Sunday, September 18, 2011

Materi Lingkar Kajian #2

Menggapai Keimanan Yang Hakiki

Sejarah manusia sesungguhnya tidak pernah sunyi dari para pencari Tuhan. Dengan dorongan religiositas (fitrah untuk beragama) dan juga spiritualitas, umat manusia selalu melakukan pencarian demi pencarian Tuhan Yang Sebenarnya. Bagi sebagian orang, agama menjadi jawaban. Namun demikian, sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, jauh sebelum tampilnya agama-agama formal (di luar Islam) ke permukaan, dunia telah diramaikan oleh para filosof yang selalu terlibat dalam diskursus ketuhanan (teologi); bahkan dalam wacana tentang asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi). Sebagian dari mereka benar-benar “menemukan” Tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam “igauan” yang tak jelas ketika mencoba memaksakan diri menjangkau esensi Tuhan yang sesungguhnya hingga tak sedikit yang masuk ke dalam perangkap ateisme.

Sementara itu, di kalangan sebagian kaum Muslim saat ini, keyakinan terhadap Allah masih saja dibungkus oleh hal-hal yang dogmatis dan irasional, ataupun hanya merupakan produk warisan turun-temurun. Kondisi ini sering melahirkan individu Muslim yang secara geneologis Islam (Muslim KTP), tetapi dari segi perilaku keseharian malah mengaburkan ajaran Islam. Paling banter, sebagai Muslim, mereka hanya menampilkan kesalihan simbolik dan artifisial. Sebab, di sini, kesalihan tidak lagi diukur oleh kerangka yang lebih substansial, yaitu syariat Islam sebagai sebuah totalitas.

Dalam konteks Islam, sikap keberagamaan demikian tentu saja kontraproduktif sekaligus kontradiktif terhadap semangat Alquran yang selalu memerintahkan manusia untuk mendasarkan keimanannya pada rasio (‘aql) dalam makna yang sesungguhnya; bukan sebatas dorongan intuisi keberagamaan saja, sebagai representasi dari fitrah beragama yang ada pada dirinya. Apalagi jika keimanannya hanyalah produk dari prasangka-prasangka Sebab keimanan (aqidah) itu itu sendiri, dalam Islam, sejatinya adalah “pembenaran yang pasti (tanpa ada keraguan sedikit pun), yang sesuai dengan realitas (bukan ide khayalan) yang didasarkan pada adanya bukti/dalil (baik dalil aqlî maupun naqlî).”

Oleh karena itu, hanya dengan menggabungkan keduanya, yakni religiusitas(fitrah keberagamaan)dan rasionalitas (pemikiran) — yang tentu saja harus berupa pemikiran yang tercerahkan (al-fikr al-mustanîr) — keimanan yang hakiki dan kokoh dapat diraih oleh manusia kepada Zat yang disebut Tuhan, yakni Allah SWT.

Pandangan Hidup Manusia

Perjalanan manusia di dalam realitas kehidupan ini akan selalu dikendalikan oleh suatu pandangan hidup yang diyakininya. Pandangan hidup manusia tentang dunia ini pada prinsipnya akan selalu terkait dengan tiga simpul besar yang beribu-ribu tahun silam dicoba dipecahkan oleh manusia. Simpul besar itu secara ringkas terkait dengan pertanyaan: (1) Darimana manusia berasal?; (2) Untuk apa manusia hidup?; dan (3) Akan ke mana manusia setelah mati?

Selintas, ketiga pertanyaan tersebut terkesan sangat sederhana. Akan tetapi, upaya pencarian jawaban dari ketiganya ternyata telah menguras tenaga dan pikiran banyak cendekiawan, filosof, ataupun ulama sejak lama. Mereka — baik hanya dengan mengandalkan kapasitas intelektual maupun spiritualnya, ataupun dengan melandaskannya pada “wahyu” dari Tuhan — telah berhasil memberikan jawaban atas ketiga persoalan mendasar itu; terlepas dari benar-tidaknya jawaban tersebut. Jawaban itulah yang sebetulnya menjadi pandangan hidup manusia, yang menjadi landasan (rel) bagi dirinya dalam menempuh perjalanan kehidupannya, dan sekaligus menjadi lokomotif yang menarik “gerbong” yang bernama manusia ke arah mana saja yang dia kehendaki.

