Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Jerussalem (Baitul Maqdis) dapat dikuasai oleh kaum Muslim. Sayidina Umar sendiri datang ke Jerussalem untuk menerima penyerahan kota Suci tersebut. Sejak itu, berabad-abad lamanya ibu kota Palestina itu berada dalam naungan Islam penuh kesejahteraan. Namun, situasi pun berubah. Pada 15 Juli 1099M, Jerussalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Berlakulah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Seorang ahli sejarah Perancis, Michaud berkata: “Pada saat penaklukan Jerussalem oleh pasukan Kristen tahun 1099M, kaum Muslim dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Di Jerussalem tidak ada tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Tentera infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian.” Raymond d'Agiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan: “Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah hingga mencapai lutut dan mencapai tali kekang kuda”.
Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci umat Islam itu bisa lepas. Mereka segera menyadari kesalahannya yang tidak kokoh bersatu dalam mempertahankannya. Akhirnya, para ulama berdiskusi dengan Khalifah dan wali untuk mengambil tugas berat dalam mempertahankan tanah Isra Mi'raj tersebut. Usaha konsolidasi tersebut berhasil. Mereka, para pemimpin Islam itu bahu-membahu untuk membebaskan kembali kota suci itu. Diantara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentera Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh. Perjuangan terus berlanjut. Berkat persatuan dan perjuangan, pada hari Jum'at 27 Rajab 583H, dibawah kepemimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum Muslim berhasil memasuki Jerussalem. Mereka mengumandangkan “Allahu Akbar!”. Kejatuhan ini menjadikan Eropa marah. Mereka mewajibkan iuran “Saladin tithe” untuk melawan kaum Muslim. Namun, mereka pun berhasil dipukul mundur. Semua ini karena kesolidan dan kesungguhan pemimpin umat Islam kala itu.
Tahun 1948 pembantaian kaum Muslim di Palestina pun berulang. Negara zionis Israel menjajah negeri tersebut. Pembantaian demi pembantaian terus berlanjut hingga tahun 2009 ini. Bedanya, dulu, semua ini dapat dihentikan dengan cara bersatu dalam berjihad melawan mereka. Sementara, kini para pemimpin kaum Muslim tidak melakukan jihad sebagaimana yang dilakukan oleh Shalahuddin. Mereka hanya sekedar mengutuk dan berunding, serta hanya sibuk memikirkan kepentingan nasionalnya sendiri. Israel sang agresor pun tetap melakukan genosida tanpa ada hambatan. Seandainya para penguasa negeri-negeri Muslim, khususnya di Timur Tengah bersatu dan bersama-sama menyerbu Israel niscaya sang penjajah itupun tak akan berdaya.
Memang, AS dan sekutunya terus membela Israel. Namun, sebenarnya mereka itu saling cakar. Persatuan mereka semu. Allah SWT mengingatkan: “Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti” (TQS. Al-Hasyr:14). Ibnu Katsir menegaskan bahwa ayat itu menunjukkan kepengecutan para tentara kaum kafir. Mereka tidak berani melawan pasukan kaum Muslim secara berhadap-hadapan dan terbuka (Lihat Tafsir al-Quran al-'Azhim, Ibnu Katsir). Lihatlah, mereka hanya berani lewat serangan udara, rudal jarak jauh, itupun dalam membunuhi kaum Muslim Palestina yang hanya melawan dengan batu. Bila mereka dihadapi oleh tentara kaum Muslim yang sama-sama membawa senjata niscaya mereka lari tunggang langgang. Sebagai contoh, sejumlah serangan Yahudi pada bulan Juli 2006 berhasil dihadapi oleh sekelompok orang Mukmin yang melakukan perlawanan, ternyata mampu menyungkurkan hidung Yahudi ke tanah, padahal mereka memiliki peralatan perang dan amunisi.
Sesungguhnya kaum kafir penjajah itu bukanlah orang-orang yang kuat. Mereka seakan kuat hanya karena sikap diam umat Islam dan pengkhianatan para penguasa di negeri-negeri Islam. Yahudi tidak pernah meraih kemenangan dalam berbagai perang yang sesungguhnya, bukan dalam perang yang penuh dengan sandiwara. Itulah yang dinyatakan oleh kitab Rabb kita (al-Quran): “Jika memerangi kalian, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah), kemudian mereka tidak mendapat pertolongan” (QS. Ali-imran [3]: 111). Rasulullah Muhammad SAW juga telah bersaksi: “Kalian benar-benar akan memerangi orang-orang Yahudi dan kalian benar-benar akan membunuhi mereka” (HR Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, “Orang-orang Yahudi benar-benar akan memerangi kalian. Namun, kalian akan mampu menguasai mereka”.
Teriakan dan jeritan kaum wanita Palestina demikian jelas. Mereka meminta pertolongan. Dulu, ketika ada seorang perempuan yang diganggu kehormatannya oleh tentara Yahudi, Khalifah al-Mu'tashim segera mengirim-kan tentara untuk membela muslimah itu. Saat ini, banyak perempuan yang dibu-nuh tentara Yahudi, semestinya penguasa meniru al-Mu'tashim. Para penguasa berkewajiban untuk mengerahkan