Sebuah Pengantar Kajian Demokrasi Female HATI
“In a democracy, it is NOT truth that matters; it IS public relations”
“But my dear Crito, why should we pay so much attention to what
‘most people’ think?”
—Socrates, in Plato’s CRITO (ca. 390 B.C.)
Aku dan demokrasi.
Bandung, Maret 2009.
Dalam keresahan dan himpitan berbagai pertanyaan,izinkan aku berbagi. Aku ingin mengisi “celah” di kepalamu. Bukan apa-apa, tuk sekedar informasi … menambah dialektika...walau kuharap ia kan menjadi awal sebuah revolusi. Yah, paling tidak menjadi motivasi padaku sendiri, untuk terus bertanya dan mencari.. lebih dalam tentang demokrasi.
***
Pentas demokrasi Indonesia kini kembali semarak. Jalanan kian penuh dengan spanduk-spanduk yang berisikan kampanye para caleg dengan segala gaya dan bahasa visualnya. Tak hanya itu, janji-janji lisan hingga kontrak politik pun dibuat. Masyarakat kembali bisa berharap akan adanya perbaikan sistem yang ada saat ini. Melalui sebuah sistem, yang dengannya negeri ini dihargai oleh Sang Negeri Adidaya sebagai negara pengimplementasi demokrasi. terbaik ketiga di dunia.
Di balik hingar bingar 2009 ini, sebuah pertanyaan muncul: Apakah sebenarnya demokrasi itu? Seberapa berpengaruh dan seberapa pentingnya ia, hingga saat ini demokrasi benar-benar dianggap laksana virtue, suatu nilai agung yang sudah “dianggap” benar dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Seperti itukah demokrasi?
Bahasa adalah rasa, begitu pula nilai yang dirasakan ketika mendengar kata ‘demokratis, pas’, Di benak kebanyakan dari kita, kata demokratis, yang identik dengan demokrasi, berhasil memiliki konotasi dan rasa positif… bukan begitu? Mari bandingkan, jika kita mendengar “suatu keluarga yang otoriter”, “pemerintahan yang diktator”, “pribadi yang sewenang-wenang”, tak perlu ditanya lagi, hati kita akan ‘menolak’ dan memberikan konotasinya negatif bagi kata-kata tadi. Dalam alam bawah sadar, kita dengan mudah membangun dikotomi: demokrasi vs kesewenang-wenangan atau demokrasi sebagai solusi atau otoriterisme.
Merujuk pada aspek epistemologi, kombinasi kata demos (rakyat) dan kratos (aturan) sepertinya bisa menjadi awal pengenalan kita dengannya. Di awal kita telah tahu, secara harfiah arti demokrasi adalah the rule of common people. Sederhananya atau dengan bahasa yang lebih akrab, demokrasi menawarkan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Konsep demokrasi lahir sebagai antitesis dari kepemimpinan tunggal dan kediktatoran seorang manusia atas manusia lainnya. Untuk itu, aturan tidak boleh lahir dari kekuasaan seorang manusia saja. Darinya, lahir sebuah pemikiran, bahwa pemerintahan yang terbaik adalah pemerintahan yang dapat mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat. Implikasinya, aturan-aturan yang dibuat pun harus merepresentasikan keinginan masyarakat. Sedangkan tidak mungkin mendengarkan seluruh pendapat masyarakat terlebih dahulu untuk menghasilkan suatu peraturan. Dari sini, muncullah istilah keterwakilan. Hukum dan aturan dibuat oleh wakil-wakil yang mereka pilih sendiri. Dengan harapan, aturan dan hukum yang dibuat akan mengakomodasi kepentingan bersama dan menghindarkan dari tirani tunggal dari penguasa tertentu.
Harga yang mahal untuk satu kata: demokrasi!
Tidak hanya itu, mari bayangkan, begitu banyak caleg yang terdaftar, Masing-masing tentunya menginginkan kemenangan .. Artinya mereka harus bersedia untuk melakukan kampanye ‘gila-gilaan’. Bahkan ada seseorang yang begitu nekadnya ingin menjadi caleg, hingga bersedia berutang ratusan juta rupiah ke bank. Apa yang akan mereka lakukan begitu dikukuhkan menjadi wakil rakyat? Mungkinkah pengembalian investasi?
Inikah keterwakilan yang kita harapkan? Inikah wajah demokrasi yang diusung semua orang? Inikah sistem yang kita harapkan mendatangkan solusi?
Apa yang sebenarnya kita harapkan dari demokrasi? Penjaminan atas kebebasan (kebebasan berpendapat, berperilaku, kepemilikan, ataupun beragama)? Terkadang aku berpikir, apakah sebegitu pentingkah kebebasan berpendapat? Pada kenyataannya pun kita tidak pernah mendapatkan kebebasan itu! Karena pada faktanya kita tidak diperkenankan bebas ketika sudah mengganggu kepentingan orang lain. Selain itu, kebebasan berpendapat ini pun seringkali menunjukkan muka dua nya.
Dulu, ketika rasulullah dihina lewat karikatur yang diterbitkan oleh salah satu koran di Belanda, kaum muslimin di seluruh dunia melakukan unjuk rasa, tetapi seingatku tidak ada ungkapan maaf yang terluncur dari pihak pembuat karikatur ataupun penanggung jawab media tersebut. Akan tetapi, hal yang berbeda terjadi ketika New York Post memuat karikatur yang menghina presiden AS terpilih, Barack Obama. Ketika peringatan melayang ke pihak New York Post mereka langsung mengklarifikasi dan menyampaikan maaf mereka. Ataupun ketika kaum muslim mengingikan penerapan syariat Islam, maka isu yang berkembang adalah adanya tirani mayoritas terhadap minoritas, tetapi tidakkah kita berpikir telah terjadi tirani minoritas atas mayoritas?
Begitu pun dengan kebebasan berperilaku, bukankah kita pun masih ingat kasus pelarangan jilbab di Prancis? Ketika seseorang (Seorang wanita terutama) diperbolehkan untuk menggunakan pakaian semini mungkin, tetapi ketika menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, larangan pun kembali melayang.
Begitu pun dengan kebebasan kepemilikan. Benarkah kita memilikinya? Berapa banyak perumahan liar yang digusur atas nama penghijauan kota? Tetapi bagaimana dengan perumahan mewah ataupun mall-mall yang dibangun di daerah resapan air? Apakah kebebasan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki banyak harta dan kuasa?
Para pengusung ide ini mengatakan kecacatan-kecacatan yang terjadi dalam demokrasi terjadi karena kesalahan pelaksanaan saja, tetapi apakah benar demikian? Ataukah demokrasi sudah cacat sedari awal? Terlepas dari hal yang lain, dapatkah demokrasi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh manusia?
Apakah kita menerima demokrasi ini karena memang keberadaan kita sekarang, di masa demokrasi adalah sebuah nilai yang disetujui sebagai suatu kebenaran dan jalan untuk mencapai win win solution untuk kebaikan seluruh umat manusia? Pernahkah kita berpikir bahwa sejarah masih berputar dan perubahan adalah sebuah keniscayaan? Dulu ketika firaun masih ada, mungkin kebanyakan orang tidak akan bermimpi bahwa manusia akan terbebas dari perbudakan firau. Ketika Arab masih dalam keadaan jahiliyah, kebanyakan orang mungkin tidak berpikir dari negeri ini akan muncul peradaban baru. Ketika tahun 70-80an siapa yang akan berpikir rezim Soeharto akan berakhir dengan keadaan yang sangat gelap. Ataupun kini, disaat demokrasi dianggap sebagai sebuah solusi akankah ia akan abadi? Seperti pendapat Fukuyama bahwa inilah the end of history…
Masih banyak pertanyaanku. Tentu, juga di kepalamu. Namun, justru itulah yang kuharapkan. Agar aku bisa datang kembali. Berbagi pertanyaan dan juga jawaban. Ya, selama demokrasi menyisakan tanya. Hingga ada jawabnya.
He (Socrates) complained that democracy elevates men to positions of authority not as a result of their wisdom or their fitness to govern, but as a result of their ability to sway the masses with empty rhetoric. In a democracy, it is not truth that matters; it is public relations.
[to be continued]