Jum'at, 27 September 2013, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) mengadakan Open House MHTI di Selasar TOKA Farmasi. Open House MHTI adalah kajian MHTI yang rutin dilakukan dua minggu sekali yang membahas seputar tanya jawab mengenai Islam. Kali ini, topik yang menjadi bahasan utama tanya jawab adalah mengenai hukum syara' mengenai transplatasi organ manusia. Berikut hasil kajiannya.
HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN MENURUT PANDANGAN ISLAM
Jual beli organ tubuh merupakan fakta hukum baru yang belum pernah dibahas para fuqoha di masa lalu. Fakta ini telah banyak dibahas oleh para ulama kontemporer, baik secara pribadi maupun badan (lajnah/ haiah ‘ulama). Sebelum mereka membahas fakta ini, terlebih dahulu mereka membahas hukum transplantasi organ tubuh (naqlul a’dho wa gharsuh).Karena hukum jual beli organ tubuh erat kaitannya dengan hukum transplantasi itu sendiri.
Dalam dunia medis transplantasi didefinisikan sebagai pemindahan atau pencangkokan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi. Transplantasi sendiri bisa dilakukan dari orang yang masih hidup atau orang yang baru saja meninggal yang organ tubuhnya masih berfungsi. Dari sini, ada beberapa fakta hukum yang perlu dibahas terkait dengan tranplatasi organ tubuh, yakni menyangkut: pendonor, resipien, organ yang dipindahkan, serta bagaimana resipien mendapat organ tadi, apakah dengan membeli atau donor.
1. Pendonor dalam kondisi hidup
Dilihat dari kondisi tasharruf (manusia memiliki hak milik atas badannya atau tidak)
a. Kondisi saat manusia tidak memiliki tasharruf dimana kondisi untuk mendonorkan adalah dharurah (darurat)
Sebagian besar ulama kontemporer membolehkan transplantasi organ tubuh dari orang yang masih hidup selama dalam keadaan dharurah (darurat) dan tidak menimbulkan dharar(kebahayaan) bagi yang mendonorkan. Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam hal istidhlal (penetapan dan penggalian dalil atas fakta yang dihukumi).
Perbedaan pendapat ini didasarkan pada apakah manusia memiliki hak tasharruf atas badannya ataukah tidak. Bagi ulama yang mengatakan bahwa badan adalah milik Allah Swt (milkun lillah wa haqqun lah) dalam arti manusia tidak memiliki hak tasharrof atasnya, maka kebolehan tranplantasi didasaarkan pada alasan dharurah. Dharurah yang dimaksud adalah upaya menghindari kematian atau rusaknya anggota tubuh yang mengakibatkan kematian dengan syarat tidak menimbulkan dharar serupa bagi si pemberi.
b. Kondisi saat manusia memiliki tasharruf
Sementara ulama yang berpendapat bahwa badan manusia disamping merupakan hak dan milik Allah Swt (haqun lillah wa milkun lah), namun ia pun merupakan hak dan milik manusia (haqun lil insan wa milkun lah), maka mereka berpendapat bahwa kebolehan transplantasi didasarkan pada haq intifa’ fil mulki (hak pemanfaatan pada barang-barang yang dimiliki). Sementara dalil yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak tasharaf atas badannya adalah kebolehan memaafkan dalam hal tindak kriminal terkait anggota tubuh, baik berupa pelukaan, pemotongan, pencabut, dll, yang tidak menimbulkan kematian (jinayah fima dunan nafs).
Allah swt berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. (QS. 2:178)
Memaafkan sang pelaku tanpa mengambil diyat berati pemberian atas harta diyah itu sendiri (at-tabarru’ bi ad-diyah). Kebolehan at-tabarru’ bi ad-diyah menunjukan kepemilikan atas diyah. Sementara kepemilikan atas diyat menunjukan kepemilikan atas anggota tubuh yang dengan diyatnya itu seseorang bisa bertabarru’ (Abdul Qadim Zalum, Hukmusy Syar’iy fi naqlil A’dho, hal, 11).
Dari paparan di atas, nampak bahwa pendapat yang kedua lebih kuat dengan alasan, pertama: penisbatan bahwa badan manusia merupakan hak Allah Swt tidak menafikan keberadaan hak dan kepemilikan manusia atasnya.
Ketika kepemilikan tersebut Allah Swt berikan kepada manusia maka Ia nyatakan dengan lafadz “amawaluhum” (harta mereka) atau “amwalukum” (harta kalian). Begitupun halnya kepemilikan manusia atas badannya, hak tasharruf atas jasadnya tidak berarti menafikan hak Allah Swt. Kedua: Dalil-dalil yang menunjukan bahwa manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Swt juga tidak menafikan hak manusia atas tasharruf terhadap badannya. Sebab, tasharruf dalam hal ini tidaklah muthlak sebagaimana kita nyatakan di atas. Akan tetapi dibatasi pada perkara-perkara yang tidak menyebabkan kemadharatan seperti meninggalkan kewajiban kepada Allah Swt. Oleh kerena ishtidlal pendapat yang pertama keluar dari kontek tasharruf yang diperbolehkan.
Sehingga dari keterangan-keterangan di atas seorang pendonor diperbolehkan untuk mendonorkan anggota tubuhnya, karena ia memiliki hak milik, selain kepemilikan Allah adalah mutlak, selama tidak membahayakan kondisi sang pendonor.
2. Pendonor dalam kondisi meninggal
Adapun transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati, maka para ulama sepakat bahwa hukum asalnya tidak boleh karena melanggar kehormatan mayat.
Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (سورة الإسراء: 70)
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70)
Selain itu, terdapat larangan menyayat tubuh mayat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Ibnu buraidah dah bapaknya, ia berkata:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam jika mengangkat seorang amir (komandan) atas suatu pasukan atau sariyah, beliau memberinya wasiat secara khusus supaya bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan memperlakukan pasukannya dengan baik. Beliau lantas bersabda,” Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah ! Berperanglah, janganlah mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, jangan membatalkan perjanjian secara sepihak, jangan mencincang mayat musuh, dan jangan membunuh anak-anak” (HR. Muslim)
Hadis ini jelas menunjukan larangan menyayat tubuh mayat. Padahal tranplantasi tidak mungkin dilakukan kecuali dengan melakukan penyayatan. Disamping itu, Dalam riwayat ‘Aisyah. ra, Rasulullah Saw, melarang memecahkan tulang mayat seorang mukmin.
إن كسر عظم المؤمن ميتا مثل كسره حيًا (رواه أبو داود)
“Sungguh memecah tulang seorang mukmin setelah ia mati, sama seperti memecahkannya pada saat masih hidup” (HR. Abu Dawud)
Ini hukum asal tranplantasi organ tubuh mayat. Namun, karena alasan darurat, ulama kontemporer kemudian berbeda pendapat.
a. Kondisi Pertama: Pendapat yang membolehkannya dengan syarat-syarat.
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
1. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 2:173)
2. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-an’am :119)
Kedua ayat di atas menunjukan bahwa seorang yang kehabisan bekal atau tidak memiliki makanan, dalam kondisi darurat dibolehkan memakan makana yang diharamkan seperti bangkai. Begitupun tranplantasi organ tubuh mayat, ia menjadi dalam kondisi darurat. Ini adalah pendapat Majma’ Fiqih Islami OKI (Makah, tahun 1969), Hai`ah Kibar Ulama (Saudi, tahun 1982), dan Lajnah Fatwa Yordania (1985), Kuwait (1985), Mesir (1989), Al-Jazair (1972). Darurat yang dimaksud adalah tranplantasi organ tubuh yang sangat dibutuhkan oleh resipien, yang kalau tidak dilakukan diduga kuat menyebabkan kematian, seperti jantung, ginjal, paru, dll. Adapun jika bersifat hajjiyah, tahsiniyyah atau sekedar tajmiiliyyah, yakni pada organ-organ tubuh yang diduga kuat tidak mengantarkan resipen pada kematian jika tidak dilakukan, maka tranplantasi hukumnya tetap haram. (Dr. Bakr Ibnu Abdillah Abu Zaid, at-Tasyrih al-jutsmaniy wa an-Naql wa at-Ta’widh, hal. 40).Kebolehan tranplantasi pada perkara dharuriyyah ini disyaratkan izin sang mayat sebelum ia meninggal ataupun izin ahli waris.
b.Kondisi Kedua: tetap tidak boleh walaupun dalam kondisi darurat.
Ini adalah pendapat: Syaikh Adam Abdullah Ali, DR. Abdus Salam as-Sukry, Syaikh Abdullah al-Gumariy, Syaikh Muhammad Mutawally Asy-sya’rawiy, Syaik Muhammad Abdullah al-As’adiy, Syaikh Abdul Qadim Zalum, Syaikh as-sinqitiyy (Ahkamut tasharauf bil jutsah fil fiqhil Islamiy, hal: 153). Hanya saja Syaikh Abdul Qadim Zalum, Syaikh as-sinqitiyy mengecualikan organ mayat orang kafir yang darahnya tidak maksum (Abdul Qadim Zalum, Hukmusy Syar’iy fi naqlil A’dho, hal, 12). Pendapat ini didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan di awal terkait kewajiban menjaga kehormatan mayat, larangan menyayat, memecahkan tulang, dll. Pendapat inilah yang lebih kuat dengan alasan:
1. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa transplantasi bisa dilakukan dalam organ yang tidak terkait dengan penyelamatan nyawa resipien, maka hal ini disepakati tidak boleh dilakukan, serta bisa pula dilakukan pada organ yang bisa menyelamatkan nyawa resipien dan inilah yang menjadi objek perbedaan pendapat. Pendapat yang kuat dalam hal ini tetap tidak boleh.
Karena,
Pertama: penyelamatan resipien dengan tranplantasi ini bukanlah perkara yang pasti. Dimana oprasi pencangkakan ini bisa berhasil, bisa pula tidak. Ini berbeda dengan fakta penyelamatan kematian akibat memakan makanan yang haram bagi orang yang kelaparan.
