Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Tuesday, December 1, 2009

Kopi Sore: Quo Vadis Pergerakan Mahasiswa

Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa



DAHULU.. Kita datang ke kampus ini disambut dengan ucapan
“Selamat Datang Putra Putri Terbaik Bangsa”

DAHULU.. ketika masih dikaderisasi, kita didorong untuk berkontribusi,
“Mahasiswa adalah Agent of Change”
“Bakti Kami untukmu, Tuhan, Bangsa, dan Almamater, MERDEKA!”
Rasanya DAHULU seringkali terdengar menghampiri telinga ini

Terdorong untuk juga jadi aktivis mahasiswa… hmm… mungkin…
Tapi apa itu semua hanya romantisme masa lalu?

Sejauh apa sih kamu peduli dengan permasalahan ini?

Female HATI mengundang rekan-rekan Mahasiswi civitas akademika ITB
untuk menghadiri Kopi Sore dengan tema

“Quo Vadis Pergerakan Mahasiswa”

Yang akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Kamis, 3 Desember 2009
Waktu : 16.00 – 18.00
Tempat : Selasar IF lt.1 Labtek Benny Panigoro

Bukan sekedar beromantisme, melainkan mencari sesuatu dari Mahasiswa yang lebih penting daripada hanya mendapatkan gelar sarjana!

Hanya untuk Perempuan ^.^

Jalan Baru Arah Pergerakan Mahasiswa

Bila diasumsikan, jarak rata-rata pohon kayu di hutan Indonesia adalah lima meter (jarak ideal pohon kayu di hutan tanaman industri adalah tiga meter), maka akan kita dapatkan bahwa dalam satu hektar terdapat rata-rata 400 pohon.

Bila kita terapkan pola hutan lestari, dan pohon baru dipanen setelah 20 tahun, atau setiap tahun hanya 5% jumlah pohon yang ditebang, maka dari 400 pohon akan dipanen 20 pohon per hektar.

Bila setiap pohon berusia 20 tahun memiliki volume rata-rata 5 meter kubik kayu dengan hasil netto (harga pasar dikurangi segala biaya) Rp. 200.000,- per meter kubik, maka nilai ekonomisnya menjadi Rp. 1 juta per pohon atau Rp. 20 juta per hektar.

Luas daratan kita adalah 190 juta hektar, dimana 29% darinya non hutan dan 16% hutan lindung. Sisanya, 10% hutan konservasi, 14% hutan produksi terbatas, 19% hutan produksi permanen, 12% hutan produksi konversi. Pembagian ini dibedakan menurut pola pemanfaatan yang diijinkan. Sementara hutan konservasi tetap dijaga sebagai hutan, hutan konversi lambat laun akan diubah menjadi perkebunan. Jadi hutan yang bisa dimanfaatkan total menempati area sebesar 55% daratan kita atau sekitar 104 juta hektar.

Dengan demikian bila pemanfaatan hutan menggunakan cara yang paling lestari yaitu setiap tahun hanya dipanen 5% dan itupun menghasilkan revenue sekitar Rp. 20 juta per hektar, maka dari sektor kehutanan saja sudah didapatkan hasil sebesar Rp. 2080 Triliyun! Suatu jumlah jumlah yang cukup fantastis, mengingat APBN Indonesia 2009 saja hanya sekitar Rp. 1000 triliyun. Dan sekali lagi, pemanfaatan hutan ini lestari!


(disampaikan oleh Dr. Ing. Fahmi Amhar dalam Kongres Mahasiswa Islam Indonesia, Jakarta, 18 Oktober 2009)


Cuplikan tulisan di atas sedikit memberikan gambaran mengenai melimpahnya potensi SDA yang dimiliki Indonesia. Sungguh menjadi suatu hal yang ironis, di negeri dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, rakyatnya masih diliputi kemiskinan.

Berbagai analisis pun dihasilkan untuk memperbaiki kondisi keterpurukan yang melanda Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya. Dan sampailah kita pada sebuah pertanyaan metode seperti apa yang dapat mengubah kondisi keterpurukan ini dan apa yang bisa mahasiswa lakukan untuk mewujudkan kebangkitan peradaban manusia?

Apakah Kebangkitan Dapat Diraih Melalui Perubahan Moralitas/Akhlak?

Kisruh kasus Cicak vs Buaya yang kemarin menjadi topik hangat di media massa mengungkapkan fakta yang sebenarnya cukup familiar di tengah-tengah masyarakat, yaitu keberadaan mafia peradilan. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, berpendapat, mafia peradilan sudah menjadi organize crime dalam sistem penegakan hukum. Jaksa agung, Hendarman Supandji mengungkapkan persoalan ‘markus’ atau makelar kasus berkaitan dengan sikap moral, kinerja, dan budaya kerja.

Sebuah pemikiran yang sederhana memang, jika setiap individu memiliki akhlak yang baik maka tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Negara. Aparatur penegak hukum yang bersih tentu akan menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Individu-individu yang bermoral tentu tidak akan melakukan tindakan kejahatan yang pada akhirnya mengurangi tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Pemikiran umumnya adalah jika individu-individu baik maka akan tercipta tatanan masyarakat yang baik, dari masyarakat yang baik akan tercipta Negara yang baik pula.

Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwasanya membangkitkan individu berbeda dengan membangkitkan kondisi masyarakat. Masyarakat tidak hanya merupakan kumpulan individu, tetapi juga ikatan-ikatan yang terjalin diantara individu-individu tersebut serta sebuah sistem yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, agar perubahan itu bisa terjadi dan kebangkitan dapat terwujud maka diperlukan pembahasan untuk mengubah masyarakat secara keseluruhan, dimana individu menjadi bagian darinya, pembahasan perubahan yang perlu dilakukan tidak boleh hanya berorientasi pada perubahan individu saja.

Selain itu, sesungguhnya jika kita mengamati lebih jauh, yang mendorong seorang individu untuk berpegang teguh pada akhlak bukanlah akhlak itu sendiri, melainkan faktor lain di luar akhlak itu sendiri. Misalnya, seseorang berkata jujur karena merasa sikap jujur itu mendatangkan manfaat baginya atau dia bersikap jujur dikarenakan kesadarannya bahwasanya bersikap jujur itu merupakan perintah agama. Oleh karena itu, jika kita ingin mengubah seseorang agar memiliki akhlak tertentu, maka yang harus kita lakukan adalah menyerunya pada asas yang menjadi sumber lahirnya akhlak tersebut.


Apakah Kebangkitan dapat Diraih melalui Perubahan di Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi?

Ada pula yang berpendapat bahwa kemunduran yang terjadi saat ini disebabkan oleh masih banyaknya orang yang buta huruf, sedikitnya orang-orang yang berpendidikan, kurangnya sarjana, tidak tersebarnya ilmu-ilmu serta tidak ada upaya yang benar-benar bisa menyebarkannya.

Akan tetapi, jika kita perhatikan, tidak sedikit orang-orang berpendidikan yang dihasilkan di Indonesia. Tidak sedikit pula dari mereka yang telah berhasil mencetak prestasi bertaraf internasional. Cukup sering pula kita mendengar kemenangan-kemenangan Indonesia dalam olimpiade internasional ataupun yang semisalnya. Akan tetapi, apakah Indonesia bangkit?

Jika kita menelaah kembali, adakah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan di Amerika sebelum Negara ini bangkit?

Justru menjadi jelas bahwasanya kebangkitan itu menjadi sebab kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, bukan sebaliknya.


Apakah Kebangkitan dapat Diraih melalui Perubahan di Bidang Ekonomi?

Tidak sedikit kalangan yang berpikiran bahwa kemunduran yang dialami bangsa ini dikarenakan keterbelakangannya di bidang ekonomi, kecilnya pendapatan nasional dan individu rakyatnya, kemiskinan membuat bangsa dan Negara menjadi tidak dapat mandiri dan sejahtera. Oleh karena itu, upaya untuk membawa kebangkitan dilakukan dalam rangka mewujudkan kemandirian di bidang ekonomi.

Padahal jika kita melihat Amerika saja, kebangkitan yang diraih mereka tidaklah diawali dengan kebangkitan ekonomi terlebih dahulu. Sebelum kebangkitannya, Amerika menjadi tanah jajahan Inggris dimana Inggris mengeksploitasi setiap hasil terbaik dan kekayaan alamnya. Kemajuan ekonomi yang diraih Amerika justru lahir beberapa tahun setelah kebangkitan mereka.

Fakta lainnya, jika tingginya pendapatan nasional dan individu, kekayaan yang dimiliki suatu bangsa menjadi sebuah indikator kebangkitan ekonomi, bukankah seharusnya Negara-negara seperti Arab Saudi dan Negara-negara teluk lainnya menjadi Negara yang bangkit melebihi kebangkitan Negara-negara Eropa? Akan tetapi, apakah kita mengatakan bahwa Arab Saudi lebih bangkit dibandingkan Negara-negara Eropa? Nampaknya tidak!

Hal-hal tersebut justru menunjukkan bahwa kemajuan di bidang ekonomi tidak berkorelasi dengan bangkitnya suatu bangsa. Kemajuan ekonomi justru menjadi salah satu efek dari hasil-hasil kebangkitan, kemajuan ekonomi bukanlah menjadi asas lahirnya suatu kebangkitan.

Lalu Kebangkitan Seperti Apa yang Hendak Diraih?

Jika kita berbicara tentang kebangkitan, tentu sahaja diperlukan pemikiran mendalam untuk memberikan solusi-solusi yang merupakan akar permasalahan bukan sekedar solusi-solusi yang menyelesaikan permasalahan permukaannya saja. Ibarat seorang dokter yang mengobati pasien yang mengalami demam, tidak semata-mata diobati dengan meredakan gejalanya saja misalnya dengan mengompreskan air dingin, tetapi harus diketahui penyebab utama demam tersebut, apakah disebabkan infeksi atau hal yang lain. Jika permasalahan utamanya tidak diselesaikan niscaya akan membawa pada keputusasaan karena alih-alih penyakitnya menjadi sembuh, penyakit lain justru akan bermunculan disebabkan komplikasi yang terjadi dan malah akan berujung pada kematian.

Objek pembahasan yang dilakukan seharusnya bukanlah tentang bagaimana memajukan ekonomi, pendidikan, akhlak, militer, politik atau yang lainnya, melainkan adalah bagaimana agar manusia itu bisa bangkit sehingga ketika kebangkitan itu tercapai masyarakat bisa merasakan hasilnya berupa kemajuan ekonomi, militer, ilmu pengetahuan dan bisa memimpin dunia seluruhnya.

Sesungguhnya akhlak, ekonomi, pendidikan, serta selainnya merupakan hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat, tetapi upaya tersebut dilakukan setelah kebangkitan berhasil diwujudkan bukan sebelumnya.

Lalu upaya apa yang perlu dilakukan agar kebangkitan itu dapat terwujud?

Pada saat tujuan dari proses kebangkitan adalah memajukan dan membangkitkan masyarakat dari keadaannya yang sudah mencapai titik terendah, dan ketika masyarakat itu terbentuk dari kumpulan individu yang ada didalamnya dan hubungan-hubungan yang mengikat individu-individu tersebut, maka kita harus memahami fakta manusia sebagai individu, ikatan-ikatannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi semua itu. Hal ini tiada lain agar bisa memajukan manusia dan semua ikatannya sehingga pada akhirnya bisa membangkitkan masyarakat seluruhnya.

Agar bisa memahami lebih dalam tentang fakta dan realita manusia dari sisi tinggi dan rendahnya, kita harus mencermati bahwa yang menunjukkan keluhuran dan kerendahan seseorang itu adalah perilaku orang tersebut, bukan bentuk tubuhnya, ketampanan rupanya, harta kekayaannya, dan sebagainya

Jika kita ingin merubah perilaku seseorang maka kita harus mengubah pemahamannya lebih dahulu. Tiada lain karena yang menentukan perilaku seseorang terhadap orang lain dan segala benda adalah pemahamannya. Sesungguhnya metode yang benar untuk mengubah manusia dengan sebuah perubahan yang produktif yakni yang kokoh, kuat, berkelanjutan dan berkesinambungan, agar setingkat dengan tujuan yang dimaksudkan yakni kebangkitan tidak mungkin terlaksana secara sempurna kecuali dengan metode satu-satunya yakni membangun perubahan diatas asas pemikiran atau landasan ideologis.

Landasan ideologis yang membentuk asas bagi segenap perilaku manusia ini dan menjadikannya berbeda dengan orang lain merupakan suatu pemikiran yang menyeluruh bukan hanya sekedar pemikiran cabang. Maksudnya diperlukan suatu pemikiran mendasar yang menjadi landasan tempat berpijak sehingga segala sesuatu terlahir dari asas ini atau merupakan pemikiran mendasar yang rasional yang melahirkan tatanan sistem peraturan.

Ide-ide seperti ide kejujuran, ide nasionalisme, atau ide keikhlasan merupakan ide-ide cabang yang tidak dapat dijadikan suatu asas pemikiran. Ide yang bersifat ideologis merupakan ide yang mendasari berbagai pemikiran lain atau pemikiran cabang, ide yang bersifat ideologis haruslah memilki solusi atas berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan manusia, memiliki metode yang jelas dalam penerapan ide, bagaimana cara menjaga ide tersebut, dan bagaimana cara menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia.

Karena sifatnya yang sangat mendasar, maka pemikiran yang ideologis menjawab permasalahan yang sangat fundamental bagi manusia tentang darimana dia berasal, untuk apa dia hidup di dunia, serta kehidupannya setelah dia mati. Selain itu, pemikiran yang ideologis pun akan memberikan solusi bagi permasalahan cabang lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri yang manusia miliki. Pemikiran ini merupakan pemikiran yang rasional yang dihasilkan melalui proses berpikir mengenai hakikat manusia, alam, dan kehidupan.

Sehingga jika merujuk pada karakter ideologi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka didapati ideologi yang ada adalah ideologi kapitalisme dengan segala ide kebebasan yang melekat padanya dan sekularisme yang menjadi fondasi bangunannya; sosialisme-komunisme dengan segala dialektika materialismenya; dan islam dengan keimanan sebagai fondasinya dan syariat sebagai bangunannya.

Maka di saat dimana kini kapitalisme-liberalisme menguasai dunia tidak juga berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi manusia, masa dimana jarak antara si kaya dan si miskin kian melebar demikian jauhnya. Sedangkan sosialisme-komunisme justru ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri. Lalu mengapa tidak kita beri kesempatan bagi Islam untuk kembali memimpin peradaban?

Lebih baik menyalakan seberkas cahaya dibandingkan terus mengutuk kegelapan

Ungkapan tersebut sungguhlah benar, hanya saja seringkali membuat mahasiswa meremehkan sebuah gerakan yang bersifat pemikiran. Sebuah pemikiran yang ideologis justru menjadi penerang di tengah gelap gulita yang menyelumuti masyarakat yang terus merongrongnya dengan kemunduran dan kemerosotan. Tidakkah ketika kita kembali melihat sejarah, tentang revolusi Perancis, bagaimana kebangkitan mereka berawal dari munculnya kaum pemikir, ataupun revolusi Amerika yang juga berawal dari bangkitnya pemikiran mereka, atau bagaimana dengan Islam yang dengan pemikirannya berhasil mengangkat keadaan bangsa Arab yang jahiliyah menjadi suatu bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi yang bahkan wilayah kekuasaannya membentang hingga meliputi dua per tiga dunia. Bukankah semakin menunjukkan bahwasanya pemikiran, terutama pemikiran yang bersifat ideologis justru memberikan pengaruh yang demikian besarnya dalam suatu perubahan masyarakat?

Jadi pergerakan mahasiswa seperti apa yang akan kau lakukan kawan?
Perubahan yang ideologiskah? Ataukah hanya sekedar pergerakan yang pragmatis?

Friday, October 16, 2009

UU Ketenagalistrikan untuk Pengelolaan Ketenagalistrikan yang Lebih Baik?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

Alasan terbitnya UUK ini sebagaimana dijelaskan dalam pembukaannya adalah dikarenakan UU No. 15 Tahun 1985 yang mengatur permasalahan ketenagalistrikan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Sekilas Gambaran PLN

PLN sekarang ini sesungguhnya terbentuk dari nasionalisasi terhadap sejumlah perusahaan listrik asing sepeti OGEM, ANIEM, GEBEO dan lain-lain yang pada era Soekarno berada dalam kondisi unbundling (terpecah-pecah), baik untuk unit pembangkit, transmisi, maupun distribusi yang kemudian disatukan (bundling) menjadi Perusahaan Listrik dan Gas Negara (PLGN). Bundling (penyatuan) sejumlah perusahaan listrik swasta saat itu dilakukan agar penyediaan listrik bisa lebih efisien dan mencegah agar listrik tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja.

Dengan disahkannya UUK 2009 ini, proses unbundling baik vertikal maupun horizontal kembali dilakukan. Unbundling vertical bermakna pemecahan secara fungsi (fungsi pembangkit, transmisi, dan distribusi) yang akan dilakukan untuk wilayah Jawa-Bali, sedangkan di Luar Jawa akan dilakukan unbundling horizontal maksudnya dipecah-pecah secara wilayah.

Skema sistem penyediaan ketenagalistrikan sebelum disahkannya UU ketenagalistrikan 2009:


BOD (Board of Director) = badan pengendali (PLN)
PKUK = Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan





Skema penyediaan ketenagalistrikan berdasarkan UU Ketenagalistrikan No. 20 tahun 2002:



Skema penyediaan ketenagalistrikan berdasarkan UUK tahun 2009 mirip dengan skema di atas (UU tahun 2002), hanya saja bahasa yang digunakan dalam hal penentuan tarif lebih halus jika dibandingkan UU tahun 2002. Dalam UU No. 20 tahun 2002 disebutkan bahwa harga jual tenaga listrik di sisi pembangkit tenaga listrik dan harga jual tenaga listrik untuk konsumen tegangan tinggi dan konsumen tegangan menengah didasarkan pada kompetisi yang wajar dan sehat serta diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Sedangkan dalam UU tahun 2009 disebutkan bahwa harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat dan pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. Inti dari kedua UU ini tetap sama, yaitu komersialisasi tenaga listrik.

Sebelum dilakukan unbundling, listrik yang dibangkitkan oleh PLN dan dinikmati oleh masyarakat ibaratnya melalui tangan-tangan PLN sendiri, karena transmisi, distribusi, ritel, dll masih satu kesatuan pembangkit PLN sehingga biaya transmisi atau transfer pricing hanya terjadi satu kali, yaitu pada saat PLN menjual kepada konsumen. Namun, ketika sudah dipecah-pecah secara fungsi (unbundling vertical) maka pembangkit ini akan menjadi instansi tersendiri atau memiliki birokrasi sendiri, transmisi birokrasi sendiri, distribusi birokrasi sendiri, ritel birokrasi sendiri. Listrik yang selama ini hanya satu birokrasi akhirnya dipecah-pecah menjadi empat birokrasi. Keempat perdagangan antar birokrasi ini memerlukan keuntungan, depresiasi, offerhead, dan pajak yang pasti. Sehingga dapat diperkirakan bahwa tarif listrik akan mengalami kenaikan minimal 50% dari harga sekarang. Jadi benarkah pengesahan UU Ketenagalistrikan yang baru ini membuat pelayanan ketenagalistrikan menjadi lebih efisien?

Peran Swasta dalam Penyediaan Ketenagalistrikan

Perbedaan yang juga cukup mencolok antara UU No. 15 tahun 1985 dengan UUK 2009 ini adalah dalam hal peran swasta dalam penyediaan ketenagalistrikan. Berdasarkan UU No. 15 tahun 1985 peran swasta untuk terlibat dalam bidang ketenagalistrikan dilakukan dengan cara:

1. Terkoneksi dalam grid (jaringan) PLN sebagai pembangkit IPP (Independence Power Producer), sehingga mekanisme jual /beli listrik PLN dinamakan Single Buyer System.
2. Berdiri di luar Grid PLN secara isolated exclusive right dimana perusahaan tersebut memiliki pembangkit, transmisi, distribusi, jaringan ritel dalam satu paket yang terpisah sama sekali dari Grid PLN, misalnya PT Cikarang Listrisindo
3. Membuat pembangkit untuk kepentingan sendiri (Pabrik, Hotel, dll)

Sedangkan berdasarkan UUK 2009, lewat proses unbundling vertikal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya kepemilikan pembangkit, transmisi, distribusi, hingga ritel/penjualan ke konsumen bisa dimiliki oleh swasta sehingga swasta tidak lagi hanya terkoneksi pada grid PLN, tetapi juga menguasai grid PLN. Ketika unbundling vertikal ini diterapkan pada suatu wilayah (usaha), misalnya Jawa-Madura-Bali (jamali), maka pada wilayah tersebut akan muncul banyak operator, baik operator pembangkit, operator transmisi, maupun operator distribusi, dimana masing-masing operator dalam bentuk badan usaha yang terpisah sehingga muncullah banyak penjual maupun Pembeli Tenaga Listrik (Multi Buyer and Multi Seller System = MBMS) dan tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek kartel antar operator sehingga bisa menaikkan tarif listrik hingga 10 kali lipat terutama pada waktu beban puncak seperti yang telah terjadi di Kamerun.

Di sisi lain, ketika grid telah dikuasai oleh banyak pemain, Pemerintah kehilangan Instrumen pegontrol, sehingga pPemerintah tidak dapat menerapkan lagi Tarif Dasar Listrik sebagai mana saat ini karena mekanisme di serahkan kepada pasar, dan hilanglah kesempatan Pemerintah untuk melindungi rakyat banyak atas kebutuhan pokoknya.

Keterlibatan Asing (Lagi?)

Dalam laporan yang direlease ADB dengan judul Strategi dan Program ADB untuk Indonesia 2006-2009 (http://www.adb.org/Documents/Translations/Indonesian/CSP-INO-2006-2009.pdf) disampaikan bahwa:

Selama krisis keuangan, ADB terus membantu pemerintah dengan cara merevisi lingkup kerja proyek yang sedang dilaksanakan agar sejalan dengan kebutuhan dan dengan mengadopsi pendekatan yang fleksibel. Selama krisis (1998-2000), program pinjaman ADB mencakup dua proyek di sektor energi. Kedua proyek tersebut, yaitu pinjaman Program untuk Restrukturisasi Sektor Pembangkit Listrik (Power Restructuring Program/PSRP) (pinjaman 1673) dan pinjaman bantuan teknis (TA) untuk Pembangunan Kapasitas untuk Pendirian Pelistrikan yang Kompetitif (Capacity Building for Establishment of Competitive Electricity) (Pinjaman 1674) merupakan respon cepat dan komprehensif terhadap krisis keuangan yang menimpa Indonesia pada tahun 1997. Sebuah kemunduran besar pada reformasi sektor terjadi ketika Undang-undang Kelistrikan yang menjadi dasar pinjaman-pinjaman ini, dibatalkan pada bulan Desember 2004.

Di sisi lain, ternyata rencana unbundling ini merupakan bagian dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF sebagaimana tersebut pada poin 20 dalam Letter of Intent (LOI) dan ditandangani oleh Presiden Soeharto pada bulan Januari 1998. Poin ini kemudian ditegaskan lagi dalam Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi yang dibuat pada bulan Agustus 1998. Dalam buku putih itu, disebutkan bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling, profitisasi dan privatisasi.

Pertanyaannya adalah setelah berpuluh-puluh tahun lembaga keuangan internasional merongrong negeri ini memberikan utang luar negeri yang diikuti dengan berbagai syarat yang sangat mencekik dengan mengharuskan Indonesia untuk mengesahkan berbagai peraturan yang sesuai dengan keinginan lembaga donor dan telah nyata pula tidak berhasil membawa Indonesia keluar dari kondisi keterpurukan, lalu masihkah kita percaya dengan berbagai resep yang mereka tawarkan? Sebegitu bodohnyakah Indonesia hingga tidak memiliki tenaga ahli yang bisa memberikan solusi dalam hal ketenagalistrikan pada khususnya sehingga harus terus didikte oleh mereka?

Pengelolaan Listrik dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, semua sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia–baik primer seperti batu bara, minyak bumi, gas, energi matahari, energi air, angin, gelombang laut, pasang surut dan panas bumi serta nuklir; maupun sekunder seperti listrik–adalah hak milik umum (milkiyah ‘ammah). Pengelola hak milik umum adalah negara, melalui perusahaan milik negara (BUMN). Individu/swasta dilarang memiliki energi tersebut untuk dikomersilkan. Oleh karena itu, liberalisasi yang berujung pada privatisasi sektor-sektor tersebut diharamkan. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Ibn Abbas:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإَِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, padang dan api. Harganya pun haram. (HR Ibn Majah).

Air, api dan padang adalah tiga perkara yang dibutuhkan oleh semua orang demi kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, Nabi saw. menyebut bahwa kaum Muslim (bahkan seluruh manusia) sama-sama membutuhkannya. Ketiganya disebut sebagai perkara yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga. Karena itu, Islam menetapkan perkara seperti ini sebagai hak milik umum.

Semua sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur yang berkaitan dan digunakan untuk kebutuhan tersebut, juga dinyatakan sebagai hak milik umum; seperti pompa air untuk menyedot mata air, sumur bor, sungai, selat, serta salurat air yang dialirkan ke rumah-rumah; begitu juga alat pembangkit listrik seperti PLTU, PLTA, dan sebagainya, termasuk jaringan, kawat dan gardunya.

Pengklasifikasian kepemilikan dalam Islam (kepemilikan individu, kepemilikan Negara, dan kepemilikan umum) telah memberikan suatu paradigma tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan ketenagalistrikan yang notabene merupakan harta kepemilikan umum. Atas dasar ini maka Negara tidak diperbolehkan untuk menjadikan listrik sebagai komoditi yang diperjualbelikan kepada rakyatnya. Seandainya Negara tidak mampu mengelola pengadaan listrik bagi rakyatnya, Negara diperbolehkan untuk mengundang pihak swasta. Hanya saja, status pihak swasta ini adalah sebagai pekerja yang dibayar Negara dengan akad jual-beli jasa (ijaroh) . Jika rakyat harus membayar, maka yang dibayar oleh rakyat hanyalah biaya operasionalnya saja. Pemerintah tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari usaha pengadaan listrik untuk rakyatnya.


Akankah liberalisasi ketenagalistrikan berakhir seperti ini?

Thursday, August 20, 2009

Training HATI: Menjadi Mahasiswa Muslim Prestatif

Sunday, July 26, 2009

Indonesia Pasca Pilpres Presiden 2009

Pilpres 8 Juli sudah dilewati, KPU resmi mengumumkan kemenangan pasangan SBY-Boediono dengan kemenangan satu putaran. Jika tidak ada "kejutan" yang dilakukan oleh pasangan capres-cawapres lain, pasangan dengan nomor urut 2 ini akan segera dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014. Di satu sisi hal ini menunjukkan masyarakat puas tehadap kebijakan SBY (setidaknya sekitar 60an% rakyat yang terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak suaranya memilih pasangan ini, terlepas efek iklan kinerja SBY yang banyak dikritik oleh para pakar), Sujiwo Tedjo pun turut berkomentar bahwa kemenangan pasangan ini menunjukkan ciri masyarakat yang melankolik. Yah.. terlepas dari komentar siapapun, kemenangan tetap saja kemenangan. Hanya saja jika melihat track record pasangan ini beserta program-program yang mereka tawarkan akankah mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik?

Setidaknya jika kita mencermati kampanye SBY-Boed ada beberapa janji yang dikampanyekan diantaranya adalah, pendidikan murah, peningkatan ekonomi hingga 7 persen, penurunan kemiskinan hingga 8-10 persen, peningkatan swadaya pangan, pertahanan dan keamanan yang handal, persenjataan yang baik, kesehatan, pembangunan yang merata hingga ke desa-desa, menjaga NKRI, peningkatan rumah susun dan rumah rakyat, meningkatkan pertanian, dan janji-janji lainnya.

Seperti apa kebijakan yang akan mereka lakukan untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya? Merujuk slogan yang dikampanyekan pasangan ini, tentunya tidak akan terjadi perbedaan metode dalam hal pengurusan urusan rakyat.

Sekarang mari kita perhatikan kinerja pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009:

1. Klaim BBM turun 3X dan turunnya harga kebutuhan pokok




Harga 2004 2009 Catatan
Minyak Mentah Dunia / barel ~ USD 40 ~ USD 45 Hampir sama
Premium Rp 1810 Rp 4500 Naik 249%
Minyak Solar Rp 1890 Rp 4500 Naik 238%
Minyak Tanah Rp 700 Rp 2500 Naik 370%

Dalam iklan kampanye SBY hal yang digembor-gemborkan adalah penurunan harga BBM 3x tidak lepas dari peran pemerintah, sedangkan kenaikan harga BBM yang juga 3x mereka klaim sebagai “keterpaksaan” pemerintah karena meningkatnya harga minyak dunia (walaupun kenaikan 3x ini tidak dimasukkan dalam iklan kampanye…).


Saat ini kecenderungan harga minyak dunia kembali naik, kita lihat saja apakah pemerintah akan tetap menjaga harga premium tetap pada Rp 4500 atau tidak? (sebenarnya untuk membaca pola seperti ini tidak perlu ditebak, karena sudah pasti akan naik mengikuti perkembangan harga minyak internasional dan seperti biasa pemerintah akan menggelar konferensi pers tentang subsidi Negara yang terus membengkak dan berjuta alasan klasik agar masyarakat mau memahami “keterpaksaan” pemerintah untuk menaikkan harga BBM)


Harga Barang dan Jasa 2004 2009 Keterangan
Minyak Goreng per liter 5000 7000 Naik 40%
Beras per kilogram 3000 4700 Naik 55%
Telur per kg 7000 12000 Naik 70%
Terigu 3500 6500 Naik 85%
Tarif Angkutan Ekonomi 81 per Km 150 per Km Naik 86%


Melihat kenaikan harga BBM tentu secara alami akan diikuti oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, data-data kenaikan harga diatas adalah wajar, sama seperti efek domino. Apalagi diikuti oleh tingkat inflasi rupiah terhadap dollar AS dan sejumlah mata uang regional ASEAN lainnya.


Tingkat Inflasi Janji Target Fakta Catatan Pencapaian
2004
6.40%
2005 7.00% 17.10% Gagal
2006 5.50% 6.60% Gagal
2007 5.00% 6.60% Gagal
2008 4.00% 11.00% Gagal


Kurs Rupiah 2004 2009 Kondisi
Dollar US 9,078 11,125 Melemah 23%
Ringgit Malaysia 2,388 3,198 Melemah 34%
Dolar Singapura 5,448 7,726 Melemah 42%
Peso Filipina 161 234 Melemah 45%
Baht Thailand 221 319 Melemah 44%

Dolar terhadap ASEAN 2004 2009 Kondisi
Dolar US / Rupiah Ind 9,078 11,125 Melemah 23%
Dolar US / Ringgit Mal 3.8 3.5 Menguat 8%
Dolar US / Dolar Sing 1.7 1.4 Menguat 14%
Dolar US / Peso Fil. 56.4 47.5 Menguat 16%
Dolar US / Baht Thai 41.1 34.9 Menguat 15%


Terkait masalah kurs mata uang sebenarnya juga terjadi hal yang cukup menggelikan. Di satu sisi dapat menggambarkan ketahanan ekonomi, katakanlah semakin besar komposisi ekspor suatu negara turut memperkuat nilai mata uang negara tersebut, tapi di sisi lain lewat trik-trik “goreng-menggoreng” dalam pasar uang, kurs mata uang suatu negara juga bisa dipermainkan. Seperti apa yang terjadi pada krisis moneter tahun 1997 (terkait pula dengan kondisi hutang luar negeri Indonesia yang sudah terlalu tinggi).


2. Klaim penurunan angka kemiskinan

Berdasarkan data dari situs resmi SBY data kemiskinan digambarkan sebagai berikut:


Persentase kemiskinan digambarkan mengalami tren turun, tentu saja penurunan ini patut “diapresiasi”, hanya saja di sisi lain perlu dicermati klaim tingkat kemiskinan sekitar 15,4% atau sekitar 35 juta penduduk Indonesia adalah berdasarkan standar kemiskinan BPS yaitu penduduk dengan penghasilan di bawah Rp 6000/hari jika standarnya dinaikkan sesuai standar bank dunia (USD 2/hari) maka tingkat kemiskinan melonjak mencapai hampir 50% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.


Pertanyaannya realistiskah batas kemiskinan dengan penghasilan Rp 6000/hari?



3. Klaim penurunan utang


Hal lain yang juga dikampanyekan adalah tentang penurunan utang, atau lebih tepatnya penurunan rasio utang terhadang PDB dan juga lunasnya utang Indonesia terhadap IMF. Secara nominal utang Indonesia di tahun 2009 hampir mencapai Rp 1700 triliun rupiah, menurut Yuyun Harmono, Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU), setiap penduduk Indonesia harus terbebani dengan Rp 7 juta. Selain itu besarnya pembayaran utang tiap tahun hampir sama dengan 3 kali anggaran pendidikan, 11 kali anggaran kesehatan dan 33 kali dari anggaran perumahan dan fasilitas umum.





Jumlah total utang Indonesia (2001-2009)
2001 Rp 1263 triliun
2002 Rp 1249 triliun
2003 Rp 1240 triliun
2004 Rp 1275 triliun
2005 Rp 1268 triliun
2006 Rp 1310 triliun
2007 Rp 1387 triliun
2008 Rp 1623 triliun
2009 Rp 1667 triliun (Januari)

Pada awalnya untuk mengukur jumlah utang luar negeri, apakah sudah melampaui batas yang aman atau tidak, dinyatakan dalam rasio antara ekspor neto dengan pembayaran cicilan utang pokok + bunga utang luar negeri yang disebut Debt Service Ratio (DSR). Akan tetapi, karena saat ini jumlahnya sudah terlalu besar, ukurannya diubah menjadi dalam persen dari PDB.


PDB adalah penjumlahan dari seluruh produksi barang dan jasa di Indonesia, tanpa mempedulikan siapa yang memproduksi dan bagaimana pembagiannya. Sebagai ilustrasi, misalnya PDB yang dalam tahun tertentu mencapai Rp. 5.000 trilyun, sangat mungkin dibentuk oleh 5 % dari produsen di Indonesia, dengan bagian yang cukup besar oleh pengusaha asing.


Kebijakan mengenai utang luar negeri pun menjadi semakin tidak rasional dengan diterbitkannya Surat Utang Negara SUN dalam dollar AS dengan suku bunga antara 10,5% sampai 11%. Untuk dunia usaha swasta saja, tingkat bunga seperti ini tergolong junk bond yang sangat rongsokan. Kalau negara RI memberikan tingkat bunga seperti ini, bagaimana penjelasannya, terutama kalau dibandingkan dengan AS yang mendekati nol persen, dan negara-negara lain yang memberikan bunga deposito antara 0,3 % sampai 2 % saja (dalam hal jangka sangat panjang). (Kwiek Kian Gie: 2009)



Indonesia dan Liberalisme


Sejak 1967 Indonesia digiring “pihak-pihak yang berkepentingan” ke arah liberal. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar” di wilayah Asing Tenggara (Ransom: 2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu” Indonesia (Johnson Library: 1967).


Peran Mafia Berkeley dalam proses liberalisasi ekonomi Indonesia pun telah menjadi rahasia umum. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkavlingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008).


Investor asing pun perlahan-lahan menguasai ekonomi Indonesia melalui disahkannya UU Penanaman Modal Asing (PMA). Melalui UU no. 1 tahun 1967 tentang PMA, keran investasi asing mulai dibuka, tetapi Negara masih memberikan batasan bidang-bidang yang boleh dikuasai asing. Dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan

“Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:

a. pelabuhan-pelabuhan;

b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;

c. telekomunikasi;

d. pelayaran;

e. penerbangan;

f. air minum;

g. kereta api umum;

h. pembangkitan tenaga atom;

i. mass media.”

Liberalisasi pun dilanjutkan dengan diterbitkannya UU No. 6 tahun 1968 mengenai Penanaman

Modal Dalam Negeri. Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa investor asing diperbolehkan untuk memasuki cabang-cabang produksi “menguasai hajat hidup orang banyak” asalkan porsi modal asing tidak melampaui 49%, sedangkan porsi investor Indonesia sebesar 51% harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.


Di tahun 1994 terbit Peraturan Pemerintah No. 20 yang semakin meliberalkan ekonomi Indonesia. Dalam pasal 5 ayat 1 dikatakan bahwa perusahaan asing diperbolehkan melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media.” Dengan lanjutannya pada pasal 6 ayat 1 disebutkan “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”


Liberalisasi di sektor ekonomi pun semakin dikukuhkan pada era SBY-JK dengan terbitnya UU tentang PMA No. 25 tahun 2007. Dalam UU ini ditegaskan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa “Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia...” Dalam pasal 7 ditegaskan pula bahwa “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang.” Wilayah yang diperbolehkan untuk dimiliki asing pun semakin luas, dalam pasal 12 disebutkan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. (Kwiek Kian Gie: 2009).



Neoliberalisme atau Kapitalisme?


Neolib merupakan isu yang cukup hangat pada pilpres kali ini. Dikatakan bahwa neoliberalisme merupakan konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan liberalisasi sektor finansial.


Perbincangan mengenai isu neoliberalisme saat ini telah lepas dari akar ideologinya (kapitalisme), sehingga banyak yang memandang Neoliberalisme hanya sebatas “isme” anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu pula pasangan SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan Neoliberal melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY beralasan pemerintahannya masih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk program BLT dan PNPM Mandiri (Muttaqin: 2009).


Neoliberalisme sejatinya merupakan suatu pemikiran ekonomi yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekulerisme. Dalam sebuah ideologi, lebih khusus lagi dalam suatu pemikiran ekonomi, dimungkinkan terdapat perbedaan aliran (mazhab) sebagaimana adanya mazhab fiqh di dalam Islam.


Dalam perkembangannya teori-teori ekonomi yang bermunculan tidak terlepas dari kondisi faktual yang sedang terjadi. Ketika suatu teori diterapkan pada suatu negeri kemudian tidak terjadi suatu perbaikan yang diharapkan maka akan muncul teori baru untuk menutupi kecacatan teori sebelumnya.


Teori Big Government yang dipelopori oleh Keynes merupakan antitesis untuk mazhab Kapitalismenya Adam Smith, sedangkan Neoliberalisme merupakan antitesis bagi mazhab Kapitalismenya Keynes. Kini banyak negara yang dipelopori Amerika Serikat melakukan intervensi besar-besaran ke dalam pasar dan perekonomiannya, maka ini merupakan antitesis terhadap mazhab Neoliberalisme. Semuanya masih ke dalam format Kapitalisme yang memiliki asas sekuler dan mengusung liberalisme dalam kehidupan.


Jika kita mencermati ideologi di balik paham neoliberalisme, maka sesungguhnya kita akan mendapatkan suatu fakta bahwasanya apa yang diterapkan di negeri ini walaupun pemimpin datang silih berganti, mereka tetap menjalankan ideologi yang sama, yaitu kapitalisme-sekulerisme.



Akankah Indonesia menjadi lebih baik?


Indonesia setidaknya sudah merasakan enam kali pergantian pemimpin. Indonesia pernah merasakan kepemimpinan di bawah sosok intelektual, militer, teknokrat, ulama, wanita, kemudian kembali lagi ke kalangan militer. Enam puluh tahun lebih usia kemerdekaannya, tapi masih berkutat dengan permasalahan yang sama, kemiskinan, kelaparan, IPM yang rendah, ketidakmandirian pada berbagai sektor, dan segudang permasalahan lainnya. Secara faktual saja sebenarnya telah nampak permasalahan bangsa ini bukan hanya sekedar pada permasalahan kepemimpinan, melainkan juga terdapat masalah dalam sistem kehidupan yang diterapkan untuk menyelesaikan berbagai problematika yang melanda negeri ini.


Walaupun pemilu sudah belangsung berulang-ulang, pemimpin pun telah berganti, tetapi sistem kehidupan yang diterapkan tidak juga berganti. Maka wajar saja jika kondisi masyarakat pun begitu-begitu saja bahkan semakin memburuk.


Negeri ini cenderung membebek pada kepentingan asing. Sebut saja dengan disahkannya UU PMA yang membuka ruang sebesar-besarnya bagi asing untuk menguasai sektor-sektor yang bahkan menyangkut hajat hidup orang banyak. Lihat saja efeknya sekitar 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Ketergantungan kita dengan produk pangan impor juga cukup tinggi, misalnya saja gandum, kedelai.


Padahal, AS sendiri sebagai Negara pengusung kapitalisme memberikan proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian mereka. AS bahkan tidak menggagalkan pembelian Unocal (perusahaan AS) oleh BUMN Cina, CNOOC.


Begitupun dengan disahkannya UU BHP, juga tidak terlepas dari agenda WTO yang meliberalisasi sektor perdagangan baik barang maupun jasa yang dilaksanakan begitu patuhnya oleh penguasa negeri ini.


Akhirnya pemerintah sudah berubah posisinya dari yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat menjadi pedagang yang senantiasa mengambil keuntungan dari rakyatnya dan menghamba pada pemilik modal. Lihat saja paska krisis moneter 1997 hutang Negara meningkat drastis, Rp. 144 trilyun BLBI, Rp. 430 trilyun Obligasi Rekap, dan minimal Rp. 600 trilyun beban bunganya, atau keseluruhannya Rp. 1.174 trilyun. Dari sekian banyak hutang Negara, berapa bagian yang dinikmati rakyat Indonesia?


Contoh lain yang paling fenomenal tentang ketidak warasannya kebijakan pemerintah adalah penjualan BCA yang notabene 97% dari BCA sudah milik pemerintah. Di dalamnya ada OR atau surat hutang pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp. 10trilyun. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp. 10 trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. (Kwiek Kian Gie: 2009)


Mengapa pemerintah Indonesia begitu setianya pada kepentingan asing? Tidak lain karena Indonesia tidak memiliki landasan ideologis dalam setiap pengambilan kebijakannya, sehingga mudah terbawa arus yang sengaja dibuat oleh Negara lain yang ideologis.


Lihatlah Amerika yang begitu sulitnya menerima protokol Kyoto ataupun membuat alot pembahasan dalam konferensi perubahan iklim di Bali yang telah berlalu. AS juga begitu bersikerasnya membela kepentingan Israel, apapun keputusan PBB yang mengganggu kepentingan Israel, AS tidak segan-segan untuk memvetonya. AS juga telah melakukan penyerangan ke banyak Negara, Jepang, Vietnam, Irak, Afganistan. AS juga begitu kukuhnya menentang proyek pengembangan nuklir Korea Utara dan juga Iran yang notabene mengembangkan nuklir bukan untuk tujuan pengembangan senjata. AS juga begitu gencar menyerukan demokrasi, globalisasi, pasar bebas, mempertahankan dollar sebagai standar mata uang dunia, menerapkan kebijakan stick or carrot untuk menguasai Negara-negara di dunia ketiga terutama agar tetap setia berada di bawah dominasi AS. Semua itu menunjukkan konsistensi mereka untuk menguasai dunia dengan ideologi yang mereka miliki, yaitu Kapitalisme.


Jika kita memperhatikan sejarah dunia, negara-negara adidaya adalah negara yang memiliki ideologi yang kuat. Lihatlah ketika perang dingin, saat itu terjadi persaingan antara dua ideologi besar dunia: sosialisme-komunisme dan kapitalisme yang pada akhirnya peperangan dimenangkan oleh kapitalisme hingga kini.


Namun, fakta lain yang (sengaja?) kita lupakan, sebelum kapitalisme maupun sosialisme muncul juga terdapat satu negara adidaya yang juga ideologis, yaitu daulah khilafah islamiyah yang wilayah kekuasaannya membentang hingga 2/3 wilayah dunia yang Berjaya hingga 13 abad lamanya, memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Fakta-fakta gemilang peradaban islam (yang bahkan diakui oleh Obama sendiri dalam pidatonya di Kairo Juni kemarin) tidak lain dikarenakan Islam diterapkan secara menyeluruh oleh Negara.


Jadi, akankah Indonesia berjalan ke arah yang lebih baik dengan terpilihnya pemerintahan yang baru? Selama Indonesia tidak memiliki independensi yang bisa terwujud karena kekuatan sebuah ideologi, maka jawabannya adalah TIDAK!!!


Wallahu’alam


pustaka:

Kwiek Kian Gie. “Indonesia Menguggat Jilid II”? Menjabarkan Pidato Proklamasi Calon Wakil Presiden Boediono

http://nusantaranews.wordpress.com/2009/02/13/fakta-fakta-tersembunyi-pemerintah-sby-jk-1/

http://jurnal-ekonomi.org/2009/02/07/neoliberalisme-dan-kebangkrutan-ideologi-kapitalisme/