Kenali Tuhanmu, Teladanmu dan Petunjuk Jalan Hidupmu
Kenali Tuhanmu
Mungkin kita pernah bertanya, “ benarkah ada Tuhan?” , ” Apa iya ada sesuatu yang menciptakan aku, kamu, alam ini? “ , “ sedang apa Tuhan?”
Jika ya, maka sungguh sangat mudah untuk menjawabnya. Mengapa? Karena kita memiliki akal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya saja akal memang memiliki keterbatasan. Dia hanya mampu memahami hal-hal yang bisa diindera oleh manusia. Oleh karena itu, kenalilah Tuhan kita dengan memperhatikan hal-hal di sekitar kita yang bisa kita indera. Dengan akal, kita bisa memperhatikan bahwa ada dua jenis manusia, ada hewan, tumbuhan, kehidupan, dan sebagainya, akal akan menyimpulkan bahwa semuanya itu terbatas, bahwa semuanya membutuhkan kepada Zat yang Maha, Zat Yang tidak Terbatas, Zat yang Menciptakan, Dialah Tuhan.
Alquran sendiri mengajak kita untuk memperhatikan apa yang ada di sekitar kita.
Kami benar-benar memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu benar. (QS 41: 53).
Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi serta semua yang telah Allah ciptakan? (QS 7: 185).
Tidakkah manusia itu berpikir bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sementara (sebelumnya) tidak ada sama sekali? (QS 19: 67)
Di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin; juga pada diri kalian sendiri. Lalu mengapa kalian tidak memperhatikan? (QS 51: 20-21).
Sebaliknya, Alquran maupun Hadis Nabi melarang kita untuk memikirkan (bahkan mempertanyakan) hal-hal yang metafisis ( yang notabene tidak bisa kita kita indera). Dalam salah satu surahnya, misalnya, Allah berfirman:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh (nyawa). Katakanlah, “Ruh itu adalah bagian dari urusan-Ku; tidaklah kalian diberi ilmu pengetahun kecuali sangat sedikit.” (QS 17: 85).
Sementara di dalam suatu hadisnya, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Berpikirlah kalian tentang makhluk; jangan kalian berpikir tentang Al-Khâliq.” (H.R. Abû Nu‘aym dalam Al-Hidâyah)
Kenali Teladanmu
Setelah keimanan kita kepada eksistensi Al-Khâliq, akal kita juga memahami bahwa manusia pastilah butuh terhadap nabi/rasul. Hal ini bisa dipahami dari dua alasan:
Pertama, secara fitri, manusia butuh untuk menyembah apa yang dia akui sebagai Tuhan. Tata cara menyembah ini tentu tidak bisa ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena jika demikian, dia bisa jadi menyembah dengan cara yang tidak Tuhan sukai, akhirnya dia jatuh pada kesesatan. Jadi, tata-cara penyembahan mestilah datang dari Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, manusia membutuhkan nabi atau rasul untuk menjadi penyampai informasi bagaimana sesungguhnya Tuhan kita mau disembah.
Kedua, manusia tentu dalam kehidupannya butuh aturan. Dia butuh aturan bagaimana dia makan, apa yang baik dan buruk untuk dia makan, bagaimana dia berkeluarga, bagaimana dia bergaul di tengah masyarakat, bagaimana dia melakukan kegiatan ekonomi, juga bagaimana dia hidup dalam sebuah negara. Semua ini butuh aturan, dan jika aturan ini diserahkan pada manusia, tentulah akan mengantarkan pada perselsihan dan kerusakan. Perilaku mengumpulkan harta-kekayaan secara ilegal yang bisa merugikan pihak lain, pelacuran, dan homoseksualitas, hanyalah sedikit saja contoh dari perilaku destruktif akibat manusia mengatur dirinya sendiri.
”Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al Baqarah: 213)
Oleh karena itu, aturan-aturan di atas mesti datang dari Tuhan. Sebab, Tuhanlah yang paling mengetahui hakikat manusia. Oleh karena itu pula, manusia memerlukan contoh/teladan bagaimana dirinya memenuhi tuntutan-tuntutan di atas. Sampai di sini, rasionalitas akal kita akan membenarkan bahwa manusia memang membutuhan adanya nabi/rasul, sebagai representasi dari pelaksanaan aturan-aturan Tuhan dalam mengatur pemenuhan atas kebutuhan manusia.
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Kenali Alquran, Petunjuk Hidupmu
Keberadaan risalah yang dibawa oleh nabi/rasul tentu saja perlu diuji, sebab tidak sedikit manusia yang mengklaim dirinya nabi atau utusan Tuhan (nabi/rasul gadungan), mengklaim pula bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu.
Sebagai umat Nabi Muhammad saw., kita tentu saja berhak untuk menguji kebenaran risalah yang dibawa oleh beliau, yakni Alquran. Oleh karena Alquran secara faktual berbahasa Arab, maka ada tiga kemungkinan untuk menguji kebenaran Alquran bahwa ia memang benar-benar risalah yang langsung bersumber dari Allah. (1) Alquran adalah karangan bangsa Arab. (2) Alquran adalah karangan Nabi Muhammad, karena beliaulah yang membawanya. (3) Alquran adalah benar-benar firman Allah sebagai risalah yang langsung diberikan kepada pembawanya.
