Friday, August 1, 2008

Jaring FH #2

Krisis Listrik dan Privatisasi Listrik

Ancaman krisis listrik

Wilayah Pulau Jawa dan Bali terancam krisis listrik. Penyebabnya antara lain karena kurangnya pasokan bahan bakar minyak ke PLN. Untuk menandai terjadinya krisis listrik ini, PLN mengadakan “Pemadaman listrik bergilir”. Masyarakat terutama kalangan industri kini dihantui oleh fenomena pemadaman listrik tersebut. Isu lain yang juga disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya krisis listrik adalah kelemahan perencanaan energi Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah memiliki banyak kelemahan, bersifat parsial, dan tak dilakukan secara komprehensif. Isu ini muncul dari keraguan akan alasan kurangnya pasokan bahan bakar, padahal Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alamnya.

Namun berdasarkan penuturan WaPres, penyebab utama krisis adalah lonjakan kebutuhan konsumsi listrik di masyarakat dan pengusaha. Sementara sejak tahun 2000 tidak ada persiapan pemerintah dalam bentuk membangun pembangkit listrik baru. WaPres menyebutkan bahwa krisis ini diakibatkan faktor-faktor seperti cadangan kecil, konsumsi tinggi, serta adanya cuaca jelek. Cuaca jelek mengakibatkan keterlambatan pasokan bahan bakar bagi pembangkit listrik. Hal ini setidaknya dialami oleh PLTU Cilacap.

Langkah yang diambil pemerintah dalam menangani krisis listrik

1. Proyek pengadaan pembangkit listrik 10ribu MW.

Proyek ini digojlok oleh pemerintah sejak dua tahun lalu dan ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2009. Semua pembangkit listrik baru tersebut akan menggunakan gas dan batu bara sebagai bahan bakar.

Menurut Dirut PLN Fahmi Mochtar, proyek ini akan menjadi jawaban mengatasi krisis kelistrikan yang terjadi saat ini. Proyek 10.000 MW ini akan menutupi kekurangan tambahan daya pembangkit yang terhambat pembangunannya akibat krisis ekonomi lalu. Proyek ini juga dapat mengatasi ketimpangan antara harga penjualan listrik yang hanya Rp626,86 per kWh dengan biaya produksi Rp1.304 per kWh.

Tingginya biaya produksi ini dikarenakan ketergantungan porsi BBM dalam bauran energi primer pembangkit masih tinggi, yakni mencapai 34 persen, namun menghabiskan biaya hingga 78 persen. Dengan dibangunnya proyek 10.000 MW, maka porsi BBM dalam bauran energi tinggal tiga persen yang juga menurunkan konsumsi biaya menjadi hanya 13 persen.

Sebaliknya, porsi batubara pada 2010 akan mendominasi bauran energi primer pembangkit yakni mencapai 67 persen dengan biaya 51 persen.

Rencana pembangunan proyek ini adalah 10 persen penyelesaian tahun 2009, 80 persen 2010, dan 100 persen tahun 2011.

Saat ini, status 10 proyek yang berada di Jawa, adalah sembilan proyek berdaya 6.672 MW sudah menjalani tahap konstruksi dan satu proyek berdaya 600 MW berupa persiapan tender ulang. Status proyek di luar Jawa ada 30 lokasi, sebanyak 18 proyek berdaya 1.506 MW telah menandatangani kontrak pembangunan, tujuh proyek 449 MW telah menandatangani "letter of intent" (LoI), dan lima proyek lainnya 304 MW masih persiapan tender.

Tahun 2009, proyek 10.000 MW yang dijadwalkan beroperasi yakni PLTU Indramayu, Jabar, PLTU Rembang, Jateng, dan PLTU Labuan, Banten.

Masalah yang muncul akibat dari adanya proyek ini diantaranya lamanya waktu jadi proyek sedangkan krisis saat ini sudah melanda. Selain itu, dapat terjadi tumpang tindih lahan terutama dengan lahan hutan. Masalah lainnya yaitu pencairan pendanaan sampai infrastruktur pengadaan batubaranya seperti pelabuhan dan jalan. Untuk mengatasi masalah teknis ini juga dibutuhkan waktu yang panjang.

2. Pemadaman Listrik.

Pemadaman listrik ini merupakan solusi jangka pendek yang dilakukan oleh pemerintah (PLN) sampai negara dapat menangani krisis listrik tersebut. Namun sayangnya, langkah ini dapat membawa dampak menurunnya produktivitas sehingga menganggu pertumbuhan ekonomi.

Pemadaman listrik dianggap sebagai salah satu jalan untuk melakukan pengendalian beban. Total daya pembangkit di seluruh Indonesia saat ini mencapai 29.705 MW, yang terdiri dari Jawa-Bali 22.302 MW dan luar Jawa-Bali 7.403 MW. Sebanyak 24.856 MW di antaranya merupakan milik PLN dengan komposisi Jawa-Bali 19.283 MW dan luar Jawa-Bali 5.573 MW. Sedang, sisanya milik swasta. Beban puncak di Jawa Bali kini sudah mencapai 17.000 MW. Artinya, dengan daya terpasang 22.000 MW, maka cadangan daya pembangkit hanya tersisa 5.000 MW atau hanya sekitar 20 persen. Padahal, suatu negara idealnya memiliki cadangan minimal 30 persen.

Keterbatasan daya pembangkit yang terjadi sekarang ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi pada 1998 lalu. Sejak krisis bermula sampai saat ini, pembangkit yang dibangun PLN hanya sekitar 3.000 MW, sementara permintaan listrik mencapai 3.000 MW per tahun. Pemerintah baru berpikir membangun pembangkit pada 2005 melalui program percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW dan sejak 2006 dilaksanakan pembangunannya.

3. SKB lima menteri.

Pemerintah tengah menggodok surat keputusan bersama penghematan energi yang ditandatangani lima menteri yakni Menperin, Menneg BUMN, Menteri ESDM, Mendagri, dan Menakertrans. Inti SKB adalah mengalihkan sebagian jam kerja industri saat puncak pemakaian listrik Senin-Jumat ke Sabtu-Minggu atau hari libur yang terdapat kelebihan 1.000-2.000 MW.

Analisis dan Solusi dari Faisal Basri

Menurut Faisal Basri, krisis listrik sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari, apalagi mengingat Presiden SBY pernah menjadi menteri pertambangan. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bukan wajah baru di pemerintahan. Purnomo Yusgiantoro sudah lebih dari sewindu menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya, ia terlibat dalam penyusunan kebijakan dan bahkan dalam penyiapan proyek pembangkit listrik. Yang pasti, dalam proyek Pembangkit Listrik Geotermal Karaha Bodas. Para pejabat ini tentunya sudah mengenal dengan baik kondisi perlistrikan di Indonesia. Namun seringkali penentu kebijakan ini malah terseret dalam masalah atau bahkan membat masalah dikarenakan masalah benturan kepentingan. Menurutnya, cara-cara yang ditempuh oleh penguasa sudah sedemikian sangat vulgar, baik dalam mendudukkan orang-orang terdekat di jajaran direksi dan komisaris maupun ”intervensi” dalam proses tender proyek pembangkitan ataupun pengadaan.

Krisis listrik ini tentu saja memiliki efek baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka pendek, krisis listrik akan memperparah persoalan dunia usaha. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meredam semaksimal mungkin dampak negatif bagi perekonomian.

Rencana pengalihan hari libur bagi industri sepatutnya dipertimbangkan dengan matang mengingat setiap industri atau usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sedemikian beragam perbedaan dari satu ke lain industri sehingga pengaturan atau regulasi yang cenderung menyamaratakan bisa berakibat sangat kontraproduktif. Sebaliknya, jika pengaturan sangat rinci sehingga mengakomodasikan ciri-ciri khas setiap industri, niscaya efektivitas pengaturan akan sangat rendah.

Cara yang lebih baik ialah dengan menerapkan mekanisme insentif harga. Selanjutnya PLN berdialog dengan kalangan dunia usaha untuk mengetahui pola reaksi atas struktur insentif yang ditawarkan. Jika hasil dari mekanisme ini kurang memadai, baru diajukan instrumen yang lebih keras berupa penalti atau disinsentif.

Seandainya masih perlu langkah tambahan, barulah dilakukan seleksi industri yang akan didorong untuk melakukan perubahan waktu operasi. Kriteria yang digunakan harus jelas. Prioritas pertama yang harus diatur adalah usaha yang memicu konsumerisme. Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan besar dan hiburan tutup selama dua hari secara bergantian. Sebagai kompensasi, pada hari Sabtu dan Minggu mereka boleh beroperasi hingga larut malam.