Secara sederhana, ada tiga gagasan (ide) besar manusia yang memberikan jawaban yang berbeda terhadap ketiga pertanyaan di atas.

Pertama, ide yang meyakini bahwa kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya (serba kebetulan), dan bukan diciptakan dari ketiadaan. Manusia berasal dari materi dan akan kembali menjadi materi. Mereka tidak meyakini samasekali adanya Sang Pencipta. Tuhan, menurut mereka, hanya ilusi yang tidak layak dipercaya. Dengan menafikan eksistensi Tuhan, otomatis materi dianggap sebagai sesuatu yang azali. Oleh karena itu, tujuan utama manusia hidup pun mesti diorientasikan demi mencari kebahagiaan/kepuasan material di dunia ini. Dalam alam modern, pemahaman demikian direpresentasikan oleh mazhab sosialisme-komunis.

Kedua, ide yang meyakini bahwa seluruh kehidupan di dunia ini berasal (diciptakan) oleh Zat Yang Mahamutlak (Tuhan). Akan tetapi, Tuhan tak lebih dari sekadar “Pembuat Jam”. Ia hanya bertugas mencipta, tidak punya orotitas untuk mengatur dan mengendalikan dunia. Manusialah yang memiliki otoritas penuh untuk mengatur dunia dan dirinya sendiri. Di sini, manusia diposisikan sebagai “pusat”, sehingga segala sesuatu mesti dikembalikan pada kehendak manusia. Agama, dengan demikian, hanya mengisi salah satu ruang kosong yang ada pada batin manusia. Penganut ide ini berkeyakinan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan yang sepuas-puasnya di dunia (hedonisme). Mereka memang meyakini bahwa manusia akan kembali ke alam akhirat (kepada Tuhan). Akan tetapi, dimensi duniawi dan ukhrawi seolah tidak saling berhubungan. Pemahaman demikian, di alam modern ini direpresentasikan dengan baik oleh penganut mazhab kapitalisme-sekuler.

Ketiga, ide yang meyakini sepenuhnya Tuhan sebagai Sumber dari segala sesuatu. Manusia diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu, Tuhanlah Yang Azali, sementara selain Tuhan adalah fana. Tuhan juga memiliki otoritas penuh untuk mengatur dunia ini. Manusia hanyalah pelaksana dari aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan bagi dunia ini. Dengan demikian, di dunia ini tujuan utama hidup manusia harus diorientasikan semata-mata demi mengabdi (ibadah) kepada Tuhan. Bahkan, ibadah merupakan hakikat terpentingdari keberadaan manusia sebagai makhluk di hadapan Tuhan sebagai Al-Khâliq. Ketaatan atau pengingkaran terhadap kehendak Tuhan di dunia diyakini akan mendapatkan konsekuensi di akhirat (di samping di dunia ini). Dengan demikian, ada keterkaitan erat antara alam dunia dan alam akhirat. Pemahaman seperti ini bersumber sepenuhnya dari konsep Islam sebagai satu-satunya agama otentik — baik di masa lalu maupun di masa kini — yang bersumber dari Tuhan Yang Sebenarnya, yakni Allah swt. Inilah sesungguhnya pandangan yang benar karena ide ini adalah ide yang sesuai dengan fitrah manusia dan sesuai rasio (akal) yang berimplikasi pada akan melahirkan ketentraman dalam jiwa manusia.

Dari ketiga gagasan besar yang berbeda yang diberikan oleh masing-masing kelompok manusia di atas, kita akan melihat aturan-aturan hidup yang berbeda, yang merupakan derivasi (turunan) dari ketiga gagasan itu. Aturan-aturan itu secara niscaya akan menciptakan pola hidup (way of life) yang berbeda pula dari ketiga kelompok masyarakat penganut ketiga gagasan besar tersebut. Ringkasnya, kita akan menyaksikan perbedaan mendasar dari masing-masing kelompok masyarakat yang menganut cara hidup sosialis-komunis, kapitalis-sekuler, dan Islam.

Aqidah Islam

Konsepsi Islam meliputi aqidah Islam dan hukum-hukum syara’ yang berfungsi sebagai solusi atas berbagai problem kehidupan manusia; baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, seperti ibadah, dan hubungan manusia dengan sesamanya, seperti ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan dan politik luar negeri, maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti akhlak, makanan dan pakaian. Maka, selain hukum-hukum tersebut, aqidah Islam merupakan konsepsi Islam yang pertama dan sekaligus asas bagi konsepsi yang lain.

‘Aqîdah, dalam bahasa Arab, berasal dari lafadz ‘aqada-ya’qidu- ‘aqîdatan. Lafadz tersebut mengikuti wazan fa’îlatan, yang berarti ma’qûdah (sesuatu yang diikat) , sedangkan menurut istilah, Aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh (konsep holistik) mengenai manusia, kehidupan, serta hubungan di antara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan (syari’at dan hisab), yang dinyakini oleh kalbu (wijdân) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil.

Dalam konteks Islam, aqidah Islam bisa didefinisikan dengan pemikiran tentang adanya Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah, yang diyakini oleh kalbu (wijdân) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil.

Metode membangun keyakinan adalah melalui pembuktian terhadap realitas pemikiran (konsepsi) yang diyakini dengan dalil.

Hanya saja harus tetap difahami, bahwa konsepsi holistik tersebut telah memberikan batasan, bahwa aqidah merupakan pemikiran yang menyeluruh, bukan yang penting pemikiran. Sebab, pemikiran (konsepsi) tersebut ada dua; ada yang menyeluruh dan parsial. Demikian halnya dengan sifat “yang diyakini kalbu” adalah batasan, bahwa ada pemikiran yang diyakini kalbu dan tidak diyakini. Tentu saja pemikiran yang tidak diyakini kalbu tidak dapat dijadikan sebagai aqidah. Namun tidak hanya itu, sebab sifat “dan dibenarkan (diterima) oleh akal” sekaligus menguatkan penegasan berikutnya, bahwa ada pemikiran yang diyakini kalbu, tetapi tidak diterima oleh akal dan ada yang diterima. Maka, pemikiran yang diyakini kalbu tetapi tidak diterima oleh akal, karena kontradiksi dengan realitasnya, tentu tidak bisa dijadikan sebagai aqidah.

Dengan demikian, pada dasarnya aqidah merupakan keyakinan yang bulat, sesuai dengan realitas dan bersumber dari dalil, atau merupakan sesuatu yang diyakini oleh kalbu (wijdân) yang diterima oleh akal. Adapun sesuatu yang diyakin oleh kalbu, harus bersifat pasti dan tegas. Artinya, jika kalbu menyakini sesuatu bermakna A adalah A, dan bukan A dikatakan B, atau B dikatakan C. Inilah yang disebut pasti dan tegas. Namun jika kalbu yang membenarkan dengan bulat tersebut tidak bisa menemukan realitasnya, timbullah keraguan hingga akhirnya keyakinan tadi menjadi pupus dan hilang.Inilah yang dimaksud “sesuai dengan realitas” atau “diterima oleh akal”. Sebab, akal tidak akan bisa menerima sesuatu yang kontradiksi dengan realitas, atau realitasnya tidak ada. Inilah realitas aqidah.

Karena keimanan seorang muslim wajib 100% yakin, maka tidak ada taqlîd pada orang lain dalam

masalah keimanan ini. Karena itu, al-Ghazâli menyatakan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat tanpa hujah dan hal itu bukanlah jalan memperoleh keyakinan, baik dalam bidang aqidah maupun syariah.

Jika dalam masalah aqidah tidak ada taqlîd pada orang lain, maka setiap muslim wajib menggali sendiri aqidahnya. Karena itu, dia harus memahami dalil-dalil yang dapat digunakan, termasuk cara menggunakannya sehingga sampai kepada kongklusi yang diharapkan. Lahirnya aqidah yang teguh dan selamat dari cacat dalam diri tiap muslim adalah sebuah kewajiban. Dan inilah yang pertama kali harus diupayakan oleh seorang muslim yang mukallaf. Dalam konteks inilah, as-Syâfi’imengatakan

“Ketahuilah, bahwa kewajiban yang pertama kali bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat (mengenal) Allah SWT. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu. Dalam keadaan orang yang berfikir tersebut dituntut untuk mengenal Allah. Dengan cara seperti itu, dia mampu mencapai ma’rifat kepada hal-hal yang gaib dari pengamatannya dengan indera, dan aktivitas tersebut merupakan suatu kewajiban. Hal ini merupakan kewajiban dalam bidang ushuluddin.”

Lalu, bagaimana padangan Islam mengenai keimanan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah?

be continued…

0 comments: