, terlepas dari siapa pun yang berkuasa. Negara kita dibawah sistem kapitalisme-liberal yang nyata.

Jika kita telah memahami akar masalah yang dihadapi adalah masalah yang sistemik menyangkut sistem pengaturan kehidupan secara keseluruhan, maka perubahan yang selayaknya mahasiswa usung adalah perubahan sistemik. Betul, problem yang kita hadapi adalah problem sistemik, yaitu problem sosial yang meluas dan kompleks bukan problem individu yang dapat diselesaikan hanya dengan memperbaiki diri setiap individu-individunya. Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya pada QS Thaha : 124 “Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” Kehimpitan yang menimpa kita saat ini, merupakan buah dari berpalingnya kita dari peringatan dan seruan-seruan Allah yang telah memberikan seperangkat sistem kehidupan yang sempurna dalam mengatur seluruh kehidupan manusia. Tidak diterapkannya sistem kehidupan yang didasarkan pada aturan Allah dan Rasul-Nya telah nyata membawa negara ini dalam keterpurukan. Rakyat Indonesia terus menerus hidup dalam berbagai krisis yang tidak berkesudahan.

Oleh karena itu, pergerakan yang selayaknya diusung oleh mahasiswa adalah pergerakan massif menuju penerapan sistem kehidupan Islam yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Sistem kehidupan yang terjamin tidak akan salah dalam mengatur hidup manusia, sebab sistem ini bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Sempurna, Yang Maha Mengetahui baik dan buruk. Sistem inilah yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Bukti layaknya sistem ini mengatur kehidupan masyarakat telah terbentang dalam sejarah umat manusia selama berabad-abad ketika Islam diadopsi oleh negara. Ya, bukti ini terbentang dalam realitas kekhilafahan Islam. Indonesia adalah salah satu wilayah yang pernah merasakan keberkahan hidup dalam sistem Islam..

Dalam memperjuangkan kehidupan Islam ini, tentunya kita harus mencotoh kepada perjuangan Rasulullah saw sebagai suri tauladan kita. Rasulullah saw mengubah masyarakat jahiliyah dimana sistem kehidupan Islam tidak diterapkan disana menjadi masyarakat Islam yang menerapkan Islam seluruhnya. Rasulullah bersama para sahabatnya secara terkoorinir mengubah pemikiran masyarakat yang dulu diliputi kebodohan dengan menyeru mereka pada Islam dan melakukan pembenturan pemikiran, mencela sistem kehidupan yang rusak dan sesat saat itu. mengubah suka dan bencinya masyarakat berlandaskan kecintaan kepada Allah semata, hingga akhirnya pertolongan Allah datang dengan siapnya masyarakat Madinah untuk menerapkan aturan Islam diseluruh aspek kehidupan. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat ini adalah perubahan pemikiran di tengah masyarakat, perubahan tanpa sedikitpun tindak kekerasan.

Bagaimana dengan kita? Tidakkah kondisi yang ada pada bangsa kita ini adalah kesempatan emas yang disediakan oleh Allah SWT bagi kita mahasiswa, untuk mengambil bagian dalam perjuangan yang mulia yang pantas kita teteskan darah untuknya? Kawan, ini saatnya kita ikut berkontribusi mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan akibat sistem kapitalis-sekuler menuju sistem kehidupan Islam sebagai konsekuensi dari Aqidah yang telah kita yakini yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin)

Wallahu’alam bisshawab.


Nia Kurniati Fi '10

Materi LiKa cHapter 7

Kunci Perubahan dan Kebangkitan


Kadang-kadang, secara otomatis tergambar dalam benak kita bahwa an-nahdhah (kebangkitan) adalah kemajuan di bidang keilmuan, semakin meningkatnya produksi, pesatnya perkembangan industri, semakin canggihnya teknologi dan banyaknya penciptaan alat-alat yang mempermudah kehidupan. Hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa kebangkitan itu artinya kemajuan; berpindahnya masyarakat dan manusia dari suatu keadaan menuju keadaan lain yang lebih baik. Sehingga, sebagian orang mempunyai anggapan bahwa setiap negeri yang hidup dengan keadaan ekonomi yang makmur adalah negeri yang bangkit. Pernyataan ini telah telah dibantah oleh fakta yang nyata di sebagian besar negeri-negeri yang memiliki tingkat kemakmuran yang tinggi secara ekonomi, memiliki fasilitas kehidupan yang lengkap dan memiliki kehidupan yang mewah tetapi keadaan yang sebenarnya dari negeri-negeri tersebut adalah terbelakang dan terpuruk. Perceraian adalah hal biasa. Kriminal begitu mudah disaksikan . AIDS akibat pergaulan bebas merebak.


Oleh karena itu, kita harus mengetahui definisi kebangkitan dan batasan maknanya serta tata cara mencapai kebangkitan tersebut. Dan apakah benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa kebangkitan itu adalah semakin tingginya tingkat pendidikan, semakin bertambahnya tingkat kekayaan dan dan semakin tingginya tingkat kesehatan? Sehingga jalan keluarnya adalah dengan cara menghilangkan sebab-sebab keterbelakangan seperti anggapan mereka yaitu kemiskinan, kebodohan dan penyakit? Apakah banyaknya sekolah, lembaga pendidikan, perguruan tinggi, sarjana dan lulusan pasca sarjana di seluruh bidang yang ada merupakan tanda kebangkitan sebuah negeri atau hanya merupakan proses menuju sebuah kebangkitan?


Sesungguhnya fakta menunjukkan bahwa sebagian besar negeri-negeri yang terbelakang tersebut tidak mampu melakukan apa-apa walaupun memiliki banyak sarjana dan lulusan pasca sarjana sehingga mereka menjadi tidak berguna, menjadi beban bagi negeri mereka dan tidak dapat disalurkan di lapangan kerja yang cocok dengan bidang mereka. Hal itu merupakan salah satu faktor yang memaksa mereka untuk pergi mencari pekerjaan ke luar daerah tempat tinggal mereka. Hal itu juga memaksa negeri mereka untuk membuat kebijakan pendidikan untuk membatasi jumlah sarjana di berbagai bidang serta membuat kriteria dan nilai tertentu untuk dapat lulus ketika melakukan penerimaan siswa baru. Hal itu dilakukan agar dapat meningkatkan kapasitas para sarjana yang tersebar di seluruh wilayah negeri tersebut dalam mencari pekerjaan atau menjadi karyawan sehingga dapat memberikan kesejahteraan hidup bagi mereka.


Jumlah sarjana dan lulusan pasca sarjana di sebagian besar negeri-negeri yang disebut dengan negara dunia ketiga atau negara berkembang melebihi jumlah sarjana dan lulusan pasca sarjana di negeri-negeri yang sudah maju. Akan tetapi, para sarjana dan lulusan pasca sarjana tersebut telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan ke negeri-negeri yang sudah maju. Bahkan banyak di antara mereka yang melepaskan kewarganegaraannya agar dapat tinggal di negeri-negeri tersebut.


Seandainya kita memperhatikan negeri manapun dari negeri-negeri dunia ketiga –yaitu negeri-negeri Islam- maka kita akan melihat perkara yang tidak masuk akal dan membingungkan. Ambil contoh negeri Mesir atau Pakistan atau Yordania atau Libanon atau Suriyah atau Turki atau yang lainnya, maka kita akan menemukan bahwa ratusan ribu putra-putrinya yang merupakan lulusan pasca sarjana di berbagai bidang seperti kedokteran, fisika, teknik, kimia, nuklir dan teknologi telah meninggalkan negeri-negeri mereka dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam rangka mencari penghidupan. Sebagian besar dari mereka tinggal di Amerika atau Jerman atau di negeri maju lainnya.


Telah banyak ulasan berkaitan dengan hal itu. Banyak penulis dan pemikir membahas hal tersebut dengan berbagai judul seperti “Pembajakan terhadap Orang-orang Pintar” atau “Hijrahnya Orang-orang Pintar ke negeri-negeri Orang Pintar” atau “Amerika telah Membeli Orang-orang Pintar Kita dengan Harta” dan judul-judul lainnya. Akan tetapi, orang-orang pintar dan para sarjana itu tidak dapat membangkitkan dan memajukan umat.


Dengan melakukan pengamatan yang mendalam terhadap negeri-negeri tersebut kita akan menemukan bahwa bahan mentah dan sumber daya alam serta sumber daya manusianya sangat melimpah. Kita dapat meringkas hal itu dengan satu kalimat singkat bahwa negeri-negeri tersebut adalah belahan bumi yang terkaya, dengan pemberian Allah yang begitu melimpah dan memiliki banyak kelebihan tetapi pada saat yang sama negeri-negeri tersebut menderita kemiskinan yang sangat parah dan memiliki utang yang begitu menggunung sehingga mencapai keadaan dimana mereka berutang untuk membayar utang sebelumnya dan tidak mampu untuk membayar lagi sehingga meminta penjadwalan utang kembali. Hal itu terus berlangsung tanpa ada akhirnya dari waktu ke waktu hingga mencapai kondisi yang kritis dan lebih parah dari waktu sebelumnya.


Hal itu disebabkan oleh salah satu dari dua faktor berikut yaitu bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan para pemimpin umat terhadap makna kebangkitan dan jalan untuk mencapai kebangkitan tersebut. Sehingga mereka kebingungan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan ketika menangani urusan-urusan masyarakat. Bisa jadi pula karena mereka adalah orang yang memang berpihak pada asing yang tentu asing tidak mengiginkan perubahan sesungguhnya di tengah masyarakat namun memastikan kepentingan mereka aman di negeri-negeri itu. Oleh karena itu, merupakan keharusan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebangkitan, apa asas-asas yang menjadi landasannya dan bagaimana cara untuk mencapai kebangkitan tersebut.


Apa yang membedakan suatu umat dengan umat yang lainnya? apa yang membedakan antara bangsa yang bangkit dengan bangsa yang terpuruk? Apa standar yang membedakan antara manusia yang bangkit dengan manusia yang terbelakang? Apa yang membedakan seseorang dengan yang yang lainnya padahal keduanya telah diberi potensi diri yang sama, keduanya juga sama-sama telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan untuk memuaskan keinginannya, akan tetapi ternyata orang yang satu memperoleh kemajuan sementara yang lain mengalami keterpurukan. Hal itu terjadi tanpa memperhatikan gaya dan model pakaiannya, tidak memperhitungkan bentuk tubuh dan rupanya atau warna kulitnya. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa penilaian kita atas kedua orang tersebut adalah penilaian yang benar yaitu penilaian yang objektif sesuai dengan faktanya. Hal itu terjadi karena kita tidak menetapkan penilaian atas perkara tersebut kecuali setelah kita menyaksikan perilakunya, melakukan pengamatan terhadap tingkah lakunya, dan melakukan interaksi dengannya.


Oleh karena itu, tidaklah salah apabila ada orang yang mendefinisikan iman sebagai sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dalam lisan dan diwujudkan dalam perbuatan atau mendefinisakan iman sebagai sesuatu yang diucapkan dengan lisan dan dibenarkan dengan perbuatan. Dengan demikian, bukti yang pasti dan cermin yang objektif, yang sesuai dengan gambaran sebenarnya itu adalah tindakan dan perilakunya bukan yang lain. Adapun perkataan dan tulisan bukanlah gambaran yang sebenarnya kecuali hanya sebagai indikator yang akan menjadi alat pengukur dan alat untuk mengetahui hakekat kepribadiannya. Allah SWT berfirman:


Dan di antara manusia terdapat orang yang perkataannya mengenai kehidupan dunia membuatmu kagum sedangkan Allah menyaksikan apa yang terdapat dalam hatinya yaitu permusuhan yang sangat keras.” (QS. Al-Baqarah: 204).


Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hati mereka.” (QS. Al-Fath: 11).

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan. Sangat besar kebencian di sisi Allah apabila kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan.” (QS. Ash-Shaf: 2).

Adapun penetapan yang sebenarnya adalah firman Allah SWT:

Dan katakanlah,”Beramallah kalian, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang yang beriman akan melihat amal kalian itu.” (QS. At-Taubah: 105).



Penilaian atas seseorang tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan cara mengetahui tindakan dan perilakunya. Demikian pula, penilaian atas kepribadian seseorang, apakah dia tinggi atau rendah, harus didasarkan pada aspek perilakunya yaitu perbedaan dari aspek akidah dan pemikirannya atau pemahaman dan pengetahuannya. Apa yang terjadi pada individu bisa terjadi pula pada masyarakat karena masyarakat merupakan kumpulan individu yang di dalamnya terdapat interaksi yang terus menerus. Interaksi yang terus menerus itulah yang menjadikan kumpulan manusia tersebut sebagai sebuah masyarakat.


Apabila interaksi yang terus menerus itu tidak terjadi maka kumpulan itu akan tetap sebagai kumpulan individu-individu seperti halnya para penumpang kapal yang tidak disebut sebagai sebuah masyarakat. Dengan demikian, masyarakat itu bergantung pada adanya interaksi tersebut. Penilaian terhadap masyarakat dibangun berdasarkan pada adanya interaksi yang terus menerus itu, bukan dibangun berdasarkan penderitaan yang dialami seperti akibat bencana dan kemiskinan, bukan pula karena berdasarkan pada kesenangan seperti kemewahan dan kemakmuran. Oleh karena itu, interaksi inilah yang merupakan cermin yang sebenarnya, yang akan merefleksikan masyarakat yang sebenarnya. Interaksi ini pula yang mengatur kehidupan manusia. Melalui interaksi tersebut akan diketahui seperti apa adat dan tradisinya. Melalui perjalanan interaksi dan melalui pengamatan terhadap perilaku manusia dalam melakukan interaksi dan kemaslahatan mereka itu, kita dapat menilai sebuah masyarakat apakah masyarakat itu adalah masyarakat yang saleh atau masyarakat yang bejad. Kita pun dapat menilai apakah masyarakat tersebut adalah masyarakat yang maju atau masyarakat yang terpuruk.


Dalam kondisi seperti itu banyaknya pelajar, para intelektual dan para sarjana tidak mempunyai nilai apapun. Demikian pula pertumbuhan industri atau perdagangan, peningkatan ekonomi dan kekayaan. Faktor yang akan dijadikan penilaian adalah tegaknya interaksi sehingga sebuah msyarakat bisa disebut sebagai masyarakat. Maksudnya, bahwa penilaian itu dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman yang membimbing masyarakat tersebut dan yang dijalankan manusia ketika meraih kemaslahatan mereka. Penilaian itu juga dilakukan terhadap rasa benci dan suka yang dibentuk oleh pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman tersebut. Penilaian itu juga dilakukan terhadap nilai-nilai luhur yang mereka yakini dan aturan yang bersifat umum, yang menjaga interaksi tersebut dan mengaturnya serta memelihara apa yang mereka sepakati dalam masyarakat. Oleh karena itu, interaksi itu merupakan cermin yang sebenarnya, yang akan menjelaskan hakekat sebuah masyarakat. Sedangkan penilaian terhadap sebuah masyarakat, yang dibangun berdasarkan pada gambaran tersebut, merupakan penilaian yang objektif.


Tegaknya sebuah masyarakat bergantung pada unsur-unsurnya yaitu pemikiran, perasaan dan peraturan yang membangun interaksi di tengah masyarakat. Tegaknya sebuah masyarakat tidak ada kaitannya dengan kekayaan alam dan yang lainnya. Maksudnya, hal itu tidak ada nilainya bagi maju atau mundurnya sebuah masyarakat. Kita sudah sama-sama saksikan bagaimana melimpahnya kekayaan alam negeri Indonesia ternyata tidak otomatis membuat rakyatnya makmur. mengapa? Karena memang aturan yang dilaksanakan tidak memihak pada rakyat namun pada para pemilik modal.


Oleh karena itu, untuk membangkitkan masyarakat haruslah ada perubahan terhadap pemikiran, perasaan dan peraturan di tengah masyaraktat. Pemikiran, perasaan, dan peraturan seperti apa? Tentu adalah pemikiran Islam, karena hanya Islam lah yang dipastikan kebenarannya dan kesempurnaannya untuk menjawab setiap jenis masalah manusia. Harus pula ditanamkan rasa suka dan rasa benci ditengah masyarakat berdasarkan Islam karena yang disukai dan dibenci Allah yang disampaikan melalui ajaran Islam adalah hal-hal yang memang untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Terakhir, harus diupayakan ada aturan Islam yang diterapkan di tengah masyarakat, karena pemikiran Islam yang sempurna ketika tidak diterapkan sebagai sebuah aturan legal formal dalam sebuah negara akan membuat kesempurnaan Islam tidak nampak dalam kehidupan, membuat Islam tidak menjadi pemecah masalah manusia. Kondisi ini yang bisa kita lihat di Indonesia dan di semua negeri muslim lainnya.


Ringkasnya, untuk membangkitkan masyarakat harus ada penanaman Islam sebagai sebuah mabda (ideologi) di tengah masyarkat, sebuah ideologi yang berdiri di atas akidah rasional yang melahirkan sebuah sistem. Penanaman inilah yang kemudian disebut sebagai dakwah.


“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, “ Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” ( Thaaha :123-126)


Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 48)


Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” ( ar-Rum : 41)

Thursday, October 27, 2011

Reportase Diskusi Interaktif female HATI

Edisi bulan Oktober 2011 - by Ismie... :)

“Arus Pergerakan Mahasiswa, Mau Dibawa Kemana???”

Hari, tanggal : Sabtu, 22 0ktober 2011

Tempat : Akuarium CC Barat ITB


Female HATI secara rutin tiap bulannya mengadakan kajian yang berbentuk diskusi interaktif terbuka untuk mahasiswi ITB. Pada diskusi Interaktif (Diktif) Female HATI edisi bulan oktober 2011 ini, alhamdulillah dihadiri oleh dua puluh satu mahasiswi ITB, dengan tiga orang sebagai pembicara utama, yaitu Isa Maryam (MA 2009) mewakili staff divisi kaderisasi tim senator HIMATIKA ITB, Fatimah Az-Zahra (MRI 2010) mewakili MSDM kementrian kajian strategis KM ITB, dan Nia kurniati (FI 2010) mewakili divisi kajian female HATI.

Tema yang diangkat dalam diktif kali ini disesuaikan dengan isu yang berkembang pada bulan oktober yaitu mengenai pergerakan mahasiswa. Diktif kali ini dikemas dalam bentuk talkshow, agar mahasiswi yang mengikuti diktif bisa aktif berdiskusi dan diktif tidak terkesan satu arah. Diktif dimulai dengan berbagai fakta yang diungkapkan oleh pembicara dan ditambahkan oleh peserta diktif, terkait dengan pertanyaan yang diutarakan oleh moderator, yaitu “apakah kondisi pergerakan mahasiswa di Indonesia bermasalah?”. Setelah berdiskusi cukup panjang, ditambah dengan partisipasi aktif dari pembicara dan peserta diktif, disepakatilah bahwa keadaan pergerakan mahasiswa di Indonesia bermasalah. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu peserta diktif, Endah mahasiswi FMIPA 2011, “Mahasiswa ITB sekarang gak kritis, pola pikirnya cari kerja mulu, dan di kampus dihabisin waktunya untuk belajar doang, soalnya dari ITBnya juga kompetitif apalagi persaingan meraih nilai IP. Sehingga jelas saja menyebabkan pergerakan mahasiswa menjadi bermasalah.” Dari pembicara pun menambahkan, Isa Maryam (icha) melihat realita sekarang, berpendapat, “mahasiswa sekarang susah banget dikumpulin untuk diajak aksi, dan daya kritis masing-masing mahasiswa berkurang karena mahasiswanya berada di zona nyaman yang tidak mau mereka lepas.”

Diskusi pun melebar ke segala aspek, bahkan membicarakan perundang-undangan di Indonesia. Mengenai aturan mana yang sesuai untuk manusia, disepakati oleh kedua pembicara yaitu Nia Kurniati (Nia) dan Fatimah Az-Zahra (Timi) bahwa hanya aturan yang bersumber dari Allah sajalah yang paling benar, karena Allahlah yang telah menciptakan manusia. Namun untuk menjawab pertanyaan moderator, yaitu “apakah akar masalah yang menyebabkan kondisi pergerakan mahasiswa di Indonesia menjadi bermasalah dan bagaimana solusinya?”, pertanyaan ini belum menemukan kesepakatan yang sama. Tentu jelas saja, diktif yang hanya berlangsung selama dua jam, tidak mungkin bisa menyatukan semua pemikiran masing-masing orang, karena pemikiran masing-masing orang tidak bisa disatukan dalam waktu yang instan. Karena itu butuh kajian dan diskusi lebih lanjut. Female HATI sebagai unit kajian yang berlandaskan Islam dalam setiap pemikirannya, berharap dengan adanya diktif mengenai pergerakan mahasiswa, setidaknya mahasiswa ITB yang datang pada diktif, menjadi tercerahkan pemikirannya. Dengan teropinikan bahwa mahasiswa harus bergerak dengan pemikiran yang berlandaskan islam saja sehingga apa yang dilakukan mahasiswa, baik itu aktivitasnya yang mencakup kuliah atau pergerakan mahasiswa sekali pun selalu mengharap pada ridha Allah saja.

Wednesday, October 19, 2011

DIKTIF Edisi Oktober

DIKTIF Oktober

Sunday, October 16, 2011

LIKA #6 Islam Agamaku, Islam Mabdaku

Ditegakkannya satu had (hukum Allah) di muka bumi ini adalah lebih baik bagi umat manusia dibandingkan dengan diguyurnya mreka oleh air hujan selama 30 atau 40 hari. (HR. Ahmad, Ibn Majah, an-Nasa’i)

Sudah berapa lama memeluk Islam? Sudahkah mengenal Islam? Apakah Islam itu? Apakah ia sekedar agama ritual? Apakah dia juga sebuah mabda (ideologi)?

Secara harfiah, kata idelogi bukan berasal dari Islam. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, idea dan logos. Idea berarti gagasan, sedangkan logos berarti pengetahuan. Dalam istilah politik, ideologi adalah sistem ide yang menyangkut filsafat, ekonomi, politik, kepercayaan sosial dan ide-ide. Atau dalam ungkapan yang lebih sederhana bisa didefinisikan dengan pemikiran yang mendasar, yang tidak dibangun berdasarkan pemikiran lain, yang justru memancarkan pemikiran-pemikiran lain (sistem hidup). Pemikiran mendasar seperti ini adalah pemikiran dasar, bukan cabang, sekalipun kadang ada pemikiran cabang yang bisa menghasilkan pemikiran lain, seperti Patriotisme, Nasionalisme dan sebagainya. Pemikiran cabang seperti ini, memang bisa menghasilkan pemikiran lain, tetapi tidak otomatis akan menjadikannya sebagai ideologi, karena pemikiran tersebut bukan pemikiran dasar. Pemikiran ini hanya layak disebut kaidah (qâ'idah), bukan ideologi (mabda').

Adapun pemikiran dasar, dalam pandangan ulama' ushuludîn adalah akidah; yaitu pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan (Allah), dan apa yang ada setelahnya (Hari Kiamat), berikut apa relasi antara manusia, alam, dan kehidupan itu dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan. Relasi antara manusia, alam, dan kehidupan dengan apa yang ada sebelum kehidupan adalah adanya penciptaan. Sementara relasi antara manusia, alam, dan keidupan dengan apa yang ada setelah kehidupan adalah bahwa asetiap amal yang dilakukan manusia ketika hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat nanti.

Hanya saja tidak semua pemikiran akidah bisa menjadi ideologi, kecuali pemikiran akidah yang rasional; akidah yang lahir dari pembahasan rasional. Jika akidah tersebut merupakan dogmatis atau doktriner, maka ia tidak akan pernah menjadi pemikiran, karena tidak mempunyai realitas, dan karena itu tidak disebut pemikiran yang menyeluruh, sekalipun disebut akidah. Contohnya, pemikiran mengenai eksistensi tiga oknum Tuhan, Bapak, Anak dan Roh Kudus, diyakini sama dengan satu, adalah pemikiran yang tidak bisa dibuktikan realitasnya. Sebab, secara logis satu berbeda dengan tiga, dan terbukti secara riil, satu adalah satu, dan tiga adalah tiga, dimana masing-masing adalah realitas yang berbeda. Maka, menyatakan ide trinitas sebagai ide ketuhanan yang maha esa, jelas bertentangan dengan realitas. Karena itu, akidah seperti ini hanya diterima sebagai dogma dan doktrin kebenaran, bukan sebagai hasil pembahasan rasional, yang terbukti realitasnya. Dengan demikian, akidah seperti ini tidak layak menjadi ideologi.

Islam adalah ideologi, karena akidahnya merupakan akidah rasional yang mampu memancarkan sistem, yaitu akumulasi hukum syara' untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Masalah hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan juga sesamanya. Dengan demikian, Islam bukan hanya agama, tetapi juga ideologi. Berbeda dengan Kristen, Yahudi, maupun yang lain, atau Kapitalisme dan Sosialisme. Kristen dan Yahudi hanyalah agama; masing-masing hanya mengajarkan spiritualisme, tanpa sistem yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia. Sementara Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi, bukan agama, karena tidak mampu menyelesaikan masalah spiritualitas manusia yang muncul dari naluri beragama mereka.

Maka, menyatakan ideologi sebagai ciptaan akal manusia, semata karena melihat Kapitalisme dan Sosialisme, kemudian digeneralisir untuk menyebut semua ideologi adalah produk akal jelas merupakan kesalahan logis. Ideologi memang pemikiran yang bersemayam pada benak manusia, tapi sumber pemikiran itu bisa dari kejeniusan akal, dan bisa pula dari wahyu Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Islam sebagai ideologi yang terbukti ketangguhannya sepanjang zaman, baik ketika diemban oleh negara maupun tidak, adalah ideologi yang bukan merupakan produk akal manusia, melainkan dari wahyu Allah SWT.

Demikian juga menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi, karena masing-masing sama-sama merupakan agama yang mengajarkan spiritualitas juga jelas merupakan kesalahan analitis. Sebab, Kristen dan Yahudi tidak mempunyai konsepsi kehidupan, selain konsepsi keakhiratan, dan masing-masing agama ini tidak mempunyai sistem untuk menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan. Lebih-lebih kemudian menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi sebagai sumber konflik, karena itu Islam harus dijauhkan dari wilayah politik, dan dikembalikan pada relnya sebagai ajaran spiritual yang berfungsi mencerahkan jiwa, jelas merupakan kesalahan logika yang sangat fatal. Hal ini akan menyebabkan umat Islam tidak bisa bangkit membebaskan diri dari cengkeraman ideologi yang saat ini diterapkan atas mereka.

Realitas Akidah Islam sebagai Ideologi

Sebagai ideologi, akidah Islam adalah akidah rasional yang mampu memancarkan sistem. Rasionalitas akidah Islam ini, bisa dibuktikan dengan tidak adanya kontradiksi antara apa yang diyakini dengan realitasnya, dan bisa dibuktikan. Keyakinan mengenai adanya Allah sebagai pencipta alam, manusia dan kehidupan, misalnya, sesuai dengan realitas alam, manusia dan kehidupan itu sendiri yang terbatas. Sedangkan keyakinan mengenai al-Qur'an sebagai firman Allah, sesuai dengan realitas al-Qur'an yang merupakan kitab suci berbahasa Arab yang tidak ada yang mampu menyainginya. Adapun keyakinan mengenai Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah adalah keyakinan yang dibangun berdasarkan realitas, bahwa beliaulah yang menyampaikan al-Qur'an, yang merupakan firman Allah SWT, petunjuk untuk manusia menjalani kehidupan. Sementara tidak seorang manusiapun yang diberi tugas untuk menyampaikan kitab suci yang diturunkan Allah SWT, kecuali dia adalah seorang nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Realitas bahwa alQuran berasal dari Allah akan menunjukkan hal-hal yang dicantumkan dalam alQuran berupa hari kiamat,malaikat dan hal-hal gaib lain bahwa semuanya adalah realitas.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisa: 136)

Ini jelas berbeda dengan kepercayaan pada hantu, misalnya, yang sama sekali tidak terbukti realitasnya, baik secara indrawi maupun penukilan yang dinyatakan oleh nash yang qath'i.

Adapun keyakinan terhadap qadhâ' dan qadar, mengenai perbuatan manusia, baik yang berasal darinya maupun yang menimpa dirinya, serta potensi benda yang diciptakan Allah; dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, baik perbuatan maupun benda.

Semuanya ini membuktikan rasionalitas akidah Islam sebagai keyakinan yang bulat, tidak bertentangan dengan realitas dan bersumber dari dalil. Dengan keyakinan yang rasional mengenai adanya Allah sebagai pencita alam, manusia dan kehidupan, serta keyakinan yang rasional mengenai al-Qur'an sebagai syariat yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad agar disampaikan kepada seluruh umat manusia, sebagai standar akuntabilitas di hadapan Allah, serta Muhammad sebagai Rasul, sang pembawa dan penjelas syariat, dan Hari Kiamat yang menjadi hari pembalasan dan perhitungan (hisâb), maka gambaran tersebut akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam kehidupan, yang akan menempatkannya pada jalur yang benar dan konsisten. Pada saat itulah, visi dan misi hidupnya sebagai pengemban risalah yang agung dan mulia di muka bumi akan terwujud. Kemudian, sistem yang terpancar dari risalah tersebut akan ditegakkan di muka bumi dengan dorongan keyakinan yang bulat serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT. Inilah hakikat akidah rasional Islam, yang memancarkan sistem dalam kehidupan.

Lahirnya Sistem Islam dari Akidah Islam

Sebagai akidah rasional yang memancarkan sistem, ideologi Islam mempunyai proses yang berbeda dengan Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika realitas kehidupan dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Kapitalisme untuk melahirkan sistemnya, sementara faktor produksi dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Sosialisme untuk melahirkan sistemnya, maka Islam berbeda dengan keduanya. Sistem Islam lahir dari sumber yang tetap, yaitu nash-nash syara’ yang tetap, Al Quran dan As Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai sumber sistem yang layak, yakni Ijma’ Sahabat Rasulullah saw. dan Qiyas; dengan cara memahami nash-nash tersebut, memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan, dan mengkompatibelkan realitas dengan nash. Jika realitas itu kompatibel dengan nash, berarti hukum yang terdapat dalam nash tersebut merupakan hukum atas realitas itu. Dan demikian sebaliknya. Dengan mekanisme ini, sistem Islam tidak akan mengalami perubahan sepanjang waktu dan tempat. Pada waktu yang sama, di setiap waktu dan tempat akan lahir para ahli hukum Islam (fuqaha/mujathid) yang akan mampu menggali hukum (ijtihad) dari nash-nash tersebut untuk menyelesaikan berbagai persoalan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, secara normatif, Islam memang sebuah ideologi karena akidahnya memancarkan seluruh peraturan kehidupan.

Allah juga telah berfirman:

“........Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. “ (Q.S. Al-Maidah: 3)

Jika Islam diterapkan secara utuh sebagai sebuah ideologi (mabda), baik dari aspek ibadahnya, sosial, ekonomi, pemerintahan, peradilan, pendidikan, maupun akhlaknya untuk menyelesaikan problem manusia, tanpa dibedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain, pasti kemaslahatan yang hakiki akan diperoleh oleh semua orang. Bukan hanya akan dirasakan oleh orang yang melaksanakannya saja, tetapi juga oleh orang lain. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah ushul:

“Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”

Secara historis, dapat dibuktikan juga bahwa Islam adalah ideologi. Banyak bukti bisa dilihat dalam cacatan sejarah, sebagaimana yang dibukukan oleh ahli sejarah, baik dalam sîrah maupun târîkh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Maghâzi al-Wâqidi, Tabaqât Ibn Sa’ad, Sîrah Ibn Hisyâm, Târîkh al-Umam Wa al-Mulk, Târîkh Ibn al-Atsîr, Târîkh Ibn Katsîr dan sebagainya. Buku-buku sejarah ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana Islam diterapkan sepanjang berabad-abad. Hanya dalam laporan sejarah sering kali tidak dipisahkan antara penerapan syariat yang gemilang dengan penyimpangan penerapannya. Dari sini bukti historis kadang malah menyebabkan keraguan di hati pengkaji sejarah. Maka, satu-satunya bukti paling otentik penerapan syariat Islam adalah kodifikasi hukum Islam yang terbukukan dalam kitab-kitab fiqih, mulai dari zaman Rasulullah hingga zaman Khilafah Uthmaniyyah di Turki.

Kendatipun demikian sejarah telah mencatat cacatan kegemilangan Islam selama 1300 tahun lebih ketika Islam diterapkan sebagai mabda' yang memimpin dunia, di mana angka orang yang dipotong tangan akibat kasus pencurian dan dikenai sanksi hudûd hanya 200 kasus. Rekor ini bisa diraih karena ketika mabda’ Islam diterapkan di tengah masyarakat, Islam akan membina masyarakat supaya menjadikan akidah Islam sebagai qiyâdah fikriyyah atau intellectual leadership mereka. Dengan demikian akan lahir ketakwaan dalam diri anggota masyarakat, di mana ketakwaan tersebut akan memancarkan sifat protektif (itqâ’), sehingga mampu mengendalikan diri setiap individu dan mendorong mereka untuk melaksanakan perintah Allah SWT serta meninggalkan larang-Nya. Masyarakatnya juga akan membawa pemikiran dan perasaan Islam, sehingga manjadikan anggota masyarakatnya aktif dan peka dalam melakukan amar ma’rûf dan nahy munkar sebagai kontrol sosial agar senantiasa berada di jalan Islam yang lurus. Sementara yang memainkan peranan paling penting dalam konteks ini adalah pemikiran dan metode Islam yang diterapkan dalam sebuah negara.

Secara empiris, banyak bukti bisa disaksikan hingga saat ini. Taqiy ad-Dîn an-Nabhâni memberikan gambaran yang rinci mengenai bukti tersebut yang terepresentasikan dalam dua aspek: Pertama, melalui lembaga pengadilan (alqadhâ’) yang bertugas menyelesaikan perselisihan di tengah masyarakat, baik kasus yang menyangkut anggota masyarakat dengan sesama anggota masyarakat, ataupun kasus antara anggota masyarakat dengan pejabat pemerintahan. Kedua, melalui institusi pemeritahan (alhâkim) yang bertugas melaksanakan seluruh hukum Islam di tengah masyarakat.

Mengenai pengadilan (al-qadhâ’), belum pernah ada dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi saw. hingga abad ke-19 M, diterapkan hukum lain selain hukum Islam, sebagaimana yang terbukukan dalam kodifikasi hukum Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Sepanjang 13 abad belum pernah ada satu masalah pun yang diselesaikan dengan menggunakan hukum lain, selain hukum Islam. Bahkan orang-orang non-Islam pun sangat menguasai hukum Islam dengan baik, sehingga ada di antara mereka yang mampu menulis kitab fiqih Islam, seperti Salîm al-Bâz, penulis syarah kitab undang-undang al-Majallah. Namun, setelah mahkamah dipecah menjadi sipil dan agama (syarî’ah), setelah merosotnya penguasaan fiqih Islam dan langkanya hakim syar’i, disamping karena mengikuti model perundang-undangan Barat, akibatnya kasus-kasus yang ada diselesaikan bukan dengan hukum Islam. Sekalipun demikian, dalam penerapannya hukum Islam tetap dilaksanakan di negeri-negeri kaum muslimin meski tidak utuh. Misalnya hukum potong tangan, rajam dan cambuk masih diterapkan di beberapa negeri kaum muslimin, baik di Arab Saudi, Malaysia maupun yang lain.

Mengenai bukti empiris penerapan Islam yang terepresentasikan dalam pemerintahan (al-hâkim) yang menerapkan hukum Islam sangat jelas. Ini dapat dilihat dalam buku-buku fiqih, antara lain terlihat melalui struktur: (1) Khalifah, (2) Wakil khalifah (Mu’âwin tafwîdh), (2) Pembantu administratif khalifah(Mu’âwin Tanfîdz), (4) Penguasa wilayah dan daerah (Wullât wa al-’ummâl), (5) Biro administrasi umum (al-Jihâz alidâri), (6) Panglima Perang (Amîr al-Jihâd), (7) Majlis Ummat dan (8) Pengadilan.

Inilah fakta dan bukti-bukti empiris yang telah membuktikan keutuhan Islam sebagai ajaran agama yang komprehensif, baik menyangkut konsepsi politik maupun spiritualnya. Semuanya dengan gamblang telah diajarkan Islam. Hal ini semakin menguatkan kedudukan Islam sebagai ideologi. Dengan metode penerapan Islam dengan Khilafah Islam, seluruh penyelesaian masalah yang lahir dari akidah Islam tersebut bisa diterapkan dan dijaga, sehingga tidak ada satupun hukum Islam yang diabaikan, atau bahkan ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Ghazâli menyatakan:

"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah penjaga; Apa saja yang (tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa saja yang (ada) tanpa penjaga, pasti juga akan hilang."

Dengan pemahaman Islam yang utuh seperti inilah para sahabat Rasulullah saw. berhasil melanjutkan dakwah dan kehidupan Islam yang dibangun Rasulullah saw. sehingga Islam di masa mereka tersebar luas dan berdaulat sampai ke hampir 2/3 belahan dunia. Panji-panji tauhid pun berkibar, hukum-hukum Allah yang sempurna ditegakkan, keadilan dan kesejahteraan ditebarkan.

Bagaimana dengan hari ini? Apakah Islam sebagai sebuah ideologi telah tampak dalam kehidupan keseharian kita? Atau Islam saat ini hanya teralienasi dalam skala spiritual semata? Apakah Islam yang dulu membawa kesejahteraan hari ini ditegakkan? Mengapa begitu meluas kemiskinan bahkan kemiskinan juga menimpa negeri ini padahal mayoritas penduduknya beragama Islam ?Temukan jawabannya dalam LIKA #6 , Islam Agamaku, Islam Mabdaku.