Kedua: di antara syarat qiyas adalah terpenuhinya seluruh syarat-syarat bagi rukun-rukunnya, yakni syarat-syarat pada: asal (al-maqis ‘alaih) hukum asal (al-hukmu), persoalan cabang yang hendak diqiyaskan (al-maqis), dan illat (al-illah). Di antara syarat al-maqis adalah tidak adanya hukum terkait dengan al-maqis tadi yang lebih kuat dan bertententangan dengan hukum yang dikehendaki ilat. Hukum cabang dalam kontek ini adalah trasplantasi organ tubuh, yang hendak diqiyaskan dengan kebolehan memakan bangkai dengan ilatdaruroh. Qiyas dalam dalam kontek ini tidak dibenarkan, sebab kebolehan tranplantasi sebagai konsekuensi darurohbertentangan dengan hukum-hukum terkait dengan mayat seperti keharaman menyayat, memecah tulang, dll.
2. Pensyaratan izin sang mayat sebelum ia meninggal atau izin ahli waris juga merupakan persyaratan yang batil. Izin mereka jelas tidak bisa menghalalkan keharaman trasplantasi itu sendiri. Sebab, seseorang setelah ia meninggal bukanlah milik bagi siapapun. Ia bukanlah milik bagi dirinya (milkun lah), bukan pula milik bagi ahli warisnya (milkun liwarosatih).Hal ini berlaku bagi seluruh perkara yang ia tinggalkan, termasuk harta dan istri. Adapun kebolehan washiat atas sepertiga harta, itu karena adanya nash khusus yang membolehkannya. Begitupun hak ahli waris terhadap harta, itu ada karena ditetapkan oleh nash. Nash-nash tadi hanya berlaku pada harta, dan tidak pada organ tubuh.
Adapun pengecualian orang kafir harbiy, sebagaimana dinyatakan syaikh ‘Abdul Qadim Zalum dan Syaikh asy-Syinqitiy, maka hal ini karena darah mereka tidaklah maksum dimasa hidupnya, maka hal yang sama juga berlaku disaat ia mati. Juga karena hadis riwayat ‘aisyah, yang menyatakn bahwa keharaman memecah tulang mayat itu berlaku pada mayat mukmin. lafadz al-mukmin dalam hadis itu adalah isim sifat, maka bisa ditarik mafhumnya. Dengan kata lain, ketentuan ini tidak berlaku pada jasad mayat seorang kafir.
Al-Hasil transplantasi organ dari sesosok mayat kepada tubuh yang masih hidup diharamkan dalam kondisi apapun, termasuk dalam kondisi darurat sekalipun.
3. Jenis transaksi pendonoran
Apabila berkaitan dengan pemberian maka diperbolehkan, akan tetapi bila diperjualbelikan, dari paparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa hukum jual beli organ tubuh diharamkan dalam sebagian besar fakta organ yang akan ditranplantasikan. Sebab, setiap perkara yang haram untuk dimanfaatkan maka haram pula untuk diperjualbelikan (maa yahrum intifa’uhu yahrumu bai’uhu), Seperti, keharaman menjualbelikan bangkai karena keharaman pemanfaatan bangkai itu sendiri. Pendapat sebagian besar ulama kontemporer yang membolehkan tranplantasi tidak serta merta membolehkan jual beli organ tersebut. Sebab, mereka membatasi kebolehan tersebut dalam kondisi darurah dengan cara donor (at-tabarru’ah). Mereka sepakat bahwa fakta daruroh tidak bisa diberlakukan dalam tijaroh (jual beli) organ tubuh. Sehingga, menurut mereka keharaman jual beli organ tubuh berlaku umum pada seluruh jenis oragan tanpa kecuali. Kesimpulan ini bisa dilihat dalam fatwa-fatwa yang telah disebutkan di atas. Begitupun pendapat Syaikh ‘Abdul Qadim Zalum, jual beli organ tubuh mayat diharamkan, karena tak seorang pun memiliki haktasharruf atas jasad mayat, baik dengancara tabarru’ (donor) ataupun al-ittijar bih (jual beli). Adapun, jual beli organ tubuh di saat masih hidup yang dilakukan oleh pemilik organ tersebut, maka dzohir pendapat beliau hal itu diperbolehkan, selama bukan pada objek-obejk vital yang bisa menyebabkab kematian. Sebab, seseorang memiliki hak atas tubuhnya berdasarkan dalil-dalil yang telah kita paparkan di awal. Sehingga ia memiliki hak untuk mentasharufkannya baik dengan cara donor atau jual beli. Namun, sekali lagi hak ini tidak bisa diwariskan. Sebab kepemilikan terhadap harta (al-milkiyah lil amwal) berbeda faktanya dengan kepemilikan terhadap jasad atau organ (al-milkiyah lil jism au al-adho’). Wallahu a’alam.
0 comments:
Post a Comment