--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Subjudul yang terdengar penuh pesimistis memang, seakan-akan demokrasi memang sebuah alat usang yang tidak akan lagi terpakai di medan perang dengan kondisi yang serba canggih. Wajar saja bila kebanyakan orang langsung mengutarakan perihal ketaknyamanan dengan kata yang kita gunakan ini. Sejak Sekolah Dasar (SD) kita sudah mulai dikenalkan dengan demokrasi, suatu kata yang kita anggap hanya sebuah alat yang digunakan untuk melaksanakan suatu pemerintahan. Padahal, demokrasi adalah lebih dari sekedar alat.
Demokrasi adalah sebuah ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal kebebasan individu, persamaan, martabat, dan persaudaraan, rule of law serta proses politik yang demokratis (The International Relation Dictionary, Jack C. Plano)
Demokrasi : pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln)
Sebelum memperjuangkan demokrasi dan membelanya habis-habisan, tentu kita harus paham betul apa itu demokrasi dan bagaimana demokrasi sesungguhnya. Kemunculan demokrasi dimulai dengan trauma penindasan dalam masyarakat feodal (Eropa s.d. abad 18), yaitu terjadi penindasan karena dominasi teologi gereja sehingga kemudian muncul ide yang lebih khusus lagi mengenai HAM dan feminisme. Demokrasi dengan slogan dari Abraham Lincoln menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran. Menjanjikan kehidupan ideal berupa keadilan, kebebasan, persamaan, musyawarah, toleransi dan bahkan kedudukan dalam kekuasaan. Dengan asumsi-asumsi ini adapula yang beranggapan bahwa memperjuangkan demokrasi sama dengan memperjuangkan nilai-nilai Islam. Padahal, sejak awal kemunculannya demokrasi telah mendapat penentangan. Bahkan dari kalangan filsuf dan negarawan. Sebut saja misalnya Socrates, Plato, John Adams dan Thomas Jefferson.
The Guardian merujuk (6/07/2012) laporan Democratic Audid memperingatkan penurunan jangka panjang demokrasi di Inggris. Dalam artikel British democracy in terminal decline, warns report, disebutkan ada indikasi yang menunjukkan hal itu. Yaitu, pertama, menguatnya pengaruh korporasi (perusahaan bisnis). Kedua, politisi yang semakin tidak mewakili konstituennya serta semakin menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu bahkan untuk mendiskusikan persoalan-persoalan kekinian sebagai bentuk kekecewaan terhadap demokrasi. Terkadang demokrasi pun ternyata tidak demokratis, misalnya, Pemerintah Ajerbaizan melarang adzan melalui pengeras suara, pemerintah Azerbaijan juga menghimbau shalat jumat ditunaikan hari Sabtu dan larangan berjilbab di beberapa negara Eropa. Demokrasi pun menghasilkan beragam UU liberal yang merusak manusia, Uruguay yang meresmikan RUU legalisasi aborsi, juga tak ketinggalan pemerintah Swiss yang memfasilitasi tempat untuk bunuh diri. Semua fakta ini berangkat dari sebuah ide, dan legal atas nama ide kebebasan, demokrasi. Musyawarah yang katanya merupakan bagian dari demokrasi yang sering disetarakan dengan musyawarah dalam Islam pun berbeda faktanya, seperti yang telah dicontohkan dalam fakta di berbagai negara diatas. Musyawarah dalam demokrasi tidak mengenal kata halal-haram, musyawarah dalam demokrasi hanya mengenal kata sepakat.
Demokrasi akhirnya hanya menyiratkan kegagalan. Demokrasi akhirnya hanyalah sebuah ide khayalan tentang kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat serta liberalism-pluralisme yang tidak pernah bisa diwujudkan, karena selalu ada pihak yang diuntungkan dan disisi lain dirugikan. Demokrasi juga hanyalah alat permainan politik yang menipu, bukan rakyat yang diutamakan, tapi rakyat yang mengutamakan wakil rakyatnya. Lebih dari itu semua, demokrasi dengan kedaulatan di tangan rakyat-nya menjadikan rakyat sebagai pembuat hukum, padahal satu-satunya yang berhak yang membuat hukum adalah Allah SWT. manusia hanya menjalankan apa yang sudah Allah buat.
Demokrasi tidak dapat diharapkan-dan memang tidak layak diharapkan- untuk membuat suatu kondisi ideal kehidupan di dunia, kita harus berpikir dunia tanpa barat : dunia tanpa demokrasi. Ya, kita harus berpikir dunia tanpa sistem demokrasi. Masalahnya bukan lagi demokrasi yang hanya sedang berproses menuju demokrasi yang matang, demokrasi memang secara konsep sudah rusak dan secara implementatif rusak dan merusak. Dalam sejarah sistem kenegaraan manapun dewasa ini, tidak ada lagi selain sistem Islam dan sosialisme yang dapat menjadi pilihan selain sistem politik demokrasi yang masih merupakan sistem politik dari ideologi kapitalisme. Adapun sistem sosialisme yang meniadakan Tuhan, jelas kita eliminir karena tidak seuai dengan fitrah manusia yang salah satu naluri-nya adalah naluri untuk mensucikan sesuatu (beragama, bertuhan). Hanya sistem pemerintahan Islam yaitu sistem khilafah yang layak diperjuangkan. Mengapa harus Khilafah?
“The situation now is that Turkey is dead and will never rise again, because we have destroyed its moral strength, the Caliphate and Islam.” Lord Curzon (1859-1925) Menteri Luar Negeri Inggris.
Namun, Khilafah akan segera kembali. Ada sebuah bisyarah (kabar gembira) dari Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad SAW. :
Di Abad yang sebut-sebut sebagai abad partisipasi penuh (Full Participation Age) perempuan dituntut untuk siap berperan, menjadi anggota ‘terhormat’ dalam pasar global. Perempuan dicanangkan oleh Hillary Clinton, ketika kita membebaskan potensi ekonomi mereka ekonomi dunia di negara-negara APEC dapat naik pada tahun 2020 sekitar 14%. Begitu pula Presiden AS, Obama yang mengatakan bahwa perempuan bukanlah suatu blok monolitik dalam ekonomi, tak ketinggalan, sekjen PBB Ban Ki Moon juga terus menggencarkan dan memperbanyak peran perempuan di berbagai lini. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memang disetting untuk memberikan peran dalam perubahan dunia. Hanya saja, intelektual perempuan harus mampu mengambil peran kontributif yang tepat, tidak terjebak dalam arah pemberdayaan perempuan dalam kerangka demokrasi, sistem yang justru sekarang dipertanyakan, tidak juga terjebak menjadi “pemadam kebakaran” atas kebijakan kapitalisme, dan tidak terjebak mengambil peran publik namun dengan meninggalkan peran domestik dalam keluarga.
Mengambil peran kontributif yang tepat dilakukan dengan membangun kesadaran politik intelektual perempuan : membenahi kondisi masyarakat dengan cara menyampaikan pemikiran islam, menyatukan pandangan dan membangun ketaatan. Perempuan memiliki dua peran, yaitu peran publik dan peran domestik. Peran publik adalah bagaimana perempuan melakukan pencerdasan ummat, mengatur bagaimana seharusnya ummat diatur. Sedangkan peran domestik, telah kita tahu bersama, yaitu perempuan dalam arti menjadi seorang istri dan ibu. Perempuan harus memperhatikan kepentingan ummat dengan perhatian yang sempurna. Memberi gambaran mengenai kesatuan pandangan serta kedisiplinan terhadap hal-hal yang wajib dilawan atau dimusnahkan, juga terhadap hal-hal yang wajib dibangun dan ditumbuhkembangkan, menjadikan ketaatan sebagai watak, dan menilai sikap penolakan terhadap suatu perintah sebagai perbuatan keji. Dan perlu dihighlight bahwa tunduk kepada aturan manusia (bukan hukum Allah) bukan bentuk ketaatan. Ketaatan adalah melaksanakan perintah pihak yang berhak untuk ditaati dengan penuh ketundukan, keridhaan dan ketenteraman. Adapun pembangkangan adalah kebalikan dari semua itu.
Dalam kondisi dunia yang diguncang dengan krisis di Barat, Arab Spring di berbagai wilayah Timur Tengah, perempuan memiliki peran untuk terlibat dalam perjuangan politik yang benar dengan memperjuang penerapan Islam dalam sistem Khilafah. Gelombang suara perempuan Muslim dari Tunisia hingga Bahrain, Mesir hingga Suriah, Yaman hingga Libya kaum perempuan di Timur Tengah lantang terdengar mengharapkan perubahan hakiki di bawah naungan Islam. Kenapa memperjuangkan Islam ? Tak lain dan tak bukan, lagi-lagi adalah bentuk ketundukan kita terhadap Allah SWT. karena kita hanyalah hamba yang mencari ridho-Nya, hamba yang akan kembali padaNya, mempertanggungjawabkan atas setiap detik yang kita jalani di dunia yang hanya sementara ini.
Divisi Kajian