NAMRU-2, Sebuah Intervensi Asing di Balik Lembaga Penelitian
Ah, akhirnya bangsa ini bersuara juga! Baru saja bangun dari tidur lelapnya, masyarakat –meski dengan tertatih-tatih dan perlahan, serta masih dalam keterkejutan atas fakta baru yang mereka ketahui—kian gencar menentang NAMRU, sebuah Lembaga Penelitian AS yang konon telah bertengger di bumi pertiwi ini selama 40 tahun lamanya. Sungguh, sebuah interval waktu yang terlalu lama bagi jutaan orang untuk terdiam, sepi, tanpa kata. Sebuah kejanggalan yang akhirnya berujung pada sebuah pertanyaan: apakah tidur lelap bangsa ini terjadi alami begitu saja , ataukah ada kesengajaan untuk sebuah tidur massal dari 200 juta orang Indonesia?
Lalu, apa yang tiba-tiba membangunkan masyarakat? Hingga mereka bisa begitu berani menentang NAMRU ini, dari kelas grass root yang dipromotori mahasiswa hingga tataran pemerintah? Benarkah berita tentang agenda terselubung yang ia miliki? Apa makna semua ini? Kawan-kawan ITB, ada apa sebenarnya dengan NAMRU?
Apa sih NAMRU itu?
Di tengah naiknya isu NAMRU di beberapa bulan terakhir ini, tentunya pasti masih ada segelintir orang yang bertanya dengan polosnya, “Apa sih NAMRU itu? “. Tak heran, dan justru untuk menjawab pertanyaan itulah tulisan ini hadir.
NAMRU-2 (The US Naval Medical Reseach Unit Two) merupakan sebuah lembaga riset yang berada di bawah otoritas Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia1). NAMRU tersebar di berbagai negara misalnya Mesir (NAMRU-3), Thailand, Kenya, dan Peru. Lembaga riset ini melakukan bertugas meneliti penyakit menular dan penyakit tropis, termasuk malaria, muntaber, AIDS, dan flu burung di Indonesia. Tentu dari sini ada banyak pertanyaan yang bermunculan: apa kepentingan di balik semua ini? Bagaimana bisa ada di Indonesia? Bagaimana dampaknya bagi bangsa Indonesia?
Pada awalnya, memang NAMRU diundang oleh pemerintah RI untuk mengatasi wabah samplar di Jawa Tengah (1968) dan wabah malaria di Papua (1970). Berkat penelitian dan solusi NAMRU, memang wabah samplar akhirnya bisa diatasi. Akan tetapi, pada kedatangannya yang kedua kali, NAMRU hadir di negeri ini dengan membawa sebuah MoU yang ditandatangani Siwabessy (Menkes AS) dan Francis Galbraith (Dubes AS). Melalui MoU inilah, NAMRU-2 berdiri dan terus melakukan penelitian di Indonesia, meski tidak ada wabah baru yang signifikan atau bahkan saat ini ketika kontrak kerjasama telah habis.
Berbagai Kejanggalan dari Sebuah Lembaga Penelitian
Pertama, inferioritas kewenangan pemerintah RI atas NAMRU-2. Kendati berada di atas lahan milik DepKes RI, di daerah Rawasari, Jakarta, pemerintah RI sejatinya tidak memiliki gigi sama sekali atas pengaturan dan pemantauan riset yang ada di NAMRU-2 ini. Belum ada regulasi resmi dari pemerintah yang bisa diberikan dan membatasi aktivitas di NAMRU-2 ini. Alih-alih itu, pada 1987 NAMRU justru membuat lab riset di Jayapura. Bahkan, status NAMRU-2 di Indonesia dinaikkan ketika NAMRU di Filiphina ditutup, atas legitimasi WHO yang menunjuk NAMRU-2 sebagai basis riset kesehatan Asia Tenggara, sekali lagi tanpa kekuatan kebijakan Indonesia.
Kedua, status kekebalan diplomatik yang dipertanyakan. Pada tahun 2008, Wiranto pernah berkoar-koar mempertanyakan status 23 peneliti AS yang memiliki kekebalan diplomatik. Mereka dengan bebasnya keluar masuk negeri ini atas nama urusan diplomatik, tanpa pemeriksaan. Jelas hal ini membahayakan pertahanan dan keamanan Indonesia.
Ketiga, ketidaktransparansian hasil riset. Hal ini sudah menjadi isu umum dan membuat NAMRU-2 jumpalitan menjawab pertanyaan publik mengenai hasil riset selama 40 tahun ini. Ya, selama ini NAMRU memang sama sekali tidak mempublikasikan hasil-hasil temuannya sama sekali, ke DepKes sekalipun. Jika memang atas dasar kerjasama kedua negara, bukankah timbal balik informasi sudah menjadi harga mutlak?
Keempat, kaitan erat NAMRU-2 dengan Protokol Verifikasi Konvensi Senjata Biologi. Dalam suratnya kepada Presiden BJ Habibie, Menlu Ali Alatas menjelaskan bagaimana Indonesia dibebani oleh protokol ini, terutama dalam hal deklarasi dan investigasi yang ditetapkan areanya sebesar 500 km2, padahal NAMRU-2 berada di tengah kota Jakarta.
Saatnya Introspeksi , Berbenah Diri, dan Bergerak!
“Ini bukan sekedar masalah kesehatan. Ini juga menyangkut masalah wilayah penyebaran dan masalah yang semakin kompleks. Bangsa ini harus kembali belajar untuk bersatu, disiplin dan bertindak cepat mencari jalan keluar”, ujar Siti Fadilah Supari dalam bukunya Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Pascaaksinya yang menghebohkan dunia internasional dengan membongkar kejanggalan penanganan kasus virus H5N1, kini Bu Menkes menjadi gerah dan tidak bisa tinggal diam melihat kejanggalan NAMRU-2. Dan memang, naik daunnya isu ini berawal dari aksi bu Menkes ini yang gencar berbicara di publik.
Sedikit Analisis
Fenomena NAMRU-2 ini mengindikasikan lemahnya kebijakan polugri (Politik Luar Negeri) bangsa ini dan mengakibatkan tergadainya kedaulatan Indonesia. Seharusnya, jika memang NAMRU-2 didirikan atas dasar kerjasama bilateral, maka akan ada hubungan take and give yang terjalin. Namun pada faktanya tidak sama sekali. Indonesia hanya diam, tak memiliki otoritas apa-apa. Bahkan seorang Menteri Kesehatan pun sangat sulit untuk bisa masuk dan melihat aktivitas riset di NAMRU ini.
Di sisi lainnya, NAMRU-2 harus diwaspadai oleh semua kalangan termasuk kita sebagai mahasiswa. Di balik ketidaktransparansian riset terdapat indikasi adanya kepentingan dan agenda terselubung. Bayangkan , dengan program NAMRU ini, AS memiliki data base penyakit berbahaya di Indonesia (dan juga di berbagai belahan dunia lainnya, mengingat NAMRU tersebar di berbagai negara strategis). Benar kata Bu Siti, ini bukan lagi permasalahan kesehatan. Ini adalah permasalahan pertahanan negara kita! Ini bisa dilihat bagaimana dalam kunjungan MenKes RI ke Amerika yang dipertemukan dengan Menteri Pertahanan Keamanan AS, bukan Menteri Kesehatan AS. Artinya, AS memiliki agenda/kepentingan mengenai pertahanan keamanannya.
Hei Guys, What Should We Do?
Dari peristiwa ini, sebuah pengopinian dan pencerdasan publik perlu dilakukan. Cukup sudah masyarakat terdiam selama ini. Selain itu, kita perlu meninjau kembali makna dari riset dan penelitian yang dilakukan selama ini. Sebagai civitas akademik, tentu kita tahu bagaimana peran riset seharusnya ditujukan untuk membangun bangsa, bukan untuk kepentingan kelompok/negara tertentu. Dari sini, kita juga bisa memproyeksikannya pada peneltian-penelitian yang ada di kampus kita ini. Seberapa banyak di antaranya yang mengarah pada problem solving permasalahan masyarakat ataukah lebih banyak untuk kepentingan asing yang mendanai riset-riset tersebut?
Selanjutnya, kita perlu menghimbau pemerintah untuk meningkatkan keberanian yang lugas dan tegas terutama dalam kebijakan Polugri. NAMRU-2 tentu tidak bisa terus berjalan jika pemerintah memiliki bargaining position yang kuat sehingga kedaulatan negeri ini tidak lagi tergadaikan.
Potret Sejarah, Teladan Gratis bagi Indonesia
Miris sekali rasannya jika melihat bangsa ini, tidak hanya SDA, tidak hanya SDM, bahkan kedaulatan dan harga diri bangsa pun yang tergadaikan. Tampaknya Indonesia perlu belajar. Indonesia perlu berbenah. Penelitian strategis perlu diberi atensi lebih. Kekuatan polugri perlu ditinjau kembali.
Jika berkaca pada sejarah, kita bisa melihat sebuah contoh yang jauh berbeda dengan apa yang diterpakan oleh Daulah Khilafah Islamiyah selama 13 abad. Riset/penelitian dan perkembangan teknologi mendapatkan dukungan yang besar dari Daulah Khilafah. Riset ditujukan untuk kemaslahatan ummat bahkan penduduk dunia sekalipun. Jika, AS saat ini melakukan penelitian untuk kemanfaatan tertentu, penelitian daulah Khilafah Islamiyah kala itu justru berkontribusi positif pada dunia. Sebut saja Avicenna (981-1037 M) yang dielu-elukan para ilmuwan barat di bidang kedokteran, tak lain adalah Ibnu Sina yang mengeluarkan mega karyanya, Qonun (Canon) tentang perawatan penyakit jantung.
Kontribusi riset pada zaman Daulah Khilafah Islam lainnya antara lain: anatomi (Mansh Ibn Muhammad), fisiologi (Ibn Nails al-Qarshi) yaitu mengenai teori sirkulasi darah minor, 3 abad sebelum William Harvey yang diklaim dunia sebagai pengagas teori tersebut, atau pada bakteriologi (Ibnu Sina, Ibn Khuatimah). Abul Hasan, dokter dari Adud al-Daulah memperkenalkan proses pendarahan sebagai metode penanganan cerebral haemorrage (pendarahan otak). Riset fundamental dan orisinal juga bisa kita lihat pada kitab al-Tsarif oleh Abdul Hasim al-Zahrawi mengenai teknik bedah tengkorak, dan masih banyak riset lainnya. Tak hanya itu, tingginya atensi pemerintahan daulah khilafah Islam akan kesehatan ummat dapat dilihat dari begitu banyaknya rumah sakit yang dibangun pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad. Model rumah sakit daulah khilafah Islam pada abad 14 ini menginspirasikan model-model rumah sakit di daerah lain, khususnya Italia dan Prancis, pasca perang Salib (Shahib al-Kutb, 2002. Science and Islam. London: Khilafah Publication).
Begitu pula dengan penjagaan kedaulatan negara, daulah khilafah islamiyah berhasil menunjukkan bagaimana ia disegani oleh negeri-negeri lain di dunia kala itu. Jika pemerintah saat ini hanya diam menyaksikan NAMRU-2 bercokol selama 40 tahun lamanya, maka beda dengan apa yang dikatakan Sultan Abul Hamid 2 yang dengan lugas menolak Israel yang membujuknya untuk menjual tanah Palestina.
Sahabat, NAMRU-2 kiranya bisa menjadi bahan perenungan dan bukti yang bisa membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan negeri ini. Sebuah keheningan publik selama 40 tahun tampaknya cukup memberikan bukti otentik bagaimana Indonesia benar-benar dalam intevensi asing, yang kali ini berkedok lembaga penelitian. Hal ini harus berubah. Siapa lagi yang merubahnya kalau bukan kita? Okey, Bu Siti Fadilah Supari bisa menjadi teladan dari sisi keberaniannya membongkar fakta-fakta. Namun, ia tidak bisa sendiri. Ia membutuhkan kita. Ia membutuhkan mahasiswa! Kita perlu mencerdaskan dunia, kawan-kawan!
Pertanyaannya adalah, dengan apa kita merubah Indonesia yang lemah menjadi Indonesia yang superpower? Islam telah memberikan bukti empirik pada saat penerapan Islam komprehensif di bawah naungan daulah Khilafah Islamiyah dengan wilayah 2/3 dunia, bahkan menjadi peradaban teladan sepanjang masa. Lantas, mengapa tidak kita coba membangun Indonesia dengan Ideologi Islam?