Privatisasi Listrik

Masalah BUMN, termasuk itu listrik (PLN) di dalamnya tidak terlepas dari privatisasi. Salah satu kasus privatisasi listrik adalah pengusaha nasional Chairul Tanjung, melalui Grup Para, yang mulai merambah bisnis pembangkitan listrik. Bersama PT Pertamina, kelompok bisnis tersebut berencana membangun tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) senilai US$1,5 miliar dengan dana yang akan dihimpun dari masyarakat melalui Infrastructure Fund.

Ketiga pembangkit listrik itu adalah Kamojang Unit VI (Jawa Barat), Ulu Belu Lampung, dan Sumatra Selatan dengan total kapasitas yang akan dibangkitkan mencapai 1.060 MW. Bisnis pembangkit listrik ini dipercaya sebagai upaya mengembangkan energi alternatif sekaligus mendapatkan pasar yang cukup besar saat ini.

Harga yang ditawarkan oleh perusahaan patungan Grup Para & Pertamina kepada PT PLN sebagai pembeli adalah US$0,045-US$0,05 per kWh. Harga tersebut mirip dengan harga jual PLTP Darajat di Tasikmalaya, Jabar, yang dijadikan harga patokan penjualan listrik dari pembangkit panas bumi.

Kasus lain adalah kasus yang terjadi pada PLTU Paiton Unit 3 dan 4. Sebenarnya disain awal PLTU Paiton unit #1 s/d #4 merupakan satu paket yang terintegrasi di satu lokasi, baik sarana prasarana maupun kelengkapannya yang notabene semuanya milik PT PJB. Dari fakta ini saja, mestinya pembangunan PLTU Paiton #3 dan #4 diserahkan kepada PT PJB. Tapi, itu tidak dilakukan. Pemerintah kini justru sedang melakukan tender terbatas untuk membangun PLTU tersebut. Anehnya, tender itu hanya diikuti oleh PT Paiton Energy (PT PE) dan PT Jawa Power yang keduanya milik swasta asing, sedang PT PJB yang resmi dan legal mempunyai lahan dengan segala kelengkapan fasilitas pendukung (seperti: Chlorination Plant; Water Treatment Plant; H2 Plant; Coal Handling double conveyor yang membentang dari coal jetty sampai tripper unit 1,2 dan 3,4.; Ship unloader; Oil Jetty; Stock pile & reclaimer hopper.; Intake tunnel termasuk adanya Bus Transmission line 500 kV pada GITET Paiton untuk unit #3 & #4) justru tidak diikutsertakan. Semua aset menjadi aset PT PJB yang bernilai hingga Rp 2,50 trilliun. Artinya, secara teknis PT PJB yang notabene anak perusahaan PLN adalah perusahaan yang paling siap untuk membangun PLTU Paiton unit 3 dan 4.

Sebenarnya usaha menuju privatisasi sektor kelistrikan ini telah berlangsung cukup lama. Itu semua secara yuridis dituangkan dalam UU Kelistrikan. Dengan usaha gigih melalui judicial review, UU itu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bila tidak dibatalkan, sekarang ini, ungkapnya, mungkin sudah banyak pembangkit yang dijual kepada swasta. Bukan hanya itu, di sektor ritel (penjualan listrik ke konsumen) juga mungkin sudah dilakukan oleh swasta. Tapi, meski sudah UU sudah dibatalkan, gagasan privatisasi masih saja terus ada. Sekarang ini tengah dibangun sejumlah pembangkit listrik swasta. Menjelang tahun 2010 nanti, Jawa Bali diperkirakan akan kelebihan pasokan listrik hingga 6000 MW. Pada beberapa tahun mendatang, pembangkit swasta akan lebih dominan ketimbang PLN sehingga mereka akan sangat berperan dalam penentuan tarif listrik.

Berikut ini ada beberapa pendapat terhadap status sektor kelistrikan :

1. Monopoli negara.

Bila sektor kelistrikan dimonopoli negara seperti yang terjadi selama ini, PLN sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mengelola kelistrikan dapat seenaknya menentukan harga dasar listrik per kwh (kilo watt per hour) tanpa ada pilihan bagi konsumen.

2. Privatisasi.

Sebaliknya bila diprivatisasi, listrik sebagai hajat hidup orang banyak akan ditentukan pemodal.

Di sektor kelistrikan, peranan negara tidak dapat disangkal masih dibutuhkan. Besarnya ketimpangan infrastruktur antarkawasan (Barat dan Timur) Indonesia, diharapkan intervensi dominan pemerintah. Pemerataan hasil pembangunan dapat diukur melalui pemerataan penyediaan energi listrik hingga ke pelosok negeri.

Posisi dilematis PLN sebenarnya berpangkal pada pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2002 yang disahkan 23 September 2002. UU itu bertentangan secara substansial dengan UUD 1945. Berbeda dengan aturan kelistrikan; UU No. 15 Tahun 1985 yang masih memuat semangat UUD 1945 yang mengakui kepemilikan oleh negara (state ownership), sedangkan UU No. 20/2002, pemilik modal asing dibolehkan melalui pintu kompetisi dan swastanisasi.

Berbeda dengan di Cile, yang telah melakukan privatisasi listrik sejak 1988. Indonesia melakukan korporatisasi listrik pada 1995 dan restrukturisasi pada1998 oleh PLN. PLN sebagai hasil dari proyek nasionalisasi dari perusahaan Belanda pada tahun 1960-an sebelumnya bernama Jawatan Listrik dan Gas, kemudian berubah menjadi Perum (1970-an) hingga perusahaan terbatas (PT).

Saat ini konsumen listrik banyak mengharapkan pilihan penyediaan energi listrik di luar PLN. Pelayanan yang kurang maksimal PLN menjadi alasan umum yang banyak dijumpai di masyarakat. Ketiadaan pilihan (no choice) menyebabkan ketiadaan alternatif sehingga konsumen listrik menggantungkan harapan akan perlunya privatisasi penyediaan energi listrik akibat pelayanan PLN yang banyak dinilai kurang maksimal.

Tak dapat disangkal, fungsi sosial PLN selama ini juga cukup membantu masyarakat ekonomi lemah melalui pemakaian 450 watt.Pilihan privatisasi listrik sebenarnya membawa dilema yang besar. Di saat negara masih krisis, pemerintah yang korup dan swasta yang culas, privatisasi berpotensi mendatangkan masalah baru dalam konstelasi ekonomi-politik di Indonesia.

Sebagai perbandingan, proyek Paiton dengan nilai investasi $US 2,5 miliar, di mark up sedemikian rupa sehingga terjadi penggelembungan dana hingga $US 700 juta.

Selain itu, terdapat kontrak Power Purchasing Agreement (PPA) yang tidak imbang antara PLN dengan swasta. Sering kerusakan pada transmisi yang dikelola PLN dikategorikan sebagai bukan force majeur. Sebaliknya, apabila ada pembangkit milik swasta yang rusak dikategorikan sebagai force majeur.Kondisi ini mencerminkan bahwa terdapat kendala legal formal untuk mewujudkan privatisasi kelistrikan. Masih terdapat pertentangan antara pihak yang pro dan kontra privatisasi listrik.
Peraturan dan perundangan-undangan kelistrikan yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2002 memungkinkan listrik diprivatisasikan. Namun aturan konstitusi lebih tinggi kedudukan hukumnya dibandingkan UU. Sementara itu, arus tuntutan ke arah privatisasi semakin kuat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang melek pengetahuan.

Pertentangan menyangkut tafsiran konstitusi pada akhirnya harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. Penguasaan pemodal terhadap energi listrik komersial dimulai sejak 1882 di New York dan London. Kemudian pada 1886 di Tokyo, Berlin dan Paris.

Kasus California dapat menjadi pengalaman dalam hal privatisasi sektor kelistrikan. Tarif listrik dapat dipermainkan oleh pihak swasta dengan kongkalikong di unit pembangkit listrik. Tujuan utama kongkalikong itu tak lain adalah upaya menaikkan tarif listrik secara sepihak agar mendatangkan keuntungan bagi para kapitalis.

Analisis KAMMI mengenai privatisasi listrik terhadap UUD 1945

Privatisasi yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR RI melalui kementrian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) adalah bentuk ketidakberdayaan pemerintah dalam menjalankan amanah UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa, “Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Namun, pemerintah dalam hal ini membuat penjelasan yang terlalu ‘politis’ atau ‘mengada-ada’ melalui UU No. 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan, diantaranya sebagai berikut:

1. Pasal 55 yang menyatakan bahwa, “Penguasaan Negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara tidak berarti bahwa Negara harus harus memiliki usaha penyediaan tenaga listrik, Tetapi dikualifikasikan sebagai cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan dikuasai oleh Negara, sesuai amanat pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Penguasaan oleh Negara adalah dalam pengertian bahwa Negara mempunyai kewenangan untuk merumuskan kebijakan, mengatur, dan mengawasi penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik dilaksanakan oleh pelaku usaha (BUMN/ BUMD, swasta dan koperasi). Tujuan UU ini bukan liberisasi, akan tetapi terciptanya prinsip-prinsip usaha penyediaan tenaga listrik melalui mekanisme yang sehat agar usaha penyediaan tenaga listrik dapat mandiri secara financial. Dengan prinsip ini, maka sesuai pasal 33 UUD 1945, pemilikan dapat diartikan pemilikan oleh siapa saja dengan pengaturan bahwa usaha yang bersifat monopoli alamiah seperti transmisi dan distribusi diutamakan untuk diselenggarakan oleh BUMN.”

Penafsiran UUD 1945 di depan, telah memposisikan negara sebagai “perantara” policy and rule of the game dalam proses perdagangan listrik antara konsumen (masyarakat ‘rumah tangga’ dan masyarakat ‘industri’), dan penguasa dominan atas sumber tenaga listrik yang mampu mengintervensi kedua belah pihak dalam transaksi jual-beli listrik. Bila dicermati lebih jauh, memang terdapat kontradiksi antara rumusan konstitusi dengan prakteknya. Rumusan konstitusi yang menganut paham sosialisme, dalam prakteknya, utamanya di masa Orde Baru bernuansa kapitalisme. Kapitalisme memberikan peluang yang cukup luas kepada para pemilik modal untuk mengelola BUMN yang satu ini, dan bahkan ke depan diprediksi sebagai penguasa dominan yang menggantikan pemerintah. Karena UU No. 20/ 2002 telah membolehkan pemilik modal asing untuk menguasai dan mengelola ketenagalistrikan ini melalui pintu kompetisi dan swastanisasi.

2. Pasal 56 yang meyatakan bahwa, “Listrik pada dasarnya masuk kategori infrastruktur, namun dalam pengelolaannya dapat dilakukan secara komersial/ bisnis atau non commercial atau non profit/ cost/ center. Kalau dilihat dari sisi energinya, listrik adalah suatu komoditi, tetapi bila dilihat dari sisi jaringan transmisi dan distribusinya, listrik adalah suatu infrastruktur. Atas dasar hal tersebut maka pengelolaan kedua sisi ini berbeda, yaitu untuk energi, penyediaanya dilakukan berdasarkan kompetisi, tetapi untuk jaringannya dilakukan berdasarkan monopoli. Terlepas dari sifatnya sebagai infrastruktur atau komoditi, maka untuk meningkatkan transparansi dan efiseinsi pengelolaan bisnis listrik perlu dipisah dengan pengelolaan misi sosialnya.”

Listrik apakah komoditi ataukah infrastruktur, sesuai dengan UUD 1945, listrik pada dasarnya dikuasai oleh Negara. Namun dalam pengelolaannya, Negara perlu memperhatikan cara-cara pengelolaan yang paling efisien untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks sektor listrik, model pengelolaan dengan pendekatan komersial untuk daerah yang sudah mampu dipandang lebih efisien, sehingga pemerintah dapat memfokuskan pada tanggung jawab membantu rakyatnya yang tidak mampu.

Isi pasal di depan dan penjelasannya telah membuktikan bahwa, pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan UUD 1945, sebagai tata aturan yang lebih tinggi daripada UU No. 20/ 2002. Sehingga, pilihan terhadap privatisasi listrik sebenarnya dilema yang besar. Di saat Negara masih krisis, pemerintah yang korup dan swasta yang culas, privatisasi akan berpotensi mendatangkan masalah baru dalam konstalasi ekonomi-politik di Indonesia. Sebagai perbandingan adalah proyek Paiton dengan nilai investasi US$ 2,5 milliar, mark up-nya juga besar, sekitar US$ 700 juta, sementara PLN yang membayar take on pay.

Kendala privatisasi kelistrikan terdapat pada kendala legal formal. Aturan perundang-undangan kelistrikan yang diatur dalam UU No. 20/ 2002 memungkinkan listrik diprivatisasi, tetapi aturan konstitusi yang lebih tingggi kedudukan hukumnya dibanding UU tidak memungkinkannya. Sementara tuntutan ke arah privatisasi semakin kuat, utamanya pada masyarakat perkotaan yang melek pengetahuan. Polemik tafsiran konstitusi pada akhirnya harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi.

3. Pasal 8 UU no 20 tahun 2002 menyatakaan bahwa, usaha ketenagalistrikan secara keseluruhan mencakup dua bidang usaha sebagai berikut: 1. usaha penyediaan tenaga listrik dan 2. usaha penunjang tenaga listrik.

Usaha penyediaan tenaga listrik terdiri atas tujuh bidang usaha sebagai berikut: a. usaha pembangkit listrik; b. usaha transmisi tenaga listrik; c. usaha distribusi listrik; d. usaha penjualan tenaga listrik; e. agen penjualan tenaga listrik; f. pengelola pasar tenaga listrik; g. pengelola system tenaga listrik. dan usaha penunjang tenaga listrik terdiri dari usaha jasa penunjang tenaga listrik dan industri penunjang tenaga listrik.

4. Pasal 16 UU no 20 tahun 2002 menyatakan bahwa, ketujuh bidang usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dikemukan dalam pasal 8 ayat 2 UU tersebut, kini harus dilakukan secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda.

5. Bahkan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 17 dan 21 UU itu, usaha pembangkit tenaga listrik dan agen penjualan tenaga listrik, kini harus diselenggarakan berdasarkan kompetisi. Artinya selain akan dipecah secara vertical menjadi tujuh kelomok usaha, usaha penyediaan tenaga listrik pada dua kelompok terakhir ini juga harus dipecah menjadi beberapa badan usaha.

Mencermati rangkaian pasal 8, 16,17, dan 21 UU nomor 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan tersebut, dapat disaksikan dengan jelas betapa penyelenggaraan sector ketenagalistrikan akhirnya harus membuka pintu seluas luasnya bagi masuknya badan usaha swasta. Pada tahap pertama, sebagaimana yang sudah berlangsung saat ini, kehadiran badan swasta terutama akan sangat terasa pada kelompok usaha pembangkit tenaga listrik. Tetapi pada tahap selanjutnya, kehadiran badan usaha swasta pada kelompok usaha agen penjualan tenaga listrik, tidak dapat dielakkan.

Namun sebagaimana diketahui, walaupun kehadiran badan usaha swasta dan pemisahan unit usaha PLN dalam bidang usaha pembangkit tenaga listrik sudah berlangsung sejak beberapa tahun belakangan ini, secara nasional PLN masih tercatat sebagai satu-satunya badan usaha yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk menyelenggarakan usaha ketenaga listrikan secra terintegrasi penuh.

Jawabannya sangat jelas. Sesuai dengan penahapan dalam restrukturisasi sektor ketenaga listrikan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah, pada tahap pertama PLN harus dipecah menjadi beberapa badan usaha yang berbeda. Secara vertical, PLN harus dipecah menjadi tujuh bidang usaha, sedangkan secara horizontal, wilayah PLN harus dibagi menjadi dua wilayah: wilayah yang dikompetisikan, dan wilayah yang di non kompetisikan. Pada tahap kedua, penguasaan penuh badan usaha yang berasal dari pecahan PLN dalam bidang usaha pembangkit dan agen penjualan tenaga listrik, harus dipecah lebih lanjut menjadi beberapa unit usaha yang berbeda. Artinya jika saat ini badan usaha telah hadir dalam bidang usaha pembangkit tenaga listrik, maka pada restrukturisasi tahap kedua inilah kelak peluang badan usaha swasta untuk turut serta dalam penyelenggaraan sector ketenagalistrikan harus dibuka seluas-luasnya. Dilihat dari sudut PLN, setelah dipecah secara vertikal menjadi beberapa badan usaha, maka pada restrukturisasi tahap kedua ini pula kelak, privatisasi BUMN yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan tenaga listrik akan mulai dilaksanakan. Pendek kata, privatisasi sektor ketenagalistrikan pada akhirnya tidak dapat dielakkan menjadi sebuah proses sistematis untuk memprivatisasi PLN. (Tadzkiya)

0 comments: