Sunday, October 2, 2011

Materi 4 Lingkar Kajian (LiKa)

Mengenali Diri....

The hardest thing for human beings to do is to know themselves and to change themselves.
(Alfred Adler)

Apakah benar bahwa manusia adalah esensi yang sulit untuk dijelaskan? Atau benarkah mengenal diri sendiri dan mengubah diri sendiri adalah hal yang tersulit bagi manusia sebagaimana yang dikatakan oleh Alfred Adler?

Siapa sebenarnya manusia? Samakah manusia dengan hewan? Apakah dia makhluk istimewa dibanding makhluk yang lain? Untuk memahami lebih jelas siapa manusia itu, maka esensi manusia harus dikaji sebagai objek yang menyeluruh dan mendalam. Caranya dengan memahami apa yang ada dalam dirinya yang membuatnya mampu menjalani dan mengarungi kehidupan ini.

Jika kita perhatikan, manusia dan hewan memiliki kesamaan. Manusia dan hewan sama-sama merasakan lapar, haus, lelah, ngantuk, dan kondisi-kondisi lain yang merupakan kebutuhan jasmani. Manusia dan hewan juga sama-sama memiliki naluri yaitu naluri saling menyukai lawan jenis, naluri membentuk keluarga, naluri melindungi anak-anaknya; sama-sama punya naluri untuk memiliki sesuatu, naluri untuk berkelompok; bahkan melalui nash kita dapati bahwa hewan pun memuji Allah, sama seperti manusia. Lalu apa bedanya manusia dan hewan?

Betul, manusia dan hewan memiliki kesamaan jika kita lihat dari potensi kehidupan yang dimiliki keduanya. Potensi kehidupan adalah ciri-ciri khusus yang diberikan oleh Sang Pencipta yang menyebabkan setiap makhluk d dunia ini tetap mampu bertahan hidup. Jika kita teliti secara mendalam, potensi kehidupan ini hanya ada dua, yaitu: (1) kebutuhan jasmani dan (2) Naluri. Kedua potensi ini lah yang sama-sama dimiliki oleh manusia, seperti dijelaskan sebelumnya. Namun, ada satu hal yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki hewan : potensi akal. Potensi akal ini yang membedakan manusia dengan hewan, bahkan potensi ini yang membuat manusia menjadi makhluk yang istimewa, bahkan lebih tnggi derajatnya dari malaikat. Potensi akal tidak termasuk dalam kategori potensi kehidupan manusia. Karena manusia masih bisa hidup meskipun akalnya hilang. Seperti orang gila, atau anak kecil yang akalnya belum sempurna. Dengan potensi akal ini kemudian manusia mampu memahami tuntunan Alquran dan alhadits dalam beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri-naluri yang dimilikinya. Subhanallah.

“Tuhan kami (yaitu) Tuhan Yang telah menganugerahkan kepada tiap-tiap sesuatu dengan bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (TQS. Thâha: 50).

“Zat Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan Yang Menentukan kadar (keistimewaan masing-masing) dan Memberikan petunjuk.” (TQS. Al-A’lâ: 2-3).

Keistimewaan Manusia yang Pertama: Kebutuhan Jasmani

Kebutuhan jasmani manusia merupakan kebutuhan mendasar (basic needs) yang timbul akibat kerja struktur organ tubuh manusia. Jika kebutuhan dasar tersebut tidak dipenuhi, struktur organ tubuhnya akan mengalami gangguan dan bisa mengakibatkan kerusakan. Sebagai contoh, jika tubuh manusia kekurangan air, maka kerja organ tubuhnya akan mengalami gangguan yang kemudian akan menyebabkan penyakit. Penyakit ginjal adalah contoh penyakit yang terjadi akibat tubuh manusia kekurangan air. Jadi, kebutuhan jasmani ini merupakan kebutuhan organ tubuh yang berkaitan dengan kadar tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT pada manusia atau hewan. Jika kadarnya kurang atau melampaui batas, maka tubuh manusia akan mengalami gangguan. Dalam hal ini, Allah SWT telah memberikan isyarat:

“Dan di antara tanpa-tanda-Nya, (Dia ciptakan ) tempat untuk tidur kamu di waktu malam dan siang.” (TQS. Ar-Rûm: 23).

“Ini adalah manusia biasa, yang masih memerlukan makan, sama dengan apa yang kamu makan, dan minum sama dengan apa kamu minum.” (TQS. Al-Mu’minûn: 33).

Oleh karena sifat kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi, sesuatu yang asalnya haram pun dihalalkan oleh Allah SWT untuk orang-orang yang dalam keadaan darurat, yaitu dalam kondisi ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi akan mengakibatkannya binasa. Allah SWT berfirman:

“Maka, siapa saja yang dalam keadaan terpaksa, tanpa unsur kesengajaan dan membangkang, maka tiada dosa baginya.” (TQS. Al-Mâidah: 3).

Ayat di atas dinyatakan oleh Allah SWT dalam konteks keharaman bangkai, darah, daging babi dan sebagainya. Benda-benda tersebut kemudian dibolehkan oleh Allah SWT untuk orang-orang dalam kondisi terpaksa, semata-mata untuk mempertahankan hidupnya.
Disamping itu,yang harus dipahami adalah kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang lahir dari dalam tubuh manusia yang tidak ada kaitannya dengan faktor eksternal. Rasa lapar, contohnya, jika telah terpenuhi sampai batas kenyang, maka meskipun ada makanan yang lezat dan nikmat sekalipun tetap tidak akan mampu membangkitkan selera makan seseorang sampai perutnya lapar kembali. Jika muncul juga keinginan untuk makan makanan lezat, hakikatnya bukan karena lapar, melainkan karena dorongan naluri ingin tahu, ingin mencoba dan sebagainya. Inilah gambaran secara umum mengenai kebutuhan jasmani manusia.

Keistimewaan Manusia yang Kedua: Naluri

Naluri manusia adalah potensi yang merupakan fitrah penciptaan supaya manusia bisa mempertahankan eksistensinya, melestarikan jenis dan mencari petunjuk mengenai keberadaan Sang Pencipta. Meskipun naluri ini tidak bisa langsung diindera oleh manusia, namun dapat dijangkau oleh akalnya melalui tanda-tanda atau fenomena yang terlihat darinya.

1. Jenis-jenis Naluri

Allah SWT sudah memberikan kepada kita mengenai keberadaan ketiga naluri ini. Allah menjelaskan naluri mempertahankan diri dalam firmanNya,

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarangsarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia.” (TQS. An-Nahl: 68).

Artinya, Allah SWT telah memberikan potensi pada lebah sehingga memungkinkannya untuk membuat sarang untuk membuat rumah atau tempat tinggal agar dapat melindungi diri dari serangan makhluk lain. Ini merupakan fenomena mengenai adanya naluri mempertahankan diri (gharîzah al-baqâ’).

Allah SWT juga telah menerangkan fenomena mengenai keberadaan naluri melestarikan jenis dalam beberapa ayat, antara lain:

“Dan (ingatlah) ketika Ibrâhîm diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrâhîm menunaikannya, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunan saya.’ Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.” (TQS. Al-Baqarah: 124).

Kecintaan Ibrâhîm kepada keturunannya merupakan fenomena yang membuktikan adanya naluri melestarikan jenis atau naluri kasih sayang (gharîzah na’uw). Nabi Ibrâhîm memohon kepada Allah SWT agar menjadikan keturunannya sebagai imam sama dengan dirinya. Namun, Allah SWT kemudian menafikan: “Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.” Yang menjelaskan, bahwa imâmah tersebut hanya akan diberikan kepada keturunannya yang soleh saja, dimana janji tersebut tidak akan diberikan kepada keturunannya yang zalim.

Contoh lain untuk keberadaan gharizah na’uw ini adalah:

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yûsuf, dan Yûsuf juga bermaksud (melakukan perbuatan yang sama) dengan wanita itu, seandainya dia tidak melihat tanda-tanda (dari) Tuhannya.” (TQS. Yûsuf: 24).

Dorongan syahwat kepada lawan jenis tersebut merupakan fenomena yang membuktikan adanya gharîzah an-na’uw Nabi Yusuf as. terhadap permaisuri raja tadi. Demikian juga permaisuri raja tersebut syahwatnya telah bergelora terhadap Nabi Yûsuf as. dan berkeinginan untuk memenuhi gharîzah an-naw’-nya dengan Nabi Yûsuf as. Namun, Nabi Yûsuf tidak melakukannya karena Allah SWT telah mencegahnya.

Sementara nash al-Qur’an yang menunjukkan eksistensi naluri beragama atau gharizah tadayyun adalah:
“Dan jika manusia ditimpa kesusahan, dia memohon kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya.” (TQS. Az-Zumar: 8).

“Kembali kepada Tuhannya” serta meluapkan keluhannya kepada-Nya karena ditimpa musibah adalah fenomena mengenai keberadaan naluri beragama (gharîzah at-tadayyun). Ayat ini menjelaskan kebiasaan manusia, yaitu berdoa atau memohon kepada Allah SWT ketika ditimpa kesengsaraan, namun ketika kesengsaraan tersebut hilang, Allah pun dilupakannya begitu saja.

Dari pejelasan nash di atas dan dengan memberikan perhatian pada realitas manusia, bisa disimpulkan bahwa naluri manusia ada tiga macam: (1) naluri mempertahankan diri (gharîzah al-baqâ’), (2) naluri seksual (gharîzah an-naw’), dan (3) naluri beragama (gharîzah at-tadayyun). Namun, sebagian besar ahli psikologi menganggap fenomena yang dilahirkan oleh naluri tersebut sebagai naluri. Contohnya, mereka biasa menyebut naluri keibuan, naluri kebapakan, naluri ketakutan dan sebagainya. Sebenarnya semua yang mereka sebut tadi hanya merupakan fenomena sebuah naluri, dan bukan naluri itu sendiri.

2. Pemenuhan naluri

Apakah setiap naluri harus dipenuhi seperti kebutuhan jasmani? Apakah jika ada naluri yang tidak dipenuhi maka manusia akan merasakan kerusakan atau gangguan? Di sinilah letak perbedaan antara naluri dan kebutuhan jasmani. Kemunculan kebutuhan jasmani adalah dari faktor internal, alami muncul ketika tubuh memang mengalami kelebihan atau kekurangan zat yang dibutuhkan. Namun naluri akan muncul karena faktor eksternal. Faktor eksternal itu tidak lain adalah pemikiran dan realitas.

Contohnya adalah kasus Nabi Yûsuf di atas. Nabi Yûsuf atau permaisuri raja seling tertarik satu dengan yang lain karena adanya realitas yang terindera. Bagi Nabi Yûsuf, wanita tersebut adalah realitas yang dapat mempengaruhi gharîzah an-na’uw-nya. Begitu juga bagi permaisuri raja tadi, Nabi Yûsuf adalah realitas yang dapat mempengaruhi gharîzah anna’uw-nya.

Orang yang berbelanja di super market gharîzah al-baqâ’-nya akan terdorong begitu melihat banyak realitas, seperti beragam barang, baik pakaian, sepatu atau yang lain. Semua barang tersebut merupakan realitas yang dapat mendorong gharîzah al-baqâ’ orang tadi, sehingga dia terdorong untuk membeli barang.

Orang yang ta’ziyyah (melayat) kepada orang yang meninggal dunia akan teringat mati, dan timbul rasa takut mati pada dirinya, sementara dia merasa belum siap karena merasa masih mempunyai banyak dosa. Perasaan seperti ini juga lahir dari orang yang melihat realitas, yaitu jenazah yang dimandikan, dikafani, dishalati kemudian dikubur, lalu jenazahnya ditinggalkan sendiri dalam kubur. Orang yang menyaksikannya dapat membayangkan, bagaimana jika dia kelak mati seperti jenazah tersebut. Inilah pengaruh realitas terhadap naluri manusia.

Disamping realitas, pemikiran juga tidak kalah kuat pengaruhnya terhadap naluri. Jika seorang laki-laki mambayangkan seorang wanita, maka dorongan syahwatnya akan timbul. Seseorang yang membayangkan betapa enaknya mempunyai rumah indah, kendaraan pribadi serta kebutuhan yang serba cukup, pasti akan mendorong keinginannya untuk mempunyai semua barang tersebut. Begitu juga, ketika seseorang membaca al-Qur’an, kemudian merenungkan isinya, antara lain tentang kenikmatan surga, lalu timbul kerinduannya untuk meraihnya. Semua contoh tadi merupakan pengaruh pemikiran.

Kedua aspek eksternal inilah yang mempengaruhi lahirnya naluri manusia. Karena timbulnya naluri tersebut bukan dari dalam diri manusia, tetapi dari kedua aspek eksternal tadi, maka ketika dorongannya timbul, dorongan tersebut tidak harus dipenuhi. Jika naluri tersebut tidak dipenuhi, seseorang tidak akan mengalami kerusakan atau bahkan sampai mengalami kematian. Tidak. Naluri tidak akan mengakibatkan akibat-akibat seperti ini, meskipun demikian naluri tidak dapat dibunuh atau dihancurkan. Yang memungkinkan hanyalah dialihkan pada yang lain, atau ditekan. Begitu pula kemunculannya bisa diatur yaitu dengan mengatur realita dan pemikiran manusia.

Contoh, kerinduan pada isteri bagi seorang suami yang jauh meninggalkan isterinya dapat dialihkan dan dikalahkan dengan naluri yang lain. Caranya dengan menjauhi realitas yang bisa membangkitkan nalurinya, misalnya tidak berinteraksi dengan wanita, tidak melihat foto isterinya atau anak-anaknya, ataupun tidak menyibukkan fikirannya dengan keluarganya. Kemudian fikirannya dipenuhi dengan hal-hal lain, antara lain dengan Zat alWakîl (Zat Yang Maha Mewakili) yang mampu mewakili urusannya, yang menjadi tempatnya berserah untuk menyerahkan seluruh urusan keluarganya.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa naluri tersebut dapat dilumpuhkan secara total. Sebab naluri merupakan bagian dari fitrah manusia, sementara fenomena yang nampak dari keberadaan naluri tersebut bukanlah bagian dari fitrah manusia. Karena itu, mengalihkan naluri tidak akan menyebabkan berubahnya fitrah manusia. Bahkan sedikit pun tidak akan mempengaruhi eksistensi fitrahnya. Contoh mengenai pengalihan pemenuhan naluri tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi saw. ketika memerintahkan pemuda yang mempunyai keinginan kuat untuk menikah agar berpuasa, dalam kondisi dimana dia belum mampu membina rumah tangga. Sabda Nabi saw.:

Wahai para pemuda, siapa saja di antara kamu yang mampu berumah tangga, menikahlah. Sebab, menikah itu dapat menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi benteng (bagi seseorang).” (HR. Bukhâri).

Puasa yang diperintahkan oleh Nabi saw. dalam kasus tersebut adalah agar orang yang mempunyai keinginan kuat untuk menikah, karena dorongan gharîzah an-na’uw-nya, dapat mengalihkan dorongan gharîzah an-na’uw-nya pada dorongan gharîzah at-tadayyun (naluri beragama).

Keistimewaan Manusia yang Ketiga: Akal dan Fikiran

Inilah potensi yang membuat manusia menjadi istimewa, berbeda dengan hewan dan makhluk Allah yang lainnya. Mengenai bukti bahwa manusia mempunyai akal, sedangkan hewan lain tidak nampak dari perbedaan yang terdapat pada kehidupan masing-masing hewan tersebut. Kehidupan manusia selalu dipenuhi dengan perubahan dan karena itu kehidupannya dinamis, sedangkan Kehidupan hewan bersifat statis, tidak mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu hidupnya tetap sama. Itulah perbedaan yang nampak pada hewan dengan manusia secara nyata.

Al-Qur’an menggambarkan dengan jelas fenomena akal pada manusia dengan jelas:

“Kami telah menjadikan untuk isi neraka Jahanam, kebanyakan dari manusia dan jin. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak digunakan untuk berfikir. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan, bahkan lebih hina lagi.” (TQS. Al-A’râf: 179).

Namun, apa itu akal? Apakah akal itu otak? Jika akal itu otak, mengapa hewan yang realitasnya memiliki otak namun tidak dikatakan memiliki akal?

Akal adalah potensi yang ada pada otak manusia untuk mengaitkan realitas yang diindera dengan informasi (asosiasi). Dengan kata lain, akal adalah kemampuan yang diberikan kepada otak manusia untuk memberikan penilaian terhadap realitas yang diinderanya berdasarkan informasi yang dia miliki mengenai realitas tersebut. Berbeda dengan otak hewan. Otak hewan tidak mempunyai potensi untuk mengasosiasikan realitas dengan informasi. Karena itu, hewan tidak dapat diajar bertingkah-laku baik dan sopan, padahal hewan mempunyai otak, indera, bisa menerima informasi dan diberi realitas.

Akal manusia mampu untuk membedakan mampu memahami petunjuk Allah. Oleh karena itu, akal lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang menjadi objek taklif ( harus mengikuti perintah dan larangan Allah) ketika memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya. Berbeda dengan hewan yang memenuhinya hanya dengan menggunakan insting.

“Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semuanya menolak untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Akan tetapi, manusia mau memikulnya. Sesungguhnya dia berlaku zalim dan bodoh.” (TQS. Al-Ahzab [33] 72)

Di antara akal, ada yang bertolak dari kaidah ketundukan dan ketaatan kepada Allah. Ketika Islam disampaikan kepadanya ,akal langsung menerimanya dan bersikap pasrah kepada Allah dengan penuh ketaatan. Akal yang demikian adalah akal yang tercerahkan yang membuat manusia berada dalam barisan semesta alam yang haq; bahkan ia menjadi pionir/pelopornya.

Sebaliknya, ada akal yang memang buta akan kemuliaan dirinya, yang tidak berangkat dari ketundukan dan ketaatan kepada Allah. Ia malah berlaku takabur, tinggi hati/sombong, dan tertipu oleh hawa nafsu. Akal semacam ini adalah akal seorang kafir. Oang kafir semacam ini—yang berlaku takabur, tinggi hati dan tertipu oleh hawa nafsunya—pada dasarnya telah melemparan dirinya ke dalam murka dan azab Allah.

Pada akhirnya, dapatlah kita ambil suatu kesimpulan bahwasanya manusia pada hakikatnya adalah materi yang memiliki kebutuhan jasmani serta naluri yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas. Manusia akan dihisab atas pilihan-pilihan yang diambilnya dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya, apakah aturan-aturan Allah atau bukan. Misal, apakah ketika dia ingin memiliki harta yang banyak untuk memenuhi naluri mempertahankan dirinya ia akan mencuri apa akan bekerja secara halal.

Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (TQS. Thaahaa [20]: 123-126).

0 comments: