Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Tuesday, December 16, 2008

Teknologi Pengolahan Aspal di Era Kekhalifahan

Ibarat langit dan bumi. Begitulah para sejarawan kerap menggambarkan perbedaan antara kota-kota di dunia Islam dengan Eropa di era kekhalifahan. London dan Pariskini metropolis duniapa da masa kejayaan Islam hanyalah kota kumuh dengan jalanan becek yang pe nuh lumpur ketika hujan. Kondisi itu sungguh berbeda dengan Baghdad dan Cor dobadua metropolitan dunia yang berkembang sangat pesat di zaman kejayaan Islam.

Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang termasyhur, History of Arab, melukiskan jalan-jalan di kedua metropolis Islam itu begitu licin berlapiskan aspal. Seni membuat jalan sungguh telah berkembang pesat di tanah-tanah Islam, ungkap Hitti. Menurutnya, bermil-mil jalan di Kota Cordoba pusat kekhalifahan Islam di Spanyolbegitu mulus dilapisi dengan aspal.

Tak cuma itu, pada malam hari, jalanjalan di Cordoba pun telah diterangi dengan lampu. Di malam hari, orangorang bisa berjalan dengan aman, imbuh Hitti. Sedangkan di London dan Pa ris, orang yang berjalan di waktu hujan pasti akan terperosok dalam lumpur,’‘ cetusnya. Orientalis dan arkeolog terkemuka Barat, Stanley Lane- Poole, juga sangat mengagumi kehebatan pembangunan jalan di Cordoba.

Anda dapat menelusuri jalan-jalan di Cordoba pada malam hari dan selalu ada lampu yang akan memandu perjalanan Anda, papar Lane-Poole. Sebuah inovasi dan pencapaian begitu tinggi yang belum terpikirkan peradaban Barat ketika itu. Masyarakat Barat baru mengenal pembangunan jalan berlapis aspal sekitar tujuh abad setelah peradab an Islam di Spanyol menerapkannya.

Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, jalanyang dilakukan di zaman kekhalifahan Islam. Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M, cetus Ajram. Yang paling mengagumkan, pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M.

Menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Insinyur pertama Barat pertama yang membangun jalan adalah Jhon Metcalfe. Pada 1717, dia membangun jalan di Yorkshire, Inggris, sepanjang 180 mil. Ia membangun jalan dengan dilapisi batu dan belum menggunakan aspal.

Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Sejarah Barat mencatat, pada tahun itu aspal mulai melapisi jalan Champs-Elysees di Paris, Prancis. Sedangkan, jalan beraspal modern di Amerika baru dibangun pada 1872. Adalah Edward deSmedt, imigran asal Belgia, lulusan Columbia University di New York yang membangun jalan beraspal pertama di Battery Park dan Fifth Avenue, New York City, serta Pennsylvania Avenue.

Ajram mengungkapkan pesatnya pembangunan jalan-jalan beraspal di era kejayaan tak lepas dari penguasaan peradaban Islam terhadap aspal. Sejak abad ke-8 M, peradaban Muslim telah mampu mengolah dan mengelola aspal.Aspal merupakan turunan dari minyak yang dihasilkan melalui proses kimia bernama distilasi destruktif, ujar Ajram.

Zayn Bilkadi, seoarang ahli kimia dalam tulisannya, Bitumen A History, memaparkan, pertama kali aspal dikenal oleh bangsa Sumeria. Peradaban ini menyebutnya sebagai esir. Orang Akkadia mengenal aspal dengan nama iddu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya sayali, zift, atau qar. Sedangkan, masyarakat Barat mengenalnya dengan nama ‘bitumen’ atau ‘asphalt’.

Inilah produk minyak pertama yang pernah digunakan manusia, papar Bilkadi. Aspal, kata dia, sempat dikuasai oleh orang-orang Mesopotamia. Sejak dulu, aspal menjadi primadona. As -pal pernah digunakan peradaban Babilonia untuk membuat gunung buatan yng dikenal sebagai Menara Babel.

Masyarakat Mesir Kuno menggunakan aspal untuk merawat mumi. Peradaban Is lam yang mewarisi teknologi pengolahan aspal, sempat menggunakannya untuk menyembuhkan penyakit kulit dan lu ka-luka. Hingga akhirnya, peradaban Is lam mengenalkan aspal untuk melapisi jalan.

Orang Babilonia sudah mulai menguasai pengolahan aspal secara kuno. Namun, secara modern pengolahan aspal pertama kali ditemukan para ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang mengembangkan teknologi pengolahan aspal ada lah ‘Ali ibnu al-‘Abbas al-Majusi pada 950 M. Ia sudah mampu mengha silkan minyak dari endapan aspal yang hitam.

Caranya, papar Al-Majusi, endapan aspal itu dipanaskan sampai mendidih di atas ketel. Lalu, untuk mendapatkan cairan minyak, ia memeras endapan aspal itu sampai mengeluarkan minyak. Selain itu, saintis dari Mesir Muslim lainnya, Al-Mas’udi, juga mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak.

Al-Mas’udi menguasai teknologi pengolahan aspal menjadi minyak melalui proses yang mirip dengan teknik pemecahan modern (cracking techniques). Dia menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh kasa atau ayakan. Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Hasilnya, cairan minyak menetes ke kasa dan ditampung di dasar kendi.

Metode pengolahan minyak dari aspal lainnya yang ditemukan insinyur Mus lim adalah teknik distilasi yang disebut taqrir. Teknik ini kembangkan oleh sajana Muslim bernama Al-Razi. Berbekal
pengetahuan itulah, pada abad ke-12 per adaban Islam sudah menguasai pro ses pembuatan minyak tanah atau naphtha.

Menurut Bilkadi, mulai abad ke-12 minyak tanah sudah dijual secara besarbesaran. Di jalan-jalan di sekitar Damas kus, papar dia, banyak orang yang menjual minyak tanah. Di Mesir pun, minyak tanah pada abad itu telah digunakan secara besar-besaran. Dalam salah satu naskah disebutkan, dalam sehari rumah-rumah di Mesir mengha biskan 100 ton minyak untuk bahan bakar penerangan.

Penggunaan aspal menjadi pelapis jalan pun terus dikembangkan para saintis Muslim. Untuk melapisi jalan, para insinyur Muslim di Nebukadnezar menggunakan campuran aspal dengan pasir. Campuran pasir dan aspal untuk melapisi jalan itu di Irak dikenal dengan nama ghir.

Kosmografer Muslim, Al-Qazwini, dalam bukunya Aja’ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua macam campuran aspal dan pasir yang digunakan untuk melapisi jalan. Jika digunakan untuk mengaspal jalan, campuran itu dikenal sangat kuat dan lekat. Inilah salah satu bukti lagi bahwa peradaban Islam adalah perintis dalam berbagai penemuan dan teknologi. Sebuah kebanggaan yang seharusnya bisa menumbuhkan kembali semangat untuk bangkit mencapai kejayaan. heri ruslan (Republika; Kamis, 27 November 2008 pukul 15:35:00)

Friday, December 12, 2008

Resume Simnas Petrogressio

Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan PATRA ITB berjudul Analisis Kontrak Bagi Hasil Industri Migas di Indonesia dan Alternatifnya menghadirkan lima pembicara, yaitu

# Prof. Ir. Widjajono Partowidagdo, M.Sc., MSOR, MA, Ph.D (Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan), membawakan materi berjudul Kontrak Kerja Sama, Institusi dan Iklim Investasi Migas di Indonesia

# Ir. R. Priyono (Kepala BP MIGAS), membawakan materi berjudul Mencermati Pilihan Kontrak Kerja Sama Industri Hulu MIGAS

# Ir. Suwito Anggoro M.Sc. (President Director of PT. Chevron Pacific Indonesia), membawakan materi Kesinambungan Produksi Migas dan Eksplorasi Daerah Baru di Indonesia

# Ir. Tjatur Sapto Edy, MT. (Anggota Komisi VII dan Pansus Angket BBM DPR RI Fraksi-PAN), membawakan materi Analisis Undang-Undang yang Mengatur Kontrak Bagi Hasil di Indonesia dan

# Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S. (Sekjen Masyarakat Minyak & Gasbumi Indonesia (MMGI)) yang membawakan materi Usulan: Kontrak Baru Migas

dengan keynote speaker Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M.A., M.Sc (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Kabinet Indonesia Bersatu)

PSC (Production Sharing Contract) atau KKS (Kontrak Kerja Sama) berdasarkan UU No.22/2001 Pasal 1 angka 19 merupakan Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pencetus ide PSC adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya. Berdasarkan pendapat Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara” (1970). Pada intinya PSC membawa spirit bahwa kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam PSC manajemen ada di tangan pemerintah. Diharapkan pula dengan PSC ini terjadi transfer teknologi, sehingga negeri ini bisa mandiri dalam pengelolaan energi

Di dunia terdapat dua jenis PSC: based on Gross (berdasarkan pendapatan kotor) dan based on Net (berdasarkan pendapatan bersih). Di Indonesia digunakan PSC based on Net. Prinsip utama PSC adalah
1. Kontraktor menyediakan segala dana dan menanggung segala resiko
2. Manajemen Operasi di tangan BPMIGAS
3. Kepemilikan Bahan Tambang pada Pemerintah hingga Titik Penyerahan
4. Kontraktor berhak memperoleh kembali Biaya Operasi dari hasil penjualan minyak atau gas, bila ada produksi
5. Produksi hanya ada bila dinyatakan Komersialitas oleh Pemerintah
6. Masa Eksplorasi 6 tahun plus 4 tahun perpanjangan
7. BPMIGAS memberikan persetujuan WP&B, biaya dan metoda keteknikan yang digunakan

PSC sendiri mengalami beberapa generasi
Generasi pertama (1965 – 1978)
- cost recovery dibatasi sebesar 40%
- bagian kontraktor adalah 35% bersih
- DMO tanpa grace period

Generasi kedua (1978 – 1988)
- tidak ada pembatasan cost recovery
- bagian kontraktor adalah 15% bersih
- investment credit 20%
- DMO dgn harga pasar untuk 5 tahun

Generasi ketiga (1988 – sekarang)
- mulai diberlakukan First Tranche Petroleum (FTP)
* diperkenalkan pada kontrak yang ditandatangani 1988
* besarnya 20% dari produksi (gross)
* untuk menjamin Pemerintah menerima bagian hasil produksi
* FTP nantinya akan di bagi juga antara Pemerintah dan Kontraktor
- DMO bervariasi antara harga ekspor




Jadi, selama regenerasi PSC dari bagan di atas tampak bagian pemerintah menjadi semakin kecil dan kepentingan domestik juga teralihkan. Mengapa? Pada awalnya cost recovery hanya ditanggung kurang dari 40% oleh pemerintah, tetapi kemudian nilai cost recovery ini terus meningkat hingga tanpa batas. Apa saja yang termasuk dalam cost recovery?



Akan tetapi, berdasarkan temuan audit BPK (Sumber http://www.bpk.go.id/) menunjukkan kelemahan dalam hal cost recovery ini
• Semester I TA 2006 : Pembebanan interest recovery oleh Kontraktor PT. Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) sebesar US$ 4,96 juta, Conoco Phillips – Grissik (COPI Grissik) sebesar US$ 170,42 juta, dan Petrochina International Jabung Ltd (PIJL) sebesar 23,98 juta yang tidak sesuai ketentuan yang di atur dalam PCS.

• Semester I TA 2006 : Terdapat biaya-biaya yang seharusnya tidak menjadi beban pemerintah, yaitu:
- Proyek Polytechnic Caltex di PT. CPI,
- Tunjangan dependent school cost di PT. CPI,
- Sumbangan pada international school di PT. CPI,
- Biaya community development dan community relationship di PT CPI,
- Bantuan khusus karyawan di PT. Medco E&P Indonesia,
- Sumbangan kepada korban tsunami di PT. Medco E&P Indonesia.

• Semester II TA 2007 : Temuan biaya yang tidak dapat dibebankan dalam cost recovery BV dan PSC BP West Vava – Offshore North West Java (BPWJ) untuk Biaya untuk Tangguh Project tahun 2005 sebesar US$ 4.09 juta meskipun belum sepenuhnya disetujui KKKS dan BPMigas untuk dikoreksi

Beberapa ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil yang cenderung menurunkan porsi pemerintah:
1. Diberlakukannya cost recovery 100% dan bahkan 120% untuk lapangan marginal.
2. Dimasukkannya pembayaran bunga ke dalam cost recovery.
3. Diberlakukannya Domestic Market Obligation Holiday terhadap produksi migas (kontraktor tidak wajib menjual bagian hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dalam hal ini hingga 60 bulan). Bahkan untuk kasus Blok Cepu, Exxon meminta perubahan dengan menunda pembayaran hingga 60 bulan setelah peak production.
4. Diharuskannya Indonesia membeli minyak produksi KKKS yang merupakan dalam bagian dari minyak DMO dengan harga pasar sejak tahun 1976/1977. Padahal sebelum itu minyak tersebut dapat dibeli dengan harga 25% saja dari harga pasar.
5. Diubah-ubahnya porsi bagi hasil migas, dengan kecenderungan bagian pemerintah semakin lama semakin kecil.





Keterangan
AFE = Authorization for Expenditure atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol
FTP = First Tranche Petroleum atau hak para pihak untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknya (20 atau 15 %) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam kontrak kerja sama
ETS = Equity to be Split
DMO = Domestic Market Obligation merupakan kewajiban sebesar 25% dari bagian kontraktor sebelum pajak untuk memasok kebutuhan dalam negeri

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, skema PSC Indonesia tergolong “merepotkan”





Adapun peran BP MIGAS berdasarkan UU 22/2001 Pasal 44 ayat 3, PP 42/2002 Pasal 11 dan PP 35/2004 Pasal 90 adalah
1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
2. Menandatangani Kontrak Kerja Sama;
3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
4. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain rencana yang pertama;
5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
6. Melaksanakan monitoring pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
7. Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Negara.

Dalam sistem PSC di Indonesia artinya BP MIGAS memiliki peran yang sangat krusial dan tugas BP MIGAS sangat banyak dan tidak sesuai dengan budget yang dialokasikan untuk BP MIGAS (mengutip ucapan pak Tjatur), begitu pengawasan BP MIGAS longgar akan banyak kerugian yang dialami Negara (seperti sudah dipaparkan faktanya dalam audit BPK).

UU Migas No.22 Tahun 2001 pun ikut menambah runyam kondisi permigasan di Indonesia, sehingga MK mengajukan judicial review atas UU ini. MK melalui Putusan 002/PUU-I/2003 menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut sudah tidak berlaku (tidak mempunyai kekuatan hukum) dan harus dicabut atau diamandemen, namun hingga kini, pemerintah belum mengamandemen perubahan pasal-pasal tersebut.
Diantara pasal-pasalnya yang bermasalah, yaitu pada pasal 22 ayat (1) yang berbunyi
Bada Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.


Ini adalah Permasalahan Political Will para Penguasa/Pemerintah

Sepertinya kita pasti sepakat, Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Indonesia juga memiliki cadangan gas alam dan minyak bumi yang melimpah. Sumber energi memang perlu dieksplorasi sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Juga wajar ketika Pemerintah akhirnya bekerjasama dengan para pemilik modal untuk melakukan eksplorasi. Akan tetapi, adalah wajar pula ketika Indonesia sebagai tuan rumah dan sebagai pemilik sumber energi untuk mendapatkan keuntungan dari kekayaan yang dimilikinya. Sehingga sangatlah wajar jika Pemerintah membuat peraturan yang sangat protektif untuk bangsanya.

Beberapa pendapat mengatakan, jika kita menetapkan pengaturan yang sangat ketat, investor asing enggan untuk menginvestasikan modalnya di negeri ini. Lalu memangnya kenapa? Negeri ini negeri yang kaya bukan? Para karyawan bahkan Presiden Direktur suatu perusahaan minyak asing terkemuka saja juga adalah orang Indonesia! Sudah puluhan tahun perusahaan migas asing ada di negeri ini. Jika PSC pada awalnya ditujukan agar dapat terjadi transfer teknologi, apakah sekarang bukan saatnya untuk mandiri? Berdikari? Berdiri di atas kaki sendiri?

Sudah saatnya negeri ini untuk mengisolasi diri. Indonesia tidak butuh dunia, tetapi dunia membutuhkan Indonesia!!!

Sunday, December 7, 2008

DIARY HATI #13

Menilik Pendidikan Berbasis Syari’ah




Masalah Klasik Dunia Pendidikan Indonesia

SPP mahal, upah guru minim, kurangnya sarana dan prasarana, kurang daya saing, distribusi pengajar yang tidak merata,anak didik tidak memiliki watak mulia

Rasanya tidak akan cukup satu hari apabila kita ingin merunut semua permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia. Rumit dan kompleks. Penyelesaian satu masalah dengan masalah yang lain akan saling terkait. Misalnya saja, untuk penyelesaian masalah tawuran pelajar, tidak akan langsung selesai dengan hanya memberikan sanksi pada siswa yang bersangkutan. Permasalahan pendidikan di Indonesia memang tidak sederhana. Kita harus mencari apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan, sehingga solusi yang ditawarkan menjadi solusi yang sifatnya menyeluruh.

Memperbaharui Paradigma Pendidikan

Pendidikan merupakan fondasi yang penting bagi sebuah bangsa. Dengan pendidikan yang baik diharapkan input yang berupa potensi yang telah dimiliki sebelumnya oleh anak didik akan dapat dikembangkan dan menghasilkan output yang optimal. Maka diperlukan suatu rancangan sistem yang mampu memproduksi output yang berkualitas. Sistem yang ada saat ini tidak memperlihatkan hasil yang diharapkan.

Berbicara tentang sistem pendidikan, saat ini, diakui atau tidak, kita menggunakan sistem yang berlandaskan sekularistik-materialistik. Hal ini terlihat dari sifatnya yang hanya mencetak generasi yang mengetahui ilmu hanya sebagai jalan untuk mencari penghasilan. Tanpa memahami hakikat ilmu tersebut, apalagi menerapkannya untuk mencari solusi setiap permasalahan umat.

Sedangkan paradigma pendidikan dalam Islam bukan hanya membentuk insan-insan yang cerdas secara ilmu pengetahuan, namun lebih lanjut adalah pembentukan manusia yang berkarakter dan kepribadian, agar terbentuk pola pikir dan pola sikap yang khas.



Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu:

Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan wawasan Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.

Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara

Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:

"Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang anak kaum muslimin Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.



Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Jika harga 1 gram emas=Rp 200.000,00, maka gaji seorang pendidik yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang lalu jumlahnya mencapai Rp 12.750.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan angka yang fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan saat ini dimana berlangsungnya sistem ekonomi kapitalisme telah nyata sangat tidak menghargai peran pendidik, semisal upah yang didapatkan seorang guru honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk setiap jam pelajaran dengan perhitungan kerja riil satu bulan namun gajinya hanya dihitung satu minggu.

Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur.

Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya

DIARY HATI #12

Menilik KembaIi Undang-Undang Pornografi



Indonesia menempati posisi ke-3 untuk kategori pengakses internet dengan kata 'seks' terbanyak. Padahal, dua tahun lalu Indonesia menempati urutan ke-6, itu lebih hebat dari prestasi olimpiade. (Inke, Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia)



Sejak tahun 1997 lalu, RUU Pornografi telah dibahas, dengan segala pro kontra di masyarakat. Akhirnya, UU P disahkan pemerintah pada tangga 30 Oktober lalu. Respon pun bermunculan dari berbagai pihak melalui berbagai aksi massal dan opini di berbagai media.



Terlepas dari berbagai pro dan kontra yang terjadi. kehadiran UU P ini menyiratkan semangat dari masyarakat dan elit politik menanggapi terjadinya kemerosotan moral yang melanda negeri ini.



UU P ini telah mengalami empat kali revisi draft. Hal ini ditunjukkan untuk mengakomodasi seluruh kepentingan elemen masyarakat. Akan tetapi, pro kontra masih saja bermunculan. Jika kita mencermati lebih dalam lagi, UU P ini masih memiliki kelemahan dari berbagai sisi, baik dari segi perjalanannya maupun konten UU itu sendiri.



Pertama, dalam keberjalanannya, diksi (pemilihan kata) “UU Antipornografi dan Pornoaksi” diganti menjadi “UU Pornografi”. Hal ini mengisyaratkan bahwa tujuan UU ini bukan untuk memberangus pornografi melainkan “mengatur” pornografi. Dengan demikian, ada celah untuk kebolehan pornografi dan pornoaksi pada tempat dan dengan cara khusus atau atas nama seni dan budaya. (Lihat Pasal 14 UU P)



Kedua, tidak ada landasan teologis yang jelas. Dengan melemparkan masalah pornografi kepada suara terbanyak tentu saja tidak akan pernah ditemukan suatu jalan keluar karena standar kemaslahatan bagi setiap orang itu berbeda. Akibatnya, RUU harus berlarut-larut dalam pro kontra dan menghasilkan output berupa “hasil kompromi”



Kelemahan UU Pornografi

Dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa unsur-unsur pornografi dalam UU ini adalah: (a) yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau (b) melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini menimbulkan macam-macam penafsiran dan perdebatan. Seperi parameter membangkitkan hasrat seksual, siapa yang berhak menentukan kriterianya, standar nilai dan kesusilaan, dan keanekaragaman nilai yang ada di masyarakat Indonesia.



Dalam pasal 4 ayat 1. Menurut pasal ini, materi seksual yang dikategorikan sebagai pornografi hanya menyangkut lima perkara, yang semuanya hanya berkisar pada kelamin saja (persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, dan alat kelamin). Ini berarti materi pornografi selain yang disebutkan itu tidak termasuk dalam kategori pornografi yang dilarang.



Dalam pasal 14 disebutkan Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai : (a) seni dan budaya (b) adat istiadat, dan (c) ritual tradisional.

Pertanyaannya adalah apa yang melandasi ketiga kriteria diatas sehingga bisa menjadi legitimasi untuk membiarkan penyebaran pornografi? Jika atas nama seni, mengapa materi seni harus bernuansa porno (dengan definisi dalam UU P ini)? Bukankah seorang seniman adalah orang-orang yang kreatif? Apakah kekreatifan mereka hanya ada pada ranah seksualitas? Jika kita pikirkan tentu saja seorang yang kreatif akan bisa mencari jalan keluar dari segala keterbatasan.

Sedangkan mengenai adat istiadat dan ritual tradisional, apakah sesuatu yang buruk tetap harus dipertahankan atau diperbaiki? Bagaimana mungkin suatu bangsa yang katanya sudah 68 tahun merdeka masih mendapati rakyatnya tidak berpakaian!



Pertentangan Sekularisme dan Islam

Pada saat DPR akhirnya mengesahkan RUU Pornografi pun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) memilih walkout dalam sidang paripurna. Alasan kedua partai ini hampir sama. UU ini melanggar HAM, mengancam pluralisme, diskriminasi. Keduanya menganggap UU ini mengancam sekulerisme Indonesia. Anggota pansus dari PDIP Eva Kusuma Sundari menilai negara telah memasuki wilayah privat, sementara NKRI bukan negara agama. Sementara PDS saat menarik anggotanya sebagai anggota Pansus RUU ini mengatakan RUU ini penuh dengan muatan syariah agama tertentu yang akan menimbulkan perda-perda yang diskriminatif. Baik PDIP dan PDS yang secara terang-terangan menyatakan UU ini merupakan upaya terselubung untuk penerapan syariah Islam di Indonesia.



Intervensi Asing dan Independensi Pemerintah.

Sulitnya penyusunan dan pengesahan UU P ini sebenarnya tidak lepas dari intervensi asing dan kepentingan industri seks di Indonesia. Balkan Kaplale, Komisi VII DPR RI mengatakan bahwa setidaknya ada tujuh Negara yang mengintai RUU P (misalnya Swedia dan Denmark). Beliau juga mengakui pernah menerima kedatangan perwakilan Uni Eropa dan AS yang mengkhawatirkan pengesahan RUU APP ini.



Ke Depan: Hanya Syariah Islam!

UU P telah disahkan. Bagaimanapun pro kontra yang ada, UU ini dengan segala kelemahan konten dan kejanggalan isinya akan segera diaplikasikan. Bagaimanapun juga pornografi dan pornoaksi adalah kemungkaran yang harus dilenyapkan, bukan diatur apalagi dilegalkan ataupun dilokalisasi!



Islam memiliki peraturan yang lengkap dalam mengatur tatanan sosial masyarakat. Telah masyhur bagaimana Islam memberikan batasan aurat yang jelas bagi laki-laki maupun perempuan. Keduanya wajib menutup auratnya, terlepas akan membangkitkan hasrat seksual ataupun tidak. Islam pun mengatur tentang ikhtilat, khalwat, tabaruj. Islam memberikan aturan yang komprehensif, mulai dari pencegahan, penjagaan (amar makruf), hingga hukum jika pelanggaran tetap terjadi. Oleh karena itu, dengan Islam, permasalahan pornografi dan pornoaksi tidak akan menjadi serumit ini.



Jika UU P ditujukan untuk memformulakan suatu pranata sosial yang lebih baik. Akan tetapi, pada faktanya justru menjadi legitimasi kemaksiatan dan distorsi.



Hanya dengan syariat Islamlah masyarakat akan menjadi baik, beradab, bermartabat, dan diridai Allah SWT. Wallahu'alam bi ash shawab.

Monday, November 17, 2008

Bioenergi : Solusi Alternatif vs Konspirasi ?

By Salsabila azZahra

“The Challenge is to build a new economy and to do it at wartime speed before we miss so many of the nature’s deadlines that the economic system begins to unravel” (Lester Brown, Earth Policy Institute)

Bioenergi kini menjadi berita alternatif yang menawarkan solusi di tengah himpitan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. Setiap negara di dunia kini berlomba-lomba meningkatkan pengembangan, dan produksi bioenergi atau bahan bakar nabatinya. Bahan bakar nabati (BBN) dapat berupa biodiesel (bahan bakar pengganti solar), bioetanol (bahan bakar pengganti bensin), atau bio-oil (bahan bakar pengganti kerosen dan minyak bakar). Bio-oil /Pure Plantation Oil (PPO)/Straight Vegetable Oil (SVO) adalah minyak nabati murni, tanpa perubahan kimiawi. Sedangkan biodiesel dibuat melalui reaksi transesterifikasi/metanolisis minyak nabati seperti minyak sawit, kelapa, jarak pagar, kapok, malapari, nyamplung, minyak goreng jelantah, dan sebagainya. Bioetanol merupakan etanol anhidrat dari bahan-bahan bergula atau berpati seperti tetes tebu (mollase), nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya. Bioenergi menjadi salah satu energi alternatif yang dilirik karena kemudahannya dalam aplikasi pada kendaraan, selain juga karena tekanan krisis energi berbasis fosil. Penggunaan campuran biodiesel pada solar maupun bioetanol pada bensin, pada kadar tertentu, tidak membutuhkan adanya perubahan spesifikasi pada mesin. Energi yang dihasilkan biodiesel/bioetanol tak berbeda jauh dengan solar/bensin. Dalam proses pembuatannya pun, hanya membutuhkan energi sekitar 1/3nya. Dalam setiap unit energi yang digunakan untuk menghasilkan biodiesel akan dihasilkan 3.2 unit energi. (Tirto, 2006)

Khusus untuk biodiesel, juga memiliki kelebihan-kelebihan yang lain, yaitu dapat terdegradasi dengan mudah (biodegradable), 10 kali tidak beracun dibanding minyak solar biasa, memiliki angka setana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatic sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer sehingga lebih jauh lagi mengurangi efek pemanasan global atau banyak disebut dengan zero CO­­2 emission.(Tirto, 2006)

Dewasa ini, pengembangan energi alternatif menjadi pilihan penting. Bukan saja untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang harganya terus meningkat, namun sekaligus memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran, serta perbaikan lingkungan hidup. Terlebih dalam himpitan ketergantungan terhadap impor minyak akibat krisis. Berlimpahnya kekayaan sumber migas di negeri ini tidak diikuti dengan produksi nasional yang melimpah pula. Bahkan, cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia jumlahnya terbatas, sementara konsumsi energi terus meningkat. Berikut ini data produksi dan cadangan sumber daya energi fosil.

Tabel 1. Status Cadangan Energi 2005

Jenis Energi

Sumber Daya

Cadangan Terbukti

Produksi (per tahun)

Perbandingan (Cadangan/Produksi)

Minyak Bumi

86,9 milyar barel

9 milyar barel*)

500 juta barel

18 tahun

Gas Bumi

384,7 TSCF

188 TSCF

3,0 TSCF

62 tahun

Batu Bara

57 milyar ton

19,3 milyar ton

130 juta ton

147 tahun

Sumber : Blue print Pengelolaan Energi Nasional, ESDM,2005

Ket :*) termasuk blok Cepu

Produksi minyak dalam negeri kita kini sudah tidak mampu memenuhi konsumsi minyak di dalam negeri. Akhirnya, kita pun harus tergantung pada minyak luar negeri. Impor minyak kita sangat besar. Jika hal ini dibiarkan tanpa solusi, beban negara untuk menyubsidi BBM (bahan bakar minyak) akan semakin berat. Walaupun saat ini saja, harga minyak dunia sudah mengalami penurunan, yaitu sekitar 58,49 dolar AS per barel untuk jenis light sweet (MetroTV, 14/11/08), namun tidak membuat perubahan ekonomi secara signifikan di masyarakat. Berawal dari masalah inilah, di tahun 2006, pemerintah mencanangkan era kebangkitan energi yang ke-2 dimana peranan energi alternatif akan menggantikan minyak bumi.

Tak hanya krisis energi. Beragam isu lingkungan, seperti ozon depletion, photochemical smog, rain acid, global warming, dan sampah menjadi isu yang kian bersahabat di telinga kita untuk diperangi. Untuk masalah sampah, hingga tahun 2020 mendatang, volume limbah ini di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Tahun 1995, menurut data yang dikeluarkan Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi V Menteri Lingkungan Hidup, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata 0,8 kilogram per kapita per hari. Sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 kilogram per kapita per hari. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 2,1 kilogram per kapita per hari. (Kompas, 18/09/03). Pemakaian bioenergi yang sangat ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat agar bioenergi diterapkan di dunia secara masif dewasa ini.

Karena itu, banyak pihak yang menilai perlu adanya strategi kebijakan energi pemerintah yang didasarkan pada empat komponen penting, yakni intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden No.10/2005 tentang Penghematan Energi. Juga dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM), yang diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 (tertanggal 25 Januari) tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Berbagai regulasi lain juga telah diterbitkan berkenaan dengan masalah lahan, infrastruktur, pabrikasi, pasar, dan pendanaan bioenergi. Langkah yang dilakukan terkait dengan aspek pendanaan adalah pematangan lembaga Indonesia Green Energy Fund (seed-capital dari APBN dan APBD), PKBL dari BUMN untuk budidaya pembibitan dan demplot, fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang bio-fuel melalui RPP 148, insentif pajak dan cukai untuk usaha bidang bio-fuel, serta regulasi perbankan dan pasar modal yang kondusif terhadap pembiayaan pengembangan BBN.

Tabel 2. Sasaran Energi Mix 2025 Berdasarkan PP No.5 Tahun 2006

Jenis Energi

Tahun 2006

Target Tahun 2025

Minyak Bumi

51,66 %

20 %

Panas Bumi

1,32 %

5 %

Tenaga Air

3,11 %

-

Gas Bumi

28,57 %

30 %

Batu Bara

15,34 %

33 %

Biofuel

-

5 %

Biomassa,nuklir,air,surya,angin

-

5 %

Coal Liquefaction

-

2 %

Sumber :ESDM, 2006

Sejak beberapa tahun terakhir ini, sejumlah riset dan penelitian terus dilakukan. Di antaranya adalah didirikannya Forum Biodiesel Indonesia, yang dipimpin oleh Bapak Tatang H. Soerawidjaja, beranggotakan sejumlah personel dan tenaga ahli dari berbagai institusi, di antaranya dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (P2KS), Deptan, Dephub, ITB, IPB, dan lembaga lainnya. Begitu juga dengan pengembangan bioetanol, melibatkan sejumlah lembaga seperti BPPT, ITB, dan lain-lain.

Tak hanya itu, persiapan ke arah komersialisasi biodiesel dan bioetanol di dalam negeri pun terus digalakkan. Cetak biru program pendanaan pengembangan BBN pun telah rampung dibuat. Di antaranya terdapat strategi tiga jalur pendanaan, yaitu jalur APBN (Bappenas, Depkeu, Kementerian, DPR), jalur swasta (lembaga perbankan, lembaga non-perbankan, pemerintah), dan jalur gabungan (lembaga perbankan, lembaga non-perbankan, pemerintah, bilateral dan multilateral donors).

Tabel 3. Risalah Perkembangan Investor BBN

Luas Lahan, hektar

Sawit

Jarak Pagar

Tebu

Singkong

Rencana Swasta Luar Negeri (LN)

500.000

850.000

250.000

300.000

Rencana Swasta Dalam Negeri (DN)

900.000

50.000

520.000

80.000

Rencana BUMN

900.000

200.000

30.000

20.000

Sumber : Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Agustus 2006

Bioenergi di Berbagai Negara

“Our third goal is to promote energy independence for our country, while dramatically improving the environment. I have sent you a comprehensive energy plan to promote energy efficiency and conservation, to develop cleaner technology, and to produce more energy at home.” (George W.Bush, 28th January 2003, State of the Union address)

Tak hanya Indonesia yang demam biodiesel, negeri-negeri lain juga mengalami hal yang serupa, dari mulai negeri paman Sam hingga India. Presiden AS, George W. Bush, berkali-kali menguatkan komitmen pemerintah AS tentang pentingnya peranan biodiesel dan bioetanol pada berbagai kesempatan pidatonya. Presiden Bush pertama kali mengumumkan Kebijakan Nasional tentang Bioenergi semenjak 17 Mei 2001, di antaranya berisi tentang diversifikasi energi AS melalui teknologi batu bara bersih, solar cell dan angin, bioenergi, serta nuklir yang aman. Khusus untuk bioenergi, Bush memiliki program ‘Twenty in Ten’ yaitu target 20% campuran bioetanol dalam bensin pada 10 tahun mendatang.

Dalam salah satu kunjungannya ke industri biodiesel di Virginia, Bush mengatakan bahwa biodiesel merupakan sumber energi alternatif yang sangat menjanjikan di masa depan. Dengan mengembangkan biodiesel, rakyat AS telah mengurangi ketergantungan negara ini terhadap minyak luar negeri. Bahkan, untuk mengingatkan rakyatnya bahwa AS sangat tergantung dengan sumber energi dari luar, Bush mengomparasikan data konsumsi energi yang digunakan AS pada tahun 1985 dan tahun 2005. Dijelaskan Bush, pada 1985, 75 persen minyak AS masih dihasilkan dari produksi di dalam negeri, tetapi pada tahun ini, hanya 35 persen saja yang bisa diproduksi di dalam negeri. Selebihnya, AS mengimpor dari luar negeri, khususnya negara-negara Timur Tengah. Karena itu, tidak heran, jika Bush pun serius memperbaiki kebijakan energi di AS dengan memberdayakan sumber daya hayati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan bioetanol.

Namun, keganjilan menyeruak. Bila kita memperhatikan langkah strategis yang dilakukan Bush, justru banyak yang bertentangan dengan apa yang dikatakannya. Apakah ini merupakan salah satu standar ganda dari sang negara adidaya?

1. APBN Bush tahun 2006 menunjukkan anggaran sebesar $354 juta untuk Department of Energy’s (DOE) renewable energy program (solar, geotermal, and bioenergi). Jumlah ini menurun sebesar 5,6% dibandingkan APBN tahun 2005.” (Union of Concerned Scientists, 22th February 2005)

2. Bush menandatangani “Energy Policy Act of 2005” pada 8 Agustus 2005, yang tertera untuk memberikan $4.3 milyar sebagai insentif pajak untuk perusahaan minyak berskala besar. (New York Times, 28th July 2005

3. Bush mengancam untuk memveto Renewable Energy and Energy Conservation Tax Act (H.R. 2776), yang termasuk di dalamnya insentif pajak untuk produsen dan pemilik teknologi bioenergi, dan the New Direction for Energy Independence, National Security, and Consumer Protection Act (H.R. 3221), yang termasuk di dalamnya 15% standar bioenergi elektrik (Statement of Administration Policy, 3th August 2007)

Fakta ini memunculkan sebuah pertanyaan, mengapa yang dilakukan oleh negara adidaya bertentangan dengan yang mereka katakan? Apakah demam investasi asing di Indonesia pada sektor bioenergi merupakan konspirasi negara-negara utara untuk mengeruk SDA negara selatan?

Tidak hanya AS, negara seperti India dan Cina juga mendukung program bioenergi ini. Di India, Perdana Menteri Maharashtra mengumumkan pemotongan pajak sebesar 14 sen per galon untuk ekspor etanol ke negara bagian India yang lain, demi tercapainya program E5 (campuran bioetanol 5% dalam bensin). Negara ini merencanakan untuk mengekspor 475 juta gallon etanol ke 11 negara dan 3 wilayah territorial dalam tiga tahun. Di Cina, General Biodiesel mengumumkan akan membuat biodiesel plants di Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Wenzhou dengan jumlah investasi langsung sebesar $100 juta. Pembangunan ini bertujuan untuk mencapai target produksi 200.000 ton pada 2010 dan 2 juta ton pada 2020.

Di dunia telah ada lebih dari 85 pabrik biodiesel dengan kapasitas 500 - 120.000 ton/tahun dan pada 7 tahun terakhir ini 28 negara telah menguji-coba, 21 di antaranya kemudian memproduksi. Amerika dan beberapa negara Eropa telah menetapkan Standar Biodiesel. Berbagai bahan baku juga telah dipergunakan seperti, minyak rapeseed (kanola) di Eropa, minyak kedelai di Amerika serikat, minyak kelapa di Filipina, minyak sawit (Malaysia), dan lain-lain. Di Hawaii minyak jelantah juga telah dipergunakan oleh Hawaii, Pacific Biodiesel Inc. dengan kapasitas pabrik kecil (40 ton/bln). Di Nagano (Jepang) bahan baku dari 60 fast-food restaurants telah dipakai sebagai bahan bakunya.Sehingga, Biodiesel telah merebut 5% pangsa pasar ADO (automotive diesel oil) di Eropa. Target Uni-Eropa adalah 12% pada tahun 2010. Khusus di Malaysia telah dikembangkan pilot plant biodiesel dengan skala 3000 ton/hari yang telah siap memenuhi kebutuhan solar jika sewaktu-waktu diperlukan.

Berkaca Pada Brazil

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Brazil dengan program Pro-Alcool menunjukan keterlibatan banyak pihak dalam menyukseskan biofuel sebagai pengganti BBM. Kemudahan untuk usaha di bidang pertanian tebu, subsidi, hingga mesin yang dibuat untuk mengakomodasi keunikan bioetanol dibandingkan dengan BBM. Selain faktor yang terkait langsung dengan objek teknis, seperti mesin mobil, pertanian tebu, serta industri pengolahan tebu menjadi bioetanol, pemerintah Brazil juga melakukan kampanye untuk mengajak masyarakat agar turut berpartisipasi.

Pengembangan biodiesel dan bioetanol terkait dengan isu global, yaitu tingginya kebutuhan energi. Di Brasil, sejak 1975, telah dimulai program Pro-Alcool (Program Alkohol Nasional) yang dipicu krisis minyak di negara tersebut dua tahun sebelumnya. Hingga saat ini, program tersebut telah berhasil mengurangi 10 juta mobil berbahan bakar bensin. Pajak yang tinggi bagi bensin dan subsidi pemerintah bagi usaha etanol, menyebabkan industri etanol berkembang dengan subur di Brazil.

Program Pro-Alcool yang diterapkan Brazil tak hanya sebatas kampanye penanaman tebu serta subsidi, namun juga terkait dengan penggunaan etanol secara meluas. Hal ini tercermin dari pompa bensin yang menyediakan dua jenis bahan bakar, gasoline dan etanol, serta produksi mobil dengan mesin berbahan bakar etanol maupun combo (dua jenis bahan bakar). Apresiasi masyarakat terhadap perubahan ini tampak dari peningkatan pembelian mobil berbahan bakar ethanol. Pada 2007, 86% dari seluruh jumlah mobil yang dijual berbasiskan etanol. Jumlah mobil yang menggunakan E100 (murni etanol) pada tahun 2007 saja sudah mencapai 4,6 juta buah. Brazil kini sudah memiliki 63 pompa pengisian etanol.

Keberhasilan Brazil mengindikasikan energi masa depan yang berorientasi pada energi terbarukan. Apakah Indonesia akan mengikuti jejaknya?

Pro-Kontra Bioenergi: Food vs Fuel ?

Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan masalah krisis pangan dunia yang terkait dengan perebutan lahan dengan penanaman tanaman bioenergi. Padahal menurut catatan pemerintah (Sambutan Menko Kesra, 2006) di Indonesia terdapat 25 juta hektar hutan gundul dan lahan kritis, sedangkan jumlah lahan yang rencananya digunakan untuk penanaman bioenergi hanya 6 juta hektar. Lantas apa yang salah? Kenaikan minyak goreng pada waktu yang lalu di Indonesia bisa jadi dipicu karena adanya “perebutan” stock, yang seharusnya untuk pangan menjadi untuk biodiesel. Jumlah lahan kelapa sawit seluas 0,1 juta hektar (2006), 0,4 juta hektar (2007), dan 0,6 juta hektar (2008) yang disiapkan pada ketiga tahun tersebut belum menghasilkan hasil CPO (Crude Palm Oil) yang berarti, sedangkan euphoria biodiesel tengah berlangsung. Bagian untuk pangan akhirnya menjadi ikut terambil. Begitupun dengan hasil panen tanaman kedelai dan jagung yang terjadi di AS.

Kasus food vs fuel akan selalu menjadi teror ketika jenis tanaman yang dikembangkan berjenis edible-oil (bisa dimakan) seperti kelapa sawit, tebu, atau singkong. Sehingga, untuk menghindari terjadinya kasus ini adalah dengan mempertimbangkan kembali jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Walaupun Indonesia berpotensi sebagai produsen kelapa sawit terbesar, namun bukan berarti harus jenis itu yang harus dikembangkan. Kelayakan jumlah lahan, kondisi hara tanah, dan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat juga harus menjadi pertimbangan. Indonesia merupakan negara terkaya di dunia akan plasma nutfah di daratan dan lautan. Potensi keanekaragaman hayati tumbuhan Indonesia, memungkinkan untuk ditanami beragam tanaman non-pangan yang mampu tumbuh di lahan kritis/tandus atau rawa pantai, dan sekaligus mampu mengembalikan hara tanah. Tanaman seperti ini contohnya adalah Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang dan Nyamplung (Callophyllum inophyllum). 1 Ha tanaman jarak pagar dapat menghasilkan 4-9 ton biji dengan rendemen minyak 20-30%, sehingga dapat diperoleh 0,8-2,7 ton minyak jarak kasar (Departemen Pertanian, 2006). Tanaman ini mulai berproduksi pada usia 6 bulan-9 bulan, dapat tumbuh di lahan tandus dan kritis, dapat menghijaukan lahan tandus, serta hama dan penyakit dapat terkendali (Prihandana, 2006). Bioenergi sebenarnya juga sangat efektif jika diaplikasikan pada limbah industri dan pertanian, seperti ampas tebu (baggase), molase, bungkil jarak, dan sebagainya untuk diproses menjadi bioetanol ataupun biogas. Selain menghasilkan energi, juga sekaligus dapat menyelamatkan lingkungan.

Bagaimana jika kelak lahan darat harus dikerahkan untuk produksi pangan? Bahan bakar hayati pun bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh di perairan tawar/asin. Proses ini tidak membutuhkan traktor, penyemaian benih dan panen, serta ‘waktu tanam’ hanya 1 minggu saja. Asupan CO2 untuk alga pun dapat diambil dari emisi bahan bakar fosil. Hanya saja teknologi pemrosesannya masih berharga mahal. Namun, Indonesia sebagai negara bergaris pantai terpanjang di dunia memiliki potensi besar pada pengembangan jenis ini.

Jadi, dengan begitu kayanya Indonesia dengan keanekaragaman hayati, mengapa masih banyak masalah yang timbul? Mengapa justru investasi asing yang ‘ramah’ terhadap tanaman yang potensial, sedangkan APBN hanya memberikan porsi yang sangat sedikit (Lihat Tabel 3)? Sekadar latah dengan kecenderungan biofuel yang menjadi isu global, atau ini merupakan usaha sungguh-sungguh pemerintah untuk mengatasi masalah energi bangsa?

Menuju Kemandirian

Terlepas dari benar atau tidaknya krisis energi, kita semua menyadari bahwa sumber energi fosil suatu saat akan habis. Selain itu, kita pun menyadari dampak lingkungan yang diakibatkan oleh minyak fosil selama ini. Oleh karena itu, pengembangan bioenergi ini memang sudah saatnya dilakukan. Hanya saja, bukan berarti kita menjadi teralihkan pandangan begitu saja dari sumber energi fosil, karena saat ini, barang tersebut mutlak dibutuhkan dan menjadi hak bagi umat.

“Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”(HR Ahmad dan Abu Dawud). Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ada tambahan,”Dan harganya haram”

Teknologi pengembangan bioenergi sendiri merupakan uslub/teknis yang diserahkan kepada kreativitas masing-masing umat.

“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”(HR Muslim, dari ‘Aisyah dan Anas)

Sehingga sangat disayangkan jika kita bersusah payah mencari sumber energi baru (bioenergi) yang bersifat mubah (boleh), sedangkan tanpa sadar yang menjadi milik umat sesungguhnya, sudah “dicuri” negara lain. Begitupun pengembangan dan produksi bioenergi harus dikembangkan secara sungguh-sungguh dan tetap berasaskan kemandirian. Demi berlepas diri dari ketergantungan terhadap asing. Program BBN seharusnya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan domestik, bukan untuk ekspor. Pendanaan pun harus dalam kerangka nasional, terlebih pada titik-titik strategis. Kebebasan pada investasi asing tanpa memperhatikan kecukupan dan kemandirian nasional, sama saja membuka jalan lain bagi asing untuk mengeruk SDA kita lewat jalur lain. Produksi BBN tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi, Indonesia sesungguhnya mampu untuk itu. Namun, politik luar negeri yang lemah dan ketidaktegasan pemerintah seakan-akan menjadikan program BBN ini sebagai “demam global” saja. Teknologi negara lain dianggap lebih mampu dalam menyelesaikan permasalahan negeri ini. Padahal, realita dan masalah yang terjadi di negeri ini mungkin tidaklah sama seperti yang terjadi di negara lain. Jika hal ini terus dibiarkan, bioenergi ini bukan menjadi solusi alternatif, tetapi akan menghasilkan masalah yang tak berujung. Seperti halnya mengaduk-aduk dalam lumpur. Padahal Indonesia dan negara muslim lain, terutama yang memiliki iklim tropis, memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah (baik secara jumlah maupun varietas). Sehingga berlepas diri dari ketergantungan asing bukan menjadi suatu hal yang mustahil.

“Tidaklah seorang makan makanan yang lebih baik daripada makanan hasil jerih payahnya sendiri”(HR Ahmad)

Di sinilah peran partai politik untuk terus menerus memonitor realita yang terjadi di hadapannya. Melihatnya dengan cermat dan mendalam. Partai politik harus melakukan kerja politik, membongkar maksud di balik realita, dan mengungkap kebobrokannya. Dia ibarat ‘terbang’ di alam (suasana) yang lebih tinggi dan mampu melihat realitas masa depan yang harus dicapai oleh umat, yakni mampu melihat kehidupan baru dimana umat akan diubah ke arah keadaan tersebut. Dia juga dapat melihat jalan yang harus dilewatinya dalam mengubah realitas yang ada (AnNabhani, 1953).