Friday, December 12, 2008

Resume Simnas Petrogressio

Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan PATRA ITB berjudul Analisis Kontrak Bagi Hasil Industri Migas di Indonesia dan Alternatifnya menghadirkan lima pembicara, yaitu

# Prof. Ir. Widjajono Partowidagdo, M.Sc., MSOR, MA, Ph.D (Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan), membawakan materi berjudul Kontrak Kerja Sama, Institusi dan Iklim Investasi Migas di Indonesia

# Ir. R. Priyono (Kepala BP MIGAS), membawakan materi berjudul Mencermati Pilihan Kontrak Kerja Sama Industri Hulu MIGAS

# Ir. Suwito Anggoro M.Sc. (President Director of PT. Chevron Pacific Indonesia), membawakan materi Kesinambungan Produksi Migas dan Eksplorasi Daerah Baru di Indonesia

# Ir. Tjatur Sapto Edy, MT. (Anggota Komisi VII dan Pansus Angket BBM DPR RI Fraksi-PAN), membawakan materi Analisis Undang-Undang yang Mengatur Kontrak Bagi Hasil di Indonesia dan

# Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S. (Sekjen Masyarakat Minyak & Gasbumi Indonesia (MMGI)) yang membawakan materi Usulan: Kontrak Baru Migas

dengan keynote speaker Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M.A., M.Sc (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Kabinet Indonesia Bersatu)

PSC (Production Sharing Contract) atau KKS (Kontrak Kerja Sama) berdasarkan UU No.22/2001 Pasal 1 angka 19 merupakan Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pencetus ide PSC adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya. Berdasarkan pendapat Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara” (1970). Pada intinya PSC membawa spirit bahwa kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam PSC manajemen ada di tangan pemerintah. Diharapkan pula dengan PSC ini terjadi transfer teknologi, sehingga negeri ini bisa mandiri dalam pengelolaan energi

Di dunia terdapat dua jenis PSC: based on Gross (berdasarkan pendapatan kotor) dan based on Net (berdasarkan pendapatan bersih). Di Indonesia digunakan PSC based on Net. Prinsip utama PSC adalah
1. Kontraktor menyediakan segala dana dan menanggung segala resiko
2. Manajemen Operasi di tangan BPMIGAS
3. Kepemilikan Bahan Tambang pada Pemerintah hingga Titik Penyerahan
4. Kontraktor berhak memperoleh kembali Biaya Operasi dari hasil penjualan minyak atau gas, bila ada produksi
5. Produksi hanya ada bila dinyatakan Komersialitas oleh Pemerintah
6. Masa Eksplorasi 6 tahun plus 4 tahun perpanjangan
7. BPMIGAS memberikan persetujuan WP&B, biaya dan metoda keteknikan yang digunakan

PSC sendiri mengalami beberapa generasi
Generasi pertama (1965 – 1978)
- cost recovery dibatasi sebesar 40%
- bagian kontraktor adalah 35% bersih
- DMO tanpa grace period

Generasi kedua (1978 – 1988)
- tidak ada pembatasan cost recovery
- bagian kontraktor adalah 15% bersih
- investment credit 20%
- DMO dgn harga pasar untuk 5 tahun

Generasi ketiga (1988 – sekarang)
- mulai diberlakukan First Tranche Petroleum (FTP)
* diperkenalkan pada kontrak yang ditandatangani 1988
* besarnya 20% dari produksi (gross)
* untuk menjamin Pemerintah menerima bagian hasil produksi
* FTP nantinya akan di bagi juga antara Pemerintah dan Kontraktor
- DMO bervariasi antara harga ekspor




Jadi, selama regenerasi PSC dari bagan di atas tampak bagian pemerintah menjadi semakin kecil dan kepentingan domestik juga teralihkan. Mengapa? Pada awalnya cost recovery hanya ditanggung kurang dari 40% oleh pemerintah, tetapi kemudian nilai cost recovery ini terus meningkat hingga tanpa batas. Apa saja yang termasuk dalam cost recovery?



Akan tetapi, berdasarkan temuan audit BPK (Sumber http://www.bpk.go.id/) menunjukkan kelemahan dalam hal cost recovery ini
• Semester I TA 2006 : Pembebanan interest recovery oleh Kontraktor PT. Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) sebesar US$ 4,96 juta, Conoco Phillips – Grissik (COPI Grissik) sebesar US$ 170,42 juta, dan Petrochina International Jabung Ltd (PIJL) sebesar 23,98 juta yang tidak sesuai ketentuan yang di atur dalam PCS.

• Semester I TA 2006 : Terdapat biaya-biaya yang seharusnya tidak menjadi beban pemerintah, yaitu:
- Proyek Polytechnic Caltex di PT. CPI,
- Tunjangan dependent school cost di PT. CPI,
- Sumbangan pada international school di PT. CPI,
- Biaya community development dan community relationship di PT CPI,
- Bantuan khusus karyawan di PT. Medco E&P Indonesia,
- Sumbangan kepada korban tsunami di PT. Medco E&P Indonesia.

• Semester II TA 2007 : Temuan biaya yang tidak dapat dibebankan dalam cost recovery BV dan PSC BP West Vava – Offshore North West Java (BPWJ) untuk Biaya untuk Tangguh Project tahun 2005 sebesar US$ 4.09 juta meskipun belum sepenuhnya disetujui KKKS dan BPMigas untuk dikoreksi

Beberapa ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil yang cenderung menurunkan porsi pemerintah:
1. Diberlakukannya cost recovery 100% dan bahkan 120% untuk lapangan marginal.
2. Dimasukkannya pembayaran bunga ke dalam cost recovery.
3. Diberlakukannya Domestic Market Obligation Holiday terhadap produksi migas (kontraktor tidak wajib menjual bagian hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dalam hal ini hingga 60 bulan). Bahkan untuk kasus Blok Cepu, Exxon meminta perubahan dengan menunda pembayaran hingga 60 bulan setelah peak production.
4. Diharuskannya Indonesia membeli minyak produksi KKKS yang merupakan dalam bagian dari minyak DMO dengan harga pasar sejak tahun 1976/1977. Padahal sebelum itu minyak tersebut dapat dibeli dengan harga 25% saja dari harga pasar.
5. Diubah-ubahnya porsi bagi hasil migas, dengan kecenderungan bagian pemerintah semakin lama semakin kecil.





Keterangan
AFE = Authorization for Expenditure atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol
FTP = First Tranche Petroleum atau hak para pihak untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknya (20 atau 15 %) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam kontrak kerja sama
ETS = Equity to be Split
DMO = Domestic Market Obligation merupakan kewajiban sebesar 25% dari bagian kontraktor sebelum pajak untuk memasok kebutuhan dalam negeri

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, skema PSC Indonesia tergolong “merepotkan”





Adapun peran BP MIGAS berdasarkan UU 22/2001 Pasal 44 ayat 3, PP 42/2002 Pasal 11 dan PP 35/2004 Pasal 90 adalah
1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
2. Menandatangani Kontrak Kerja Sama;
3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
4. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain rencana yang pertama;
5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
6. Melaksanakan monitoring pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
7. Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Negara.

Dalam sistem PSC di Indonesia artinya BP MIGAS memiliki peran yang sangat krusial dan tugas BP MIGAS sangat banyak dan tidak sesuai dengan budget yang dialokasikan untuk BP MIGAS (mengutip ucapan pak Tjatur), begitu pengawasan BP MIGAS longgar akan banyak kerugian yang dialami Negara (seperti sudah dipaparkan faktanya dalam audit BPK).

UU Migas No.22 Tahun 2001 pun ikut menambah runyam kondisi permigasan di Indonesia, sehingga MK mengajukan judicial review atas UU ini. MK melalui Putusan 002/PUU-I/2003 menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut sudah tidak berlaku (tidak mempunyai kekuatan hukum) dan harus dicabut atau diamandemen, namun hingga kini, pemerintah belum mengamandemen perubahan pasal-pasal tersebut.
Diantara pasal-pasalnya yang bermasalah, yaitu pada pasal 22 ayat (1) yang berbunyi
Bada Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.


Ini adalah Permasalahan Political Will para Penguasa/Pemerintah

Sepertinya kita pasti sepakat, Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Indonesia juga memiliki cadangan gas alam dan minyak bumi yang melimpah. Sumber energi memang perlu dieksplorasi sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Juga wajar ketika Pemerintah akhirnya bekerjasama dengan para pemilik modal untuk melakukan eksplorasi. Akan tetapi, adalah wajar pula ketika Indonesia sebagai tuan rumah dan sebagai pemilik sumber energi untuk mendapatkan keuntungan dari kekayaan yang dimilikinya. Sehingga sangatlah wajar jika Pemerintah membuat peraturan yang sangat protektif untuk bangsanya.

Beberapa pendapat mengatakan, jika kita menetapkan pengaturan yang sangat ketat, investor asing enggan untuk menginvestasikan modalnya di negeri ini. Lalu memangnya kenapa? Negeri ini negeri yang kaya bukan? Para karyawan bahkan Presiden Direktur suatu perusahaan minyak asing terkemuka saja juga adalah orang Indonesia! Sudah puluhan tahun perusahaan migas asing ada di negeri ini. Jika PSC pada awalnya ditujukan agar dapat terjadi transfer teknologi, apakah sekarang bukan saatnya untuk mandiri? Berdikari? Berdiri di atas kaki sendiri?

Sudah saatnya negeri ini untuk mengisolasi diri. Indonesia tidak butuh dunia, tetapi dunia membutuhkan Indonesia!!!

2 comments:

terus mbak... gimana tuh pengaturan pengelolaan kontrak asing dalam sudut pandang Islam?

cemmana ini admin ngomen tulisan sndiri... =.=