Bagai kelaparan di lumbung padi. Inilah yang bisa menggambarkan fakta pengelolaan energi di negeri ini. Ya, zamrud khatulistiwa yang kita diami saat ini memang terkenal sebagai suatu negeri yang kaya raya dengan segala potensi alam yang dimilikinya baik di laut dan di darat. Namun, sayangnya kekayaan alam kita tampaknya tidak berbanding lurus terhadap tingkat kemajuan dan kesejahteraan penduduknya.
Di satu sisi,
Namun di sisi lain, Bank Dunia melaporkan bahwa lebih dari 100 juta atau hampir setengah penduduk
Fenomena terbaru adalah terpangkasnya subsidi BBM yang mendorong pemerintah untuk membatasi penggunaan bensin bersubsidi. Untuk motor dibatasi 1 liter bensin premium / hari sedangkan untuk kendaraan pribadi lainnya dibatasi 3-4 liter/hari dan tak dibatasi untuk angkutan umum (SCTV, Februari 2007). Bayangkan bagaimana produktivitas dan kinerja masyarakat dengan kondisi seperti ini? Padahal, tingkat kebutuhan BBM untuk setiap orang bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing.
Realita yang Paradoks
Mirisnya realita energi bangsa ini sudah menjadi opini umum dan semakin ramai diperbincangkan oleh pelbagai kalangan mulai taraf elit hingga buruh, mulai politisi hingga akademisi . Hal yang menarik di antaranya adalah kenaikan harga BBM yang berkali-kali lipat dalam periode terakhir. Pada saat yang sama terlihat jelas intervensi perusahaan swasta asing seperti MNC atas sumber daya energi bangsa.
Pascapenerapan UU Penanaman Modal pertama kali pada 1978, gerbang liberalisasi sumber-sumber energi ke tangan asing melalui MNC (Multi National Company) semakin terbuka lebar hal ini bisa terlihat dari privatisasi BUMN yang ada, termasuk badan pengelola energi.
Contohnya, Kilang LNG Arun Aceh yang memiliki cadangan 1,7 triliun kubik gas dimiliki oleh pertamina (55%,) Exxon Mobile (30%), dan Japan Indonesia LNC Co. (15%). Blok Cepu dengan cadangan 781 juta barel (versi Exxon) ternyata dikuasai oleh Exxon Mobile (45%), daerah (10%) dan pertamina (45%). Papua dengan cadangan emas terbesar kedua di dunia, dikuasai oleh
Belum lagi jika kita melihat bahwa pembagian hasil ini dilakukan setelah pemerintah membayar cost recovery, yaitu penggantian seluruh biaya oprasional yang dikeluarkan dalam mengelola sumber-sumber energi tersebut. Tentu pendapatan pemerintah sesungguhnya sedikit dan jauh lebih menguntungkan pihak swasta/asing.
Reorientasi Paradigma Pengelolaan Energi Nasional
Permasalahan mendasar dari pengelolaan energi berdasar dari suatu paradigma bahwa energi adalah bagian dari private goods sehingga setiap orang/instansi bebas memiliki dan mengelolanya baik asing maupun dalam negeri. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang seharusnya dikelola langsung oleh negara bisa digunakan untuk rakyat, disedot oleh perusahaan swasta asing.
Mengembalikan Peran Negara
Dengan demikian, jawaban dari permasalahan energi nasional adalah dengan merubah paradigma yang selama ini memandang energi sebagai private goods yang bebas diperjualbelikan oleh individu/swasta menjadi public goods yang sejatinya milik bersama warga dan wajib dikelola oleh negara. Kendati jika ada perusahaan multinasional yang ingin bekerjasama maka sejatinya negara dan masyarakat harus diuntungkan dengan sistem bagi hasil yang proposional tanpa menimbulkan suatu ketergantungan terhadap pihak asing.
Hari Esok: Tantangan dan Kesiapan
Menolak intervensi asing atas sumber daya
Dari Mana dan Bagaimana?
Pertama: reorientasi paradigma pengelolaan energi dari liberalisasi menuju sentralisasi demi kemakmuran rakyat. Kedua: adanya dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah yang benar-benar berdedikasi kepada rakyat seperti upaya pengembangan iptek, penelitian untuk dalam negeri. Ketiga : kesiapan teknologi dan persiapan sarana dan prasarana eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi termasuk pendirian industry hulu. Keempat: perlunya perombakan dan perbaikan sistem di negeri ini secara mendasar dan komprehensif. Sebab, kemandirian energi ini juga perlu dukungan perbaikan sistem ekonomi, politik, pendidikan dan tentunya regulasi yang kuat dari pemerintah.
Namun, keempat hal di atas sulit terealisasikan tanpa adanya langkah inisiasi awal yang kuat dan pasti. Dengan demikian, menuju