Kemungkinan pertama secara teologis terbantahkan. Sebab, Alquran sendiri dalam sejumlah ayatnya telah menantang orang-orang Arab untuk membuat karya yang serupa dengan Alquran, walaupun hanya satu surah saja. Secara historis, sejak Alquran pertama kali turun hingga detik ini, tantangan tersebut terbukti tidak pernah terjawab; tak ada seorang Arab pun yang mampu melakukannya.
“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13).
Kemungkinan kedua secara historis maupun didasarkan pada realitas empiris juga tidak terbukti. Sebab, Muhammad adalah bagian dari komunitas bangsa Arab juga. Betapa pun jeniusnya, ia tetaplah orang Arab, apalagi ia adalah seorang yang ummi. Oleh karena itu, hal yang rasional jika Muhammad tidaklah mungkin merupakan orang yang membuat Alquran.
Selain itu, kita mengetahui bahwa, di samping menyampaikan risalah Allah berupa Alquran, pada saat yang bersamaan Nabi Muhammad juga mengeluarkan banyak hadis, Akan tetapi, para pakar linguistik Arab maupun para sastrawan Arab, dengan mudah menemukan bahwa secara struktural maupun gaya penuturan, Alquran berbeda jauh dengan Hadis-hadis Nabi. Sementara tuduhan orang-orang kafir bahwa Alquran tidak lebih merupakan sesuatu yang disadur oleh Nabi Muhammad dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr, juga dibantah langsung oleh Alquran sendiri. Bukti-bukti empiris di atas sekaligus menafikan anggapan bahwa Alquran merupakan karya Nabi Muhammad, dan sekaligus menegaskan bahwa Muhammad betul-betul seorang nabi dan rasul Allah.
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata:‘Bahwasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab yang jelas” (TQS. An-Nahl [16]: 103).
Jika demikian realitasnya, berarti hanya kemungkinan ketigalah yang benar-benar valid dan bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional, yakni bahwa Alquran memang merupakan firman Allah yang disampaikan langsung oleh Diri-Nya kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril . Tidak ada kemungkinan lain di luar itu dilihat dari perspektif empiris bahwa Alquran itu berbahasa Arab. Kemungkinan di luar itu tak lebih merupakan ilusi atau fantasi belaka. Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memang tidak mau berpikir, atau memang orang yang tidak punya pikiran.
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan Kamilah yang akan menjaganya". (AL Hijr 15:9)
Konsekuensi Keimanan kepada Allah, Rasulullah, dan Alquran
Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa keimanan terhadap eksistensi Al-Khâliq (Allah), kebutuhan manusia akan nabi/rasul, dan juga kebenaran risalah-Nya (dalam hal ini Alquran), adalah bisa dibuktikan secara rasional. Dengan itu, siapa pun orangnya, selama ia memiliki akal (berapa pun kadar intelektualitasnya), pasti dapat memahami realitas ini dengan mudah.
Sebagai seorang Muslim setelah kita membuktikan keberadaan Allah, kebutuhan akan Rasul, dan kebenaran alquran, maka selanjutnya kita meyakini sepenuhnya informasi-informasi tentang hal-hal yang metafisis (gaib) — yang termasuk ke dalam Rukun Iman (Arkân al-Imân) — yang diberitakan oleh Alquran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw.
Alquran, misalnya, menginformasikan bahwa Tuhan yang telah kita buktikan eksistensinya oleh rasio kita adalah Allah; bukan Yahweh, Yesus, ataupun dewa-dewa yang ada dalam mitologi Hindu/Budha. Allahlah yang wajib disembah, bukan yang lain. Alquran menginformasikan bahwa malaikat itu benar-benar ada; bahwa ada para nabi/rasul yang sebelum Nabi Muhammad saw.; dan bahwa ada kitab-kitab lain yang turun jauh sebelum Alquran.
Alquran juga menginformasikan bahwa terjadinya hari kiamat adalah suatu keniscayaan, sama halnya dengan keniscayaan bakal adanya hari kebangkitan dan hari perhitungan; adanya surga dan neraka; adanya makhluk yang bernama jin, dan lain-lain yang memang diterangkan secara qath‘î (tegas). Di luar itu, Alquran banyak menuntut umat manusia untuk melaksanakan seluruh taklif (perintah dan larangan) yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Semua taklif tersebut mesti direalisasikan seluruhnya oleh umat manusia. Pengingkaran terhadap sebagian taklif, apalagi keseluruhannya, hanya merupakan pengingkaran dan pembangkangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, seluruh informasi dan taklif yang terdapat di dalam Alquran dan As-Sunnah, bukan saja harus diyakini, tetapi yang lebih penting adalah direalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia.
Dengan semua itu, Islam berarti telah memberikan jawaban yang benar-benar memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan hingga akhirnya menenteramkan jiwa. Dari konsepsi seperti itulah Islam kemudian menderivasikan aturan-aturan dan tata-cara hidup sebagai solusi atas seluruh problem yang dihadapi manusia di dalam kehidupannya. Dengan demikian, Islam sesungguhnya bukan sekadar keyakinan spiritual semata, tetapi ia adalah sebuah ideologi atau way of life.
“.......Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah meridhai Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS al-Maidah [5]: 3).
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [T. Al Maidah ayat 50].
Wallâhu a‘lam bish-shawâb.