RUU KKG dan Ancaman Kelangsungan Generasi
Pro Kontra RUU KKG, Sebuah Pengantar
"Kita berharap 2012 RUU sudah disahkan," ujar Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP-PA) Linda Amalia Sari kepada pers belum lama ini menyampaikan harapannya mengenai RUU KKG (Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender). Menurutnya , Undang-undang keadilan dan Kesetraraan Gender sangat dibutuhkan di negara ini. "Jika undang-undang ini telah disahkan maka penanganan masalah pengarusutamaan gender di Indonesia akan lebih muda dan bisa dikelola oleh seluruh jajaran mulai dari eksekutif, legislatif dan masyarakat," katanya.
Saat ini, memang, setelah proses yang begitu lama, upaya legislasi konsep kesetaraan gender sudah sampai pembahasan terbuka mengenai RUU KKG di DPR. Tanggal 15 Maret lalu, telah ada pembahasan mengenai isu ini. Komisi VIII DPR mengundang berbagai kelompok umat Islam untuk membahas RUU ini. Kelompok tersebut di antaranya MUI, MHTI, Aisyiyah, dan Muslimat NU. Sayangnya hanya MHTI yang menolak secara tegas mengenai RUU ini, menolak tanpa syarat.
Musdah Mulia (Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah) menekankan perlunya UU yang lebih holistic dalam mengatur dan memastikan kesetaraan gender diseluruh aspek pembangunan dan salah satunya dengan kembali mengevaluasi UU yang sudah ada sebelumnya, “Bukan berarti saya tidak setuju ada UU ini, saya berharap bahwa UU ini mempertimbangkan apa yang digagas sebelumnya,” katanya singkat.
Komnas Perempuan menyatakan bahwa yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana UU ini dapat memastikan semua warga negara agar tidak mengalami diskriminasi atas dasar aspek gendernya, dan memiliki akses yang sama, mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi yang sama, serta kesempatan untuk mengontrol dan menikmati semua hasil pembangunan yang sama.
Sementara itu, Pimpinan Pusat Salimah, sebuah organisasi kewanitaan Muslimah dalam pernyataan sikapnya, menolak RUU Kesetaraan Gender (KG). Hal itu ditegaskan Ketua Umum PP Salimah Nurul Hidayati S.S, MBA usai Diskusi Tematik berjudul Telaah Kritis atas Konsep Kesetaraan Gender, di Kompleks DPR RI, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Rabu (08/02/2012).PP Salimah sepakat bahwa paham Kesetaraan Gender sangat merusak karena bisa menghancurkan tatanan keluarga Muslim yang sudah terbangun dengan konsep Islam. Selain itu, paham ini juga berefek besar pada perempuan-perempuan muslim karena bisa membuat mereka tidak bangga lagi akan posisinya sebagai seorang Ibu dan Istri.
Dr Adian Husaini, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), menganggap RUU KG sangat berbahaya.“Konsep Tuhan yang dipakai dalam RUU KG ini berpijak pada konsep Tuhan versi Iblis, diakui keberadaan-Nya tetapi utusan dan aturan-aturanNya ditolak atau dilawan,” kata Adian. Kemudian, tambah Adian, RUU KG orientasinya hanya pada dunia, sedangkan dimensi akhiratnya dibuang. RUU ini juga dapat merusak tatanan kehidupan berkeluarga yang merupakan instrumen terkecil dalam terciptanya masyarakat berperadaban.
“RUU-KKG yang ada dapat merombak struktur kemasyarakatan di Indonesia, baik secara kemasyarakatan adat Indonesia maupun secara , karena proses ajaran KKG wajib dilakukan oleh setiap warga negara kepada anak-anak sejak usia dini dalam keluarga.” Kurang lebih demikian yang disampaikan oleh Neng Djubaedah dari FH UI dalam diskusi INSIST, Sabu 17 Maret 2012.
Adapun MHTI melihat RUU ini dijiwai semangat menjalankan konvensi-konvensi Internasional, mulai dari DUHAM, CEDAW,BPFA dan MDGs. Meski konvensi-konvensi tersebut terbukti banyak mengarahkan pada kebebasan dari ketaatan pada hukum Allah, tapi masih juga ditempatkan seolah kitab suci yang mutlak harus diwujudkan. Apalagi kampanye KKG menyatakan hambatan terbesar terwujudnya kesetaraan adalah budaya/agama.
Urgensitas UU KKG : Logika Feminis Sekuler
Upaya pengarusutamaan gender telah mengalami proses yang sangat panjang. Untuk mengatasi ketidakadilan gender di berbagai bidang pembangunan, pemerintah telah meratifikasi konvensi ILO No. III dengan UU No. 80 tahun 57 tentang pengupahan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan dalam jenis pekerjaan yang sama nilainya, Konvensi ILO No. III tahun 1985 dengan UU No. 21 Th. 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, Konvensi Hak Politik Perempuan dan Konvensi tentang Penghapusdan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dengan UU. No. 7 tahun 84. Di samping itu, sejak dua dasa warsa lebih pemerintah telah melaksanakan berbagai program pembangunan yang dimulai dari program Women in Divelopment (WID), Women and Divelopment ( WAD), Gender and Divelopment (GAD). Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, pada tahun 2000 pemerintah Indonesia mengambil satu strategi melalui Inpres No. 9/2000, yakni Pengarusutamaan Gender (PUG) Gender Mainsteaming (GM). Kemudian ditetapkan Keppres RI Nomor 87/ Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) penghapusan ekploitasi seksual komersial anak; Keppres RI Nomor 88/ Tahun 2002 tentang RAN perdagangan perempuan dan anak UU Nomor 23/Tahun 2004 tentang PKDRT; lalu ada Revisi UU Kewarganegaraan menjadi UU Nomor 12/Tahun 2006, yang memungkinkan seorang perempuan Indonesia dapat di rujuk sebagai sumber kewarganegaraan anaknya, maupun mensponsori perpindahan kewarganegaraan suaminya; UU Nomor 21/Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO); dan Inpres no 03 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang berkeadilan
Kini, upaya PUG sudah sampai pada upaya mensahkan RUU KKG.Kembali mengutip perkataan Linda Gumelar, "Jika undang-undang ini telah disahkan maka penanganan masalah pengarusutamaan gender di Indonesia akan lebih muda dan bisa dikelola oleh seluruh jajaran mulai dari eksekutif, legislatif dan masyarakat," katanya.
Bisa dikatakan, “perjuangan” kaum feminis untuk pengarusutamaan gender tinggal satu langkah lagi untuk sampai pada tahap yang paling penting dalam perjuangan pengarusutamaan gender, yaitu legalisasi RUU KKG menjadi UU KKG. Ketika sudah menjadi UU, maka konsep ini akan memiliki kekauatan yang mengikat terhadap seluruh rakyat Indonesia. Apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang atau persepsi awal para feminis-sekuler dalam upaya “perjuangan” pengarusutamaan gender?
Dalam lampiran Instruksi Prsiden no. 9 tahun 2000 disebutkan bahwa Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.Sementara yang menjadi tujuannya adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan , pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembagunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurut Shorwalter, wacana Gender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Gender (gender discourse). Dimana sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Latar belakang penegasan terhadap masalah gender ini karena banyaknya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin (terutama perempuan).
Menurut Dra. Sri Sundari Sasongko dari BKKBN, terdapat lima jenis bentuk diskriminasi yang sering terjadi yaitu :
a.Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu.
b.Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.
c. Marginalisasi/Peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki laki.
d. Beban Ganda/Double Burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
e. Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum.
Jadi inti dari strategi pengarusutamaan gender dan penetapan undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender nantinya bertujuan untuk menimalisir terjadinya kelima bentuk diskriminasi tersebut. Selain itu tujuan dari pemahaman tentang gender ini yaitu agar kita diharapkan tidak lagi mencampuradukkan pengertian kodrat (ciptaan Tuhan) dan non-kodrati (buatan masyarakat yang bisa berubah sepanjang jaman).
Di Indonesia, dianggap masih ada ketidakadilan gender yang menonjol, baik dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan keterlibatan dalam politik. Rena Herdiyani, salah seorang aktivis feminis pengusung RUU KG mengungkapkan lahirnya RUU ini dilatarbelakangi persoalan masih banyaknya diskriminasi gender. “Kedudukan dan posisi perempuan masih dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki oleh masyarakat di berbagai bidang kehidupan,” ungkap Rena kepada situshidayatullah.com ini.
Kata Rena, hal ini terjadi karena masih kuatnya nilai-nilai, praktek budaya, sistem sosial dan bentuk lainnya yang patriarkis alias mengutamakan kaum Adam daripada kaum Hawa. Nilai-nilai ini terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup masyarakat. Rena mencontohkan pembagian hak waris antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, masyarakat seringkali salah menafsirkan mengenai hak waris dalam Islam. Salah penafsiran ini menyebabkan perempuan mendapat perlakuan tidak adil. “Seharusnya, ada pertimbangan-pertimbangan khusus sehingga perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, apalagi misalnya perempuan tersebut adalah kepala keluarga,” jelasnya.
Dalam konsep kesetaraan gender terdapat jargon “my body is my right”. Menurut Rena, my body is my right merupakan hak perempuan atas integritas dan kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Karena, jelas Rena, selama ini kontrol terhadap perempuan ditentukan oleh pasangan, suami, keluarga, masyarakat, bahkan negara. “Perempuan berhak miliki hak otonomi untuk pengambilan keputusan yang terkait dengan tubuhnya sendiri, misalnya cara berpakaian, hak untuk hamil, melahirkan dan menyusui, penentuan jumlah dan jarak kelahiran anak, memilih alat kontrasepsi, hak seksual dan seksualitas, dan lain-lain,” jelasnya. Selain itu perempuan juga berhak untuk melakukan aborsi tanpa izin dari siapapun, meski perbuatan itu dilakukan akibat dari seks bebas dan berhak untuk tidak mengurus anak.
Kritik terhadap RUU KG
RUU ini memang sepi dari pemberitaan. Padahal, menurut sumber hidayatullah.com, draf RUU KG sudah ada di Kementerian PP dan PA sejak tahun 2010. Besar dugaan kondisi ini sengaja diciptakan agar tidak timbul resistensi umat Islam terhadap draf RUU ini. Apa yang dianggap sebagai ketidakadilan gender di tengah masyarakat Indonesia di mana kemudian perempuan menjadi direndahkan sesungguhnya masih membutuhkan pembuktian, lebih kuat bahwa itu hanyalah sebuah asumsi. Yang jelas, ketidakadilan yang terjadi di Indonesia sesungguhnya bukan hanya terjadi pada kalangan perempuan, namun juga laki-laki. Kemudian, yang juga menjadi hal yang jelas, RUU KKG ini sangat berbahaya bagi kelangsungan generasi bangsa ini, khususnya umat Islam Indonesia dilihat dari berbagai sisi.
Pertama, RUU KKG ini , sebagaimana juga dianalisis oleh Adian Husaini, adalah sebuah proyek liberalisasi. Bagaimana tidak, RUU ini sesungguhnya lahir dari rahim sekulerisme dunia Barat yang dijajakan ke negeri muslim ini, sebagaimana ide yang serupa dipasarkan ke negeri-negeri muslim lainnya. Draf RUU KG dibuat sebagai upaya meratifikasi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita) yang tidak lahir dari masalah bangsa Indonesia, apalagi dalam kehidupan yang diterapkan syariah Islam. Cara pandang Barat sangat kuat dalam RUU KKG ini. Ini adalah bentuk keberhasilan perjuangan feminisme barat. Asal-usulnya semangat perjuangan feminisme adalah dari Barat, bukan dari tradisi Islam. Dipicu oleh pandangan buruk (misogynic) orang Barat terhadap wanita. Buku John Mary Ellmann, Thingking About Women, yang terbit pada tahun 1968 di New York mengungkap pelecehan-pelecehan orang Barat sejak zaman dahulu terhadap wanita. Gereja menuding perempuan sebagai makhluk pembawa sial dan malapetaka (Syamsuddin Arif, Menyikapi Feminisme dan Isu ender). Korban inkuisisi (lembaga yang mengeksekusi para pembangkang Gereja) ternyata banyak dari kalangan wanita. Sejak lama, Barat membenci wanita.
Definisi "gender" dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. Dalam RUU ini, "Gender" didefinisikan sebagai: "nilai-nilai sosial budaya yang
dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugas, peran, tanggung jawab, sikap dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat berubah dari waktu ke waktu. (RUU Kesetaraan Gender, pasal 1:1)
Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik)
didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma'lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan.
"Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan. (RUU Kesetaraan Gender, pasal 1:2)." Betapa individualistiknya konsep ini . Laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Didefinsikan pula bahwa” diskriminasi berbasis gender adalah segala bentuk diskriminasi yang didasarkan atas jenis kelamin yang dapat mengakibatkan kerugian terutama bagi perempuan.” (RUU Kesetaraan Gender, pasal 1:3)
Hal ini tentu akan tambah menghalangi umat Islam untuk terikat dengan syariat Islam. Sebagai contoh adalah penerapan hukum waris. Islam membagi waris dengan pola 2:1. Jika ada yang terikat dengan syariat dalam hal waris ini, maka akan dikenai hukuman. Begitu pula dalam masalah perwalian, aqiqah, hak pengasuhan, dll. Umat akan semakin jatuh pada sekulerisme. Laki-laki shalat di barisan depan sementara perempuan di bagian belakang akan dianggap sebagai sebuah ketidakadilan. Tidak bolehnya seorang istri untuk keluar rumah tanpa izin suaminya akan dianggap sebagai sebuah pengekangan, bukan lagi ibadah sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah.
Kedua, RUU KKG ini akan semakin mempercepat bangsa ini menuju kehancuran generasi. Setelah sistem pendidikan yang pragmatis mulai dari level dasar hingga pendidikan tinggi, dan sistem media yang tidak –cukup- punya filter, dan kontrol masyarakat yang rendah, kelangsungan generasi semakin terancam dengan hancurnya tatanan keluarga melalui disahkannya RUU ini. Bagaimana tidak, RUU ini mengabaikan peran dan tanggung jawab seorang istri dan ibu di dalam kehidupan rumah tangga.
Ledia bersama fraksi PKS sudah membahas RUU KG. Menurut Ledia, isi RUU tersebut terlalu detil mengatur kehidupan kaum perempuan saja, sama sekali tidak mengaitkan perempuan dengan anak. Sehingga, diasumsikan ada pengabaian terhadap keluarga dan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) misalnya, sudah memberi masukan agar RUU KG ada klausul yang melindungi anak. “Kita ingin mendorong seorang perempuan, tapi anak dan keluarga juga harus terlindungi. Artinya tidak boleh ada pengabaian terhadap pihak lain. Jadi, saya pikir tidak mesti ada undang-undang yang kemudian mengatur perempuan secara khusus,” jelas Ledia.
Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai ibu rumah tangga , mendidik anak-anaknya dengan baik, hal ini tidak dikategorikan ke dalam “berpartisipasi dalam pembangunan”.
Sudah bisa ditebak, jika pemerintah bersikukuh dengan penbuatan UU ini, akibatnya akan seperi yang terjadi di dunia Barat, anak-anak akan semakin terlantar, kurang kasih-sayang, perceraian meningkat, tingkat kelahiran rendah, dan beragam disharmonisasi lainnya dalam keluarga. Sebagai satu contoh nyata, di Jerman,
tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus
1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati. Padahal Rasulullah sangat bangga dengan umatnya yang memiliki keturunan yang banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat. Dalam riwayat yang lain: dengan para nabi di hari kiamat.“ [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Islam Melindungi Perempuan, Islam Melindungi Generasi
Dalam sejarah kehidupan Islam, di mana diterapkan Islam di tengah masyarakat, tidak pernah ditemukan satu fenomena di mana perempuan menjadi pihak yang disudutkan, begitu pula laki-laki. Justru Islam datang kemudian memuliakan perempuan setelah sebelumnya di masa jahiliyah perempuan menjadi warga kelas sekian. Islam datang untuk memecahkan permasalahn manusia, sejak dulu hingga sekarang. Denagan berbagai perangkat sistemnya, Islam datang untuk menjamin kelangsungan hidup generasi dalam sebuah peradaban.
Islam menggariskan bahwa perempuan –sebagaimana laki-laki- berhak untuk mendapatkan pendidikan. Islam menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang. Sehingga Negara berkewajiban menyediakan segala hal yang dibutuhkan agar setiap muslim memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Pada masa kekhilafahan Abbasyiyah di Baghdad, negara menyediakan hadiah bagi siapa saja yang menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Sehingga di masa itu, ilmu pengetahuan mengalami puncak perkembangan yang gemilang. Khalifah Munthashir, mendirikan sekolah Al-Munthashiriyyah gratis. Siswa mendapatkan beasiswa pendidikan, kehidupannya dijamin, serta di fasilitasi dengan perpustakaan yang lengkap dengan fasilitas kertas-kertas dan tinta gratis, pemandian dan RS bagi siswa yang sakit. Bahkan pada masa Khalifah Harun Al Rasyid beliau mengambil kebijakan barangsiapa menghafal Qu’an dan gemar menuntut Ilmu, maka ia berhak mendapatkan 1000 Dinar. Lihatlah pula bagaimana para sahabat belajar hadits kepada seorang perempuan mulia, Aisyah.Islam juga menggariskan hak bersuara pada perempuan, mengkoreksi kebijakan penguasa. Masih ingat tentu apa yang dilakukan oleh seorang perempuan ketika mengkritisi kebijakan Khalifah Umar ketika beliau membatasi mahar. Kisah yang mhsyur juga menunjukkan bahwa Khalifah al-Mu’tashim membela kehormatan seorang perempuan dengan mengerahkan pasukan perang! Islam juga menempatkan posisi sebagai seorang istri dan ibu begitu mulia. Dari rahim mereka juga dari sistem pendidikan serta kontrol sosial masyarakatnya lahir pribadi-pribadi mulia yang melahirkan tingginya peradaban.
Itulah sedikit gambaran mengenai bagaimana Islam datang memuliakan perempuan, juga seluruh manusia. Ketika pun ada perbedaan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan, atau perbedaan kewajiban yang Allah tetapkan berdasarkan jenis kelamin, sungguh itu adalah hanya pembagian tugas, pembagian tugas dari Sang Pencpta yang Maha Mengetahui bahwa masyarakat untuk bisa hidup maka membutuhkan interaksi di anatara komponen yang ada di dalamnya, termasuk komponen laki-laki dan perempuan. Hanya Allah yang Mengetahui bagaimana membangun interaksi itu agar tejadi kehidupan yang harmonis, dengan aturan apa, laki-laki memikul tanggung jawab apa, demikian pula perempuan.
Dengan demikian, jika kita menginginkan kehidupan yang penuh keberkahan yang tidak hanya bisa kita dapatkan di dunia namun jga di akhirat, maka kembalilah pada syariat Islam secara keseluruhan. Jika kita pun ingin menyelamatkan generasi, maka adopsilah Islam sebagai sistem dalam kehidupan. Lebih dari itu, ini adalah sebuah kewajiban hamba kepada Tuhannya.
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” ( Thaaha :123-124)
Wallahu a’lam bishshowab.