Friday, April 11, 2008

Diary HATI #5

Kaleidoskop Mahasiswa, Dulu dan Sekarang

10 tahun lalu, dunia menjadi saksi tumbangnya rezim otoriter sangat represif yang telah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Jangan pernah anggap remeh kekuatan rezim ini, karena pilar-pilar penyokongnya tidak hanya tertancap di nusantara, namun bercokol dii seantero dunia. Siapa yang menyangka kekalahan diktatorian ini sedikit banyak dipicu ‘hanya’ oleh aksi yang dimotori mahasiswa? Namun begitulah faktanya. Mahasiswa berhasil mendobrak gerbang reformasi.

30 tahun lalu. 1977, satu sejarah yang tak banyak diketahui dunia. Penyerbuan kampus-kampus di Indonesia, termasuk ITB. Tak tanggung-tanggung, tentara yang ditugaskan ‘membersihkan’ kampus adalah Kodam VIII Brawijaya, suatu ‘pasukan perang’ yang baru saja pulang bertugas dari Timor Timur. Terlihat bahwa gerak represif pemerintah terhadap kampus disebabkan aksi terlalu peduli mahasiswa dalam mengkritisi pelaksanaan pemilu ketiga di Indonesia saat itu.

Saat itu mahasiswa dikenal sebagai satu strata di masyarakat yang mampu menunjukkan taringnya melawan represivitas rezim, membela satu nilai idealitas dan menyuarakan kebenaran.

Namun..

Tahun 2000, ITB memulai program separuh BHMN sebagai kampus pertama yang melakukan langkah awal BHMN-isasi kampus se-Indonesia. Sesuatu yang jelas termasuk langkah-langkah privatisasi pendidikan yang merugikan masyarakat. Mahasiswa diam.

Tahun 2006, tambang minyak baru nan melimpah ruah ditemukan di Cepu, namun entah mengapa, pengelolaan (baca:pemanfaatannya) harus mengikuti perbandingan 45:55 antara Pertamina dengan Exxon Mobil milik AS. Mahasiswa bungkam.

Tahun 2008, masalah BLBI mencuat kembali. Tak tanggung-tanggung, negara merugi 400 trilyun lebih! Selain itu, juga tersiar kabar rencana swastanisasi PLN ditengah kondisi masyarakat yang kian sulit, terbukti dengan kasus kelaparan yang terjadi di Makasar. Mahasiswa kembali tenggelam. Arus mahasiswa yang bergerak lebih kecil dibanding arus mahasiswa yang lebih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Lalu Kita?

Kawan, aku hanya mencoba menuliskan kembali serentetan peristiwa yang pernah terjadi, dan membandingkannya dengan keadaan kita saat ini.Aku gelisah. Persoalannya adalah, cukup pedulikah kita melihat ketidakpedulian mahasiswa?! Tidak hanya di ITB, tapi juga di pelosok kampus seantero tanah air. Pedulikah kita melihat tingkat ‘kepedulian’ mahasiswa terhadap masyarakat yang makin tereduksi, dan hanya menyisakan sedikit rasa peduli dalam diri sendiri?! Atau justru saat ini kita tengah terbuai menikmati dan ikut ambil bagian dalam komunitas ini?! Komunitas yang siklus berpikir dan bertindaknya beriorientasi hanya pada profit. Pada keuntungan. Pada nilai tanpa makna. Komunitas yang sepakat bahwa ‘kuliah’ adalah perdagangan, bisnis. yang keuntungannya akan dipetik ketika telah bekerja pada perusahaan-perusahaan bonafid dengan gaji puluhan juta rupiah.

Jika pola berpikir seperti itu telah mengakar urat pada mahasiswa negeri ini, wajar jika kehidupan kampus hanya diisi kegiatan ‘belajar’ dan ‘bersenang-senang’, yang diakhiri dengan pencarian koneksi untuk menemukan ‘lapangan pekerjaan’. Selesai. Sedikit sekali esensi yang dapat diambil apalagi dirasakan oleh masyarakat. Lantas kalau begitu, apa bedanya kampus kita ini dengan lembaga kursus, yang khusus mencetak karyawan-karyawan professional?! Murni knowledge transfer, tanpa value.

Kawan, kampus bukan sekedar wahana untuk mempelajari kalkulus, fisika, kimia, sistem utilitas, termodinamika, dsb. Tidak hanya itu. Namun lebih dari semuanya, kampus merupakan wahana untuk mempelajari kehidupan. Mempelajari masyarakat, dan mengaplikasikan segala macam ‘ilmu’ yang kita dapat di kelas ke dalam kehidupan kita, Masih ingat saat OSKM dulu?! Sering sekali dikumandangkan bahwa kita adalah segelintir orang yang beruntung dapat merasakan status dan fasilitas intelektual sebagai mahasiswa. Kita-lah orang-orang yang beruntung berstatus mahasiswa ITB dibadingkan 238 juta penduduk Indonesia. Kita-lah tumpuan harapan masyarakat untuk mengatasi segudang masalah yang tengah merajalela! Kita! Bukan orang lain! Wajar bukan jika kukatakan kita punya kewajiban untuk menolong masyarakat, dan meningkatkan kemajuan peradaban manusia. Setuju denganku?!

Persoalannya, apakah mungkin kita mengatasi permasalahan masyarakat jika kita tidak pernah peduli dengan itu semua? Tidak pernah peduli dengan akar permasalahan masyarakat? Atau bila kita hanya melulu disibukkan dengan ‘karir akademik’ ditambah mimpi ‘karir bonafid’ di masa depan?

Apa, Mengapa dan Bagaimana..

Kawan, ‘Ilmu’ yang kita pelajari setengah mati selama 4 tahun di kampus ini bukanlah segalanya. Ia hanya berperan sebagai tools. Alat. Kita-lah yang menentukan, digunakan untuk apakah alat itu. Tak jauh berbeda halnya seperti pisau tajam, yang dapat digunakan untuk membunuh orang atau sekedar untuk memotong kentang.

Setajam apapun alat yang kita miliki tidak akan berarti apapun jika kita tidak tahu cara penggunaannya. Jika kita hanya memfokuskan pencapaian diri kita pada penguasaan ilmu itu saja, tanpa memahami esensi dan filosofi ‘akan digunakan untuk apa ilmu ini’, nothing’s we get! Orang lain yang akan mengarahkan kita, dan kita akan selalu menjadi ‘pekerja’. Mungkin memang kita akan mendapat gaji puluhan juta dari Caltex atau Schlumberger, tapi benarkah hanya materi yang kita cari?! Bukankah Allah sendiri telah menawarkan surgaNya yang seluas langit dan bumi? Dan ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir pahalanya, selamanya.

Kawanku Mahasiswa ITB, aku yakin, kita semua telah cukup dewasa untuk memahami esensi penciptaan diri kita. Tak perlu lagi dibahas panjang lebar bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepadaNya bukan?! Aku pun yakin, bahwa kawan semua telah menyadari bahwa saat ini masyarakat tengah berada dalam keadaan terpuruk. Sakit secara multidimensional. Masalah publik bangsa tidak bisa diselesaikan dengan baik dan menyebabkan penderitaan disana sini. Pendidikan, kesehatan, energi dan listrik, pelayanan umum, ekonomi, dan masih banyak lagi masalah yang melingkupi masyarakat. Ketidakadilan terjadi dimana-mana, dan rakyat tidak dapat berbuat apa-apa melihat kekayaan alam negerinya dirampok tangan-tangan asing yang merajalela. Mengalirkan air mata penderitaan.

Kawanku mahasiswa ITB, tidak dapat dipungkiri, posisi kita sebagai manusia yang diamanahi kecerdasan dan intelektualitas tinggi ditambah dengan status mahasiswa di Institut ternama yang ‘didengar’ di negeri ini memiliki kekuatan tersendiri.

Masyarakat membutuhkan kita, kaum intelektual yang akan menyelamatkan dan memperbaikii peradaban. Bukan intelektual mahacerdas yang terpenjara dalam kenikmatan gelimang gajji sekian-sekian, atau hasil penelitian ‘yang dipesan’ dan hanya teraplikasi oleh asing tanpa mengakomodir kepentingan masyarakat.

Rakyat membutuhkan kita, sekarang! (hasna)

0 comments: