Oleh : Salsabila azZahra
Dalam dua dasawarsa terakhir muncul sebuah wacana yang cukup menarik : feminisme. Perbedaan fungsi intrinsik dan ekstrinsik yang dimiliki pria dan wanita dalam masyarakat, disinyalir memiliki potensi masalah. Terlebih ketika satu gender dianggap memiliki otoritas terhadap yang lain. Perjuangan dalam mengentaskan ketimpangan gender menjadi suatu cita-cita bersama para wanita, tak terkecuali para muslimah yang lapar akan perjuangan untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik. Di samping didukung teknik penyajian yang ilmiah, ide feminisme ini dibalut dengan jargon emosional yang dapat menyentuh perasaan, seperti perjuangan hak-hak perempuan, pembebasan ketertindasan perempuan, dan lain-lain. Selain itu, realitas masyarakat menampilkan sosok wanita yang memilukan: terpuruk dalam seluruh aspek kehidupan.
Potret Buram Wanita Indonesia
Wanita Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka menjadi korban kemiskinan, perdagangan (trafficking), KDRT, konflik, kebodohan, dan memiliki kondisi kesehatan yang cukup buruk. Mulai dari kasus gizi buruk, meninggal saat melahirkan, penyakit seputar organ reproduksi seperti kanker leher rahim (serviks), kanker payudara, juga penyakit kelamin hingga AIDS, mengancam kelangsungan hidup seorang wanita.
Yayasan Kanker Indonesia mencatat bahwa setiap dua menit seorang perempuan di dunia meninggal akibat kanker serviks/kanker leher rahim. Sedangkan di Indonesia, diperkirakan 20 perempuan meninggal setiap hari karena kanker leher rahim (YKI, 2008). Dibanding negara lain di Asia, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih relatif tinggi, yaitu 37 orang persepuluh ribu penduduk. Sedangkan AKI Sri Lanka hanya delapan persepuluh ribu, dan RRC hanya tujuh. Data terakhir kasus HIV dan AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah hampir 20.000 orang yang telah terinfeksi penyakit mematikan itu. Padahal, UNAIDS memperkirakan sudah ada 270.000 orang yang terinfeksi namun tidak terlaporkan atau tercatatkan, dengan demikian, kemungkinan jumlah kasus sebenarnya di Indonesia adalah 10 kali lipat dari yang tercatat di Departemen Kesehatan RI (www.kespro.com , 2008). Dari data ini, hingga Juni 2008, sekitar 6.782 orang nya berusia di antara 20-29 tahun.
Tidak hanya aspek kesehatan, data Yayasan Mitra Perempuan menyebutkan tindak kekerasan terhadap perempuan tahun 2001 terbanyak dilakukan oleh suami (69,26 persen), mantan suami (4,81 persen), kerabat dekat (8,15 persen), dan pasangan atau kekasih (11,11 persen). Kasus kekerasan dan perkosaan ini juga terkait dengan meningkatnya jumlah remaja putri yang hamil di luar nikah. Dari waktu ke waktu, kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus terbesar yang dialami perempuan dan anak. Menurut YMP, jumlah anak perempuan yang mengalami tindak kekerasan selalu meningkat, yaitu dari 5,4 persen menjadi 6,26 persen. Dari kasus kekerasan terhadap perempuan, 45 persen dialami perempuan yang bekerja di luar rumah, sedangkan 36,29 persen dialami ibu rumah tangga. YMP juga mencatat setiap lima jam sekali terjadi kasus perkosaan di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek).
Agenda Pemberdayaan Perempuan
Banyak pihak menganggap bahwa akar permasalahan yang dihadapi wanita Indonesia tersebut diakibatkan oleh adanya dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Eri Seda (dosen FISIP UI), hal ini merupakan pengaruh sistem budaya masyarakat Indonesia yang umumnya patriarkal. Masalah perempuan haruslah diselesaikan oleh perempuan karena merekalah yang merasakannya, bukan laki-laki.
Berbagai upaya dan agenda nasional maupun internasional telah ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh ketimpangan gender ini. Pada tahun 1963, Gerakan Global Emansipasi masuk dalam agenda PBB.
Tahun 1967, terbentuk Commission on The Status of the Women, yang mulai memperhatikan secara khusus status dan isu-isu perempuan.
Selanjutnya PBB menggelar konferensi yang pertama tentang perempuan tahun 1975 yang berlangsung di Mexico City. Pada tahun ini dicanangkan sebagai Tahun Internasional Perempuan. Isu perempuan pun mulai menapaki panggung perhatian dunia. Pada tahun ini peran perempuan ditekankan pada Women In Development (WID). Titik tekannya adalah bagaimana mengintegrasikan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan yang berfokus pada produktivitas kerja perempuan. Ketika program WID dipandang gagal memperbaiki perempuan, digulirkanlah Women And Development (WAD) yang dicetuskan oleh kaum feminis-marxis.
Pada tahun 1979 dihasilkan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konferensi PBB tentang perempuan ke II 1980 di Kopenhagen menguatkan isi konvensi ini. Pada tahun 1985 di Nairobi terselenggara Konferensi PBB III, yang lebih memantapkan tujuan yang ditetapkan pada tahun 1975, tentang “Kesetaraan, Pembangunan, dan Perdamaian”. Pada konferensi ini disetujui pembentukan UNIFEM, lembaga PBB dengan program WAD. UNIFEM adalah lembaga yang mengelola pendanaan program WAD, dengan sistem kerja tertutup. Sampai saat ini UNIFEM telah bekerja sama dengan banyak pemerintah di negara-negara berkembang untuk menggulirkan program-program yang telah ditetapkan PBB.
Pada tahun 1990, PBB menggelar Konferensi Vienna yang menyetujui program GAD (Gender And Development) dengan strategi PUG (Pengarus Utamaan Gender). Pada tahun ini pula PBB melalui UNDP (United Nation Development Program) menetapkan ukuran keberhasilan dalam menilai pelaksanaan KKG, yakni HDI (Human Development Index). Keberhasilan KKG terukur dari GDI (Gender Development Index), yaitu berdasarkan (1) Usia Harapan Hidup (Life Expectancy); (2) Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate); (3) Kecukupan Pangan (Food Security). Selanjutnya pada tahun 1995, saat Konferensi Beijing, ukuran keberhasilan ini ditambah dengan GEM (Gender Empowerment Measure) yakni Kesetaraan Gender (Gender Equality).
Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference On Population and Development-ICPD) tahun 1994 di Kairo juga menjadi bagian penting dalam isu pemberdayaan perempuan. ICPD menjadi batu loncatan penting untuk mencetuskan bahwa ‘perempuan’ adalah kata kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk. Konferensi menghasilkan program aksi bertema “Empowerment of Women” atau di Indonesia dikenal sebagai, “Pemberdayaan Perempuan”.
Ajang paling spektakuler bagi keberhasilan konferensi perempuan dunia adalah Konferensi PBB keempat tahun 1995 di Beijing yang menghasilkan Beijing Platform for Action-BPFA. Konferensi ini dihadiri oleh 189 negara-negara anggota PBB. Pada tahun ini mulai dikenalkan wawasan Gender And Development (GAD) dengan penekanan pada kesadaran tentang kesetaraan gender (gender equality) dalam menilai kesuksesan pembangunan. GAD menekankan pentingnya kajian yang fundamental terhadap struktur sosial dan keterlibatan aktif perempuan pada penentuan kebijakan. Perhitungan yang dipakai adalah GDI (Gender Development Index), yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, serta GEM (Gender Empowerment Measure), yang mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik. Indikator kesetaraan yang sempurna (perfect equality) adalah 50/50.
Ada 12 bidang kritis yang menjadi perhatian penting dalam BFPA : (1) Perempuan dan Kemiskinan; (2) Pendidikan dan Pelatihan bagi Perempuan; (3) Perempuan dan Kesehatan; (4) Kekerasan terhadap Perempuan; (5) Perempuan dan Konflik Bersenjata; (6) Perempuan dan Ekonomi; (7) Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; (8) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan; (9) Hak Asasi Perempuan; (10) Perempuan dan Media; (11) Perempuan dan Lingkungan; dan (12) Anak Perempuan.
Untuk menguatkan komitmen aksi tindak BFPA, digulirkan Deklarasi Millenium (MDGs) 2000, yang melahirkan tujuan pembangunan millennium yang terdiri dari 8 target peningkatan kualitas SDM.
Demikianlah ide-ide KKG mulai merambah berbagai bidang kehidupan. Para pendukung KKG, yang dimotori oleh PBB, berupaya mempengaruhi kebijakan berbagai negara melalui beberapa konferensi Internasional yang tidak hanya melibatkan aktor non-state (LSM-LSM), tetapi sekaligus aktor state (perwakilan resmi Negara).
Kebahayaan KKG
Untuk mencapai kesetaraan ideal, dalam bidang pendidikan, isu KKG mengarah pada kemandirian perempuan dalam pengambilan kebijakan publik. Bidang pendidikan ini diharapkan menjadi sarana penyadaran terhadap KKG. Pendidikan yang selama ini dijalankan senantiasa mengarah pada stereotip feminin bagi perempuan dan maskulin bagi laki-laki. Pendidikan inilah yang dianggap mengokohkan struktur masyarakat yang bersifat stereotip gender. Dengan pendidikan bebas gender (androgini), lambat laun akan dapat dihilangkan sifat feminin pada perempuan. Sebagai dasar pembentuk kepribadian yang bebas gender, mulai disosialisasikan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Gender.
Di bidang kesehatan, perempuan diarahkan pada kebebasan dalam menentukan hak reproduksinya sendiri. Perempuan tidak lagi menjadikan kehamilan sebagai faktor penghambat aktivitas publik, dengan adanya alat kontrasepsi, aborsi aman, dll. Dengan isu kesehatan pula, legalisasi seks bebas dikuatkan melalui program kondomisasi dengan dalih mencegah HIV/AIDS dan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Remaja diarahkan untuk mampu melakukan hubungan seks yang aman. Yang dimaksud dengan “aman” adalah secara mandiri remaja putri mampu menggunakan kontrasepsi yang aman tanpa takut hamil, sementara aktivitas seksual mereka tidak terhambat. Hubungan seks yang aman adalah yang mampu mencegah mereka dari penyakit-penyakit menular seksual, seperti syphilis, gonorhoea, dan HIV AIDS. Adanya shelter-shelter bagi kesehatan reproduksi remaja, dianggap menjadi cara yang ramah dan nyaman bagi remaja untuk mengamankan perilaku seks bebasnya.
Kemandirian perempuan dalam ekonomi, sekaligus dukungan terhadap kesehatan reproduksinya tanpa batasan yang jelas, secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan institusi keluarga. Di negara-negara pelopor kebebasan perempuan seperti Amerika, single parent banyak menjadi pilihan para perempuan yang berkarir. Pernikahan tidak lagi penting. Seks bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan.
Di Indonesia, acuan program-program gender yang tertuang dalam BPFA, CEDAW, MDGs, dan ICPD menghasilkan berbagai UU yang berpotensi besar menghancurkan nilai-nilai Islam, mulai dari ranah keluarga melalui UU KDRT (ada upaya menggunting aturan Islam; ketaatan istri terhadap suami), penghancuran tatanan masyarakat dengan legalisasi aborsi melalui rancangan Amandemen UU Kesehatan No.23 tahun 1992, legalisasi seks bebas dengan program kondomisasi dengan dalih mencegah HIV AIDS, program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), kuota 30% perempuan dalam partai politik, parlemen, birokrasi, dll.
Selain itu, faktor agama yang dianggap menghambat tercapainya KKG karena mendukung stereotip gender juga diserang untuk dihancurkan. Di antaranya melalui CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Sangat jelas adanya konspirasi penghancuran hukum-hukum Islam di balik CLD-KHI ini hingga Menteri Agama Maftuh Basyuni membatalkan langsung dan melarang penyebarannya. Majelis Ulama Indonesia menyebut CLD-KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash Qur’an. Hal ini dikarenakan di dalam CLD-KHI disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah, anak kecil bebas memilih agamanya sendiri, dll.
KKG : Menjadi Solusikah?
Realitas kondisi perempuan yang memilukan merupakan suatu hal yang tak terelakkan. Hanya saja sangat tidak tepat jika kita melihat penyebab permasalahan tersebut hanyalah karena terjadinya ketimpangan gender. Tanpa bermaksud menafikan masalah dan presentase korban wanita yang besar, akan tetapi pada hakikatnya realita permasalahan tersebut bukan hanya dihadapi oleh perempuan saja, melainkan juga laki-laki. Adalah suatu pemikiran yang sangat sempit jika menganggap bahwa akar permasalahannya hanya terletak karena adanya ketimpangan gender. Kita harus melihat realitas tersebut sebagai suatu permasalahan kemanusiaan dan masalah kehidupan, bukan hanya masalah wanita. Fokus kritik kita bukanlah pada ada atau tidak adanya masalah, namun lebih kepada bagaimana feminisme, sebagai sebuah gerakan dan cara pandang, menjelaskan masalah tersebut kemudian menawarkan solusi-solusi tertentu.
Kerancuan ide feminis
Ide merupakan reaksi dari realitas sosial, tidak ada yang lahir dari ruang hampa. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi terhadap masalah, tampak jelas hubungan antara ideologi yang diterapkan sebuah negara-sebagai warna setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan- dengan gerakan atau paham feminisme sebagai suatu aksi-reaksi dan sebuah konsekuensi logis dari penerapan suatu sistem. Jika kita ingin mengkritisi relevansi sebuah pemikiran dalam masyarakat, maka juga harus dilakukan analisis terhadap ideologi yang membidani kelahirannya.
Feminisme lahir dalam konteks sosio-historis khas barat (abad 19-20) ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat sekuler-liberal yang cenderung eksplotitatif. Sehingga sangat tidak tepat jika mentransfer ide ini ke tengah lingkungan tanpa memperhatikan aspek sosio-historisnya. Pendapat universalitas sosiologi merupakan suatu bentuk kepongahan yang justru menimbulkan dilema baru yang juga tidak dapat ditemukan realitasnya.
Feminisme bersifat sekuleristik- karena lahir di era kapitalis, sehingga tidak memasukkan wewenang Tuhan. Keterbatasan akal manusia untuk memahami masalah yang sebenarnya dan untuk mengetahui apakah masalah tersebut dapat dianggap sebagai representasi masalah manusia secara umum, mengakibatkan hukum-hukum yang dibuat di dunia Barat justru tidak pernah memiliki akurasi yang rigid ketika menghadirkan solusi. Yang terjadi adalah trial and error. Konsensus-konsensus sosial yang dihasilkan berubah-ubah sesuai dengan waktu dan zaman. Keadilan dan ukuran kebahagiaannya hanyalah ditentukan dari materi.
Feminisme memandang perempuan sebagai individu yang keberadaannya terlepas dari harmonisasi kehidupan manusia. Jika laki-laki bebas memilih peran yang akan dilakukannya dalam kancah kehidupan, maka perempuan pun memiliki kebebasan yang serupa. Para feminis dengan cara pandang yang individualistik dan emosional telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya pemecahan yang disodorkan hanyalah melulu dilihat dari satu perspektif saja. Padahal masyarakat bukanlah merupakan kumpulan individu yang terpisah. Di dalamnya terdapat interaksi antar individunya, pemikiran dan perasaan yang terlahir darinya, serta aturan yang diterapkan untuk mengatur keberjalanan hubungan tersebut. Para feminis telah gagal melihat potensi unik yang telah Allah ciptakan masing-masing berbeda pada laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki perbedaan fisiologis dan psikologis yang membuatnya saling melengkapi, bukan menggantikan.
Dalam sistem kapitalis, modal merupakan hal yang paling berpengaruh. Begitupun dalam pemerintahan, nuansa subjektivitas terasa pada para pemilik modal. Pada tataran ini, wanita dengan porsi besarnya pada sektor domestik merupakan pihak yang paling dirugikan. Karena itu, para wanita yang umumnya memiliki tingkat pendidikan yang memadai, memprakarsai para wanita sedunia untuk terlibat aktif dalam upaya mengambil kebijakan-kebijakan politik agar mereka tidak lagi menjadi pihak yang terkorbankan.
Politik dalam perspektif feminis selalu diartikan sebagai kekuasaan dan legislasi. Akibatnya ide pemberdayaan peran publik perempuan melalui jalur politik selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di elit kekuasaan, lembaga legislasi, atau minimal berani memperjuangkan aspirasinya sendiri secara independen tanpa pengaruh atau tekanan pihak manapun. Maka, para penggiat feminis, selalu mempermasalahkan kuantitas perempuan yang duduk dalam lembaga legislasi. Keterwakilan aspirasi perempuan tercermin dengan banyaknya jumlah yang dapat duduk pada badan-badan tinggi negara yang membuat undang-undang.
Akan tetapi benarkan dengan meningkatnya kuota perempuan di lembaga legistlatif maka kesejahteraan perempuan akan terwujud? Benarkah dengan mengeluarkan seluruh wanita ke sektor publik dan mengabaikan sektor domestik, menandakan kemajuan suatu negeri?
Realitas yang terjadi di Uni Soviet dan Skandinavia merupakan suatu bukti kegagalan solusi yang ditawarkan feminisme. Gemilangnya upaya pemerintahan Skandinavia membuat para wanita bekerja di luar rumah memiliki dampak yang sangat besar berupa runtuhnya institusi keluarga dan semakin amburadulnya jalinan antar anggota keluarga. Seperti yang dilansir majalah Hidayatullah edisi Desember 2003, di Swedia terjadi peningkatan angka perceraian dari 20% (1960) menjadi 58,8% (2001). Demikian juga dengan jumlah anak yang lahir di luar nikah, dari 11% (1960) menjadi 56% (2001).
Beberapa masalah sosial lain pun bermunculan seperti angka bunuh diri di Swedia yang mencapai 1.546 kasus (2001), atau setidaknya ada 5 orang yang mati bunuh diri setiap harinya, sebagian besar dilakukan oleh orang yang berusia produktif. Kriminalitas yang melibatkan anak-anak di Negara Denmark, Swedia, dan Norwegia meningkat 400% dari tahun 1950 dan 1970an.
Begitupun di Indonesia, solusi kondomisasi untuk mencegah penyebaran HIV AIDS tidak berpengaruh positif. Alih-alih menyelesaikan, yang timbul justru masalah baru. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mengakui gagal dalam menanggulangi masalah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Terhitung sejak krisis moneter terjadi di Tanah Air pada tahun 1998 berbeda dengan sejumlah negara berkembang lain, penderita HIV/AIDS di Indonesia malah terus bertambah dari tahun ke tahun hingga kini (www.kespro.com, 2008). Mengutip data Departemen Kesehatan terbaru. KPAN melaporkan, sampai akhir Juni 2008 terdapat penambahan kasus AIDS sejumlah 2947 orang pada tahun 2007. Dan terdapat 1546 kasus pada 4 bulan pertama tahun 2008.
Lost Generation merupakan ongkos yang harus dibayar mahal oleh solusi yang diterapkan para feminis. Masihkah harus berharap pada solusi ini?
Mencari Solusi Shahih: Sistem Islam Saja
Adanya permasalahan yang terjadi di masyarakat tersebut tidaklah sebatas dikarenakan oleh ketimpangan gender, tetapi karena sistem kehidupan yang diterapkan. Feminisme lahir sebagai reaksi diterapkannya sistem kapitalis, maka seharusnya salahkanlah kapitalisme atas seluruh permasalahan tersebut! Sistem kehidupan yang dibuat manusia tidak akan pernah menunjukkan solusi dan memberikan kesejahteraan bagi manusia. Hanya solusi dari Sang Pencipta lah yang mampu memberikan keselarasan dan keteraturan bagi seluruh makhluk-Nya. Aturan Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan oleh para feminis adalah sesuatu yang tidak perlu diperjuangkan dalam Islam. Allah telah menciptakan potensi manusia yang sama kepada seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Masing-masing memiliki potensi akal dan naluriah yang sama. Derajat perbedaannya hanyalah ditentukan oleh ketaqwaannya saja. Tidak ada yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Sementara dalam posisinya sebagai laki-laki dan perempuan, Allah telah menetapkan seperangkat fungsi yang berbeda antara keduanya. Dalam hal ini, merupakan keadilan ketika Allah menetapkan adanya pembedaan dalam hal penetapan hukum antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki fungsi dan peran yang berbeda dalam masyarakat sesuai dengan potensinya.
“Sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan kaum pria” (HR Abu Dawud dan An Nasa’i)
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Nisa 32)
Islam menetapkan bahwa peran utama wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Pada diri perempuan, Allah menciptakan kemampuan reproduksi dan fungsi penentu keberlangsungan jenis manusia. Sejumlah hukum yang berkaitan dengan kehamilan, kelahiran, penyusuan, pemeliharaan bayi, maupun ‘iddah diberikan kepada wanita, bukan pria. Allah juga telah menjadikan tugas wanita adalah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anaknya. Ini adalah tugas yang berat dan penting, tidak ringan dan tidak mudah, sekaligus mulia yang harus ditunaikan oleh wanita dengan persiapan fisik, kejiwaan, dan pikiran yang mendalam. Wanita berperan pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, karena dengan perannya sebagai ibu, kelestarian manusia dapat dipertahankan dan perannya sebagai pengatur rumah tangga akan menciptakan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Hanya saja, hal ini bukan berarti wanita diharamkan untuk beraktivitas di sektor publik. Wanita diperbolehkan untuk beraktivitas dan berinteraksi di sektor publik, bahkan seorang muslimah wajib untuk turut melakukan aktivitas politik. Karena dalam perspektif Islam, politik (siyasah) mempunyai makna mengatur urusan umat, baik dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan masyarakat. Negara mengurusi kepentingan masyarakat dan sebaliknya masyarakat melakukan koreksi dan kontrol terhadap negara. Jadi politik perempuan tidak lain merupakan aktivitas yang dilakukan kaum perempuan dalam menjalankan tugas pengurusan urusan umat baik dalam dan luar negeri.
"Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasul-Nya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi kaum Muslimin, berarti ia bukan termasuk di antara mereka” (HR.ath-Thabrani)
Sehingga meskipun banyak aktivitas lain yang dibebankan di pundak wanita seperti aktivitas , tetaplah ia harus menjalankan fungsinya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa datang seorang wanita, Asma binti Yazid al-Asyhaliyah, yang mewakili kaumnya kepada Rasulullah. Ia menanyakan kedudukan dan tugasnya sebagai wanita kepada Rasul yang mulia.
“Demi bapakku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah. Aku adalah utusan para wanita kepadamu. Sesungguhnya belum ada seorang wanita pun, baik di timur maupun barat, yang terdengar darinya ungkapan seperti apa yang akan aku ungkapkan, atau belum terdengar seorang pun yang mengemukakan seperti pendapatku. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada laki-laki dan wanita seluruhnya, hingga kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Akan tetapi, sesungguhnya kami, para wanita terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding kalian (para lelaki), memenuhi syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sesungguhnya kalian, wahai para lelaki, mempunyai kelebihan daripada kami dengan berkumpul dan berjamaah, melakukan kunjungan kepada orang sakit, dan menyaksikan jenazah, menunaikan ibadah haji demi ibadah haji, dan yang lebih mulia lagi dibandingkan semua itu, jihad di jalan Allah. Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian keluar untuk menunaikan ibadah haji, menghadiri pertemuan, atau berjaga di perbatasan, kamilah yang menjaga harta kalian; yang mencucikan pakaian kalian; dan menjaga anak-anak kalian. Lalu apakah ada kemungkinan bagi kami untuk menyamai kalian (para lelaki) dalam kebaikan, wahai Rasulullah?”
Kemudian Rasulullah menoleh kepada para shahabat seraya berkata “Apakah kalian mendengar perkataan wanita ini? Sungguh, adakah yang lebih baik daripada apa yang diungkapkannya berkaitan dengan urusan agamanya ini?” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka bahwa wanita ini tertunjuki kepada perkataan tersebut” Rasulullah lalu menoleh kepada wanita tersebut seraya berkata, “Pergilah kepada wanita mana saja dan beritahukanlah mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian (para wanita) dalam memperlakukan suaminya, memperoleh keridhaan suaminya, dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan semua itu (yang dilakukan pria.red)”. Mendengar sabda Rasul wanita itu pun pergi seraya bersuka cita. Ia kemudian menyampaikan kabar tersebut kepada suaminya. (HR. Baihaqi)
Ketika lahir ke dunia, tak pernah seorang pun meminta untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Bahkan menjadi seorang manusia pun adalah nikmat yang tiada terkira. Apapun gender kita, menjadi manusia adalah sebuah kemuliaan dan kesempatan untuk meraih kebahagiaan kekal di akhirat. Tak kenal batas waktu dan terbebas dari ketidaksempurnaan.