By Salsabila azZahra
“The Challenge is to build a new economy and to do it at wartime speed before we miss so many of the nature’s deadlines that the economic system begins to unravel” (Lester Brown, Earth Policy Institute)
Bioenergi kini menjadi berita alternatif yang menawarkan solusi di tengah himpitan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. Setiap negara di dunia kini berlomba-lomba meningkatkan pengembangan, dan produksi bioenergi atau bahan bakar nabatinya. Bahan bakar nabati (BBN) dapat berupa biodiesel (bahan bakar pengganti solar), bioetanol (bahan bakar pengganti bensin), atau bio-oil (bahan bakar pengganti kerosen dan minyak bakar). Bio-oil /Pure Plantation Oil (PPO)/Straight Vegetable Oil (SVO) adalah minyak nabati murni, tanpa perubahan kimiawi. Sedangkan biodiesel dibuat melalui reaksi transesterifikasi/metanolisis minyak nabati seperti minyak sawit, kelapa, jarak pagar, kapok, malapari, nyamplung, minyak goreng jelantah, dan sebagainya. Bioetanol merupakan etanol anhidrat dari bahan-bahan bergula atau berpati seperti tetes tebu (mollase), nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya. Bioenergi menjadi salah satu energi alternatif yang dilirik karena kemudahannya dalam aplikasi pada kendaraan, selain juga karena tekanan krisis energi berbasis fosil. Penggunaan campuran biodiesel pada solar maupun bioetanol pada bensin, pada kadar tertentu, tidak membutuhkan adanya perubahan spesifikasi pada mesin. Energi yang dihasilkan biodiesel/bioetanol tak berbeda jauh dengan solar/bensin. Dalam proses pembuatannya pun, hanya membutuhkan energi sekitar 1/3nya. Dalam setiap unit energi yang digunakan untuk menghasilkan biodiesel akan dihasilkan 3.2 unit energi. (Tirto, 2006)
Khusus untuk biodiesel, juga memiliki kelebihan-kelebihan yang lain, yaitu dapat terdegradasi dengan mudah (biodegradable), 10 kali tidak beracun dibanding minyak solar biasa, memiliki angka setana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatic sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer sehingga lebih jauh lagi mengurangi efek pemanasan global atau banyak disebut dengan zero CO2 emission.(Tirto, 2006)
Dewasa ini, pengembangan energi alternatif menjadi pilihan penting. Bukan saja untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang harganya terus meningkat, namun sekaligus memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran, serta perbaikan lingkungan hidup. Terlebih dalam himpitan ketergantungan terhadap impor minyak akibat krisis. Berlimpahnya kekayaan sumber migas di negeri ini tidak diikuti dengan produksi nasional yang melimpah pula. Bahkan, cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia jumlahnya terbatas, sementara konsumsi energi terus meningkat. Berikut ini data produksi dan cadangan sumber daya energi fosil.
Tabel 1. Status Cadangan Energi 2005
Jenis Energi | Sumber Daya | Cadangan Terbukti | Produksi (per tahun) | Perbandingan (Cadangan/Produksi) |
Minyak Bumi | 86,9 milyar barel | 9 milyar barel*) | 500 juta barel | 18 tahun |
Gas Bumi | 384,7 TSCF | 188 TSCF | 3,0 TSCF | 62 tahun |
Batu Bara | 57 milyar ton | 19,3 milyar ton | 130 juta ton | 147 tahun |
Sumber : Blue print Pengelolaan Energi Nasional, ESDM,2005
Ket :*) termasuk blok Cepu
Produksi minyak dalam negeri kita kini sudah tidak mampu memenuhi konsumsi minyak di dalam negeri. Akhirnya, kita pun harus tergantung pada minyak luar negeri. Impor minyak kita sangat besar. Jika hal ini dibiarkan tanpa solusi, beban negara untuk menyubsidi BBM (bahan bakar minyak) akan semakin berat. Walaupun saat ini saja, harga minyak dunia sudah mengalami penurunan, yaitu sekitar 58,49 dolar AS per barel untuk jenis light sweet (MetroTV, 14/11/08), namun tidak membuat perubahan ekonomi secara signifikan di masyarakat. Berawal dari masalah inilah, di tahun 2006, pemerintah mencanangkan era kebangkitan energi yang ke-2 dimana peranan energi alternatif akan menggantikan minyak bumi.
Tak hanya krisis energi. Beragam isu lingkungan, seperti ozon depletion, photochemical smog, rain acid, global warming, dan sampah menjadi isu yang kian bersahabat di telinga kita untuk diperangi. Untuk masalah sampah, hingga tahun 2020 mendatang, volume limbah ini di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Tahun 1995, menurut data yang dikeluarkan Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi V Menteri Lingkungan Hidup, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata 0,8 kilogram per kapita per hari. Sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 kilogram per kapita per hari. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 2,1 kilogram per kapita per hari. (Kompas, 18/09/03). Pemakaian bioenergi yang sangat ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat agar bioenergi diterapkan di dunia secara masif dewasa ini.
Karena itu, banyak pihak yang menilai perlu adanya strategi kebijakan energi pemerintah yang didasarkan pada empat komponen penting, yakni intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden No.10/2005 tentang Penghematan Energi. Juga dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM), yang diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 (tertanggal 25 Januari) tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Berbagai regulasi lain juga telah diterbitkan berkenaan dengan masalah lahan, infrastruktur, pabrikasi, pasar, dan pendanaan bioenergi. Langkah yang dilakukan terkait dengan aspek pendanaan adalah pematangan lembaga Indonesia Green Energy Fund (seed-capital dari APBN dan APBD), PKBL dari BUMN untuk budidaya pembibitan dan demplot, fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang bio-fuel melalui RPP 148, insentif pajak dan cukai untuk usaha bidang bio-fuel, serta regulasi perbankan dan pasar modal yang kondusif terhadap pembiayaan pengembangan BBN.
Tabel 2. Sasaran Energi Mix 2025 Berdasarkan PP No.5 Tahun 2006
Jenis Energi | Tahun 2006 | Target Tahun 2025 |
Minyak Bumi | 51,66 % | 20 % |
Panas Bumi | 1,32 % | 5 % |
Tenaga Air | 3,11 % | - |
Gas Bumi | 28,57 % | 30 % |
Batu Bara | 15,34 % | 33 % |
Biofuel | - | 5 % |
Biomassa,nuklir,air,surya,angin | - | 5 % |
Coal Liquefaction | - | 2 % |
Sumber :ESDM, 2006
Sejak beberapa tahun terakhir ini, sejumlah riset dan penelitian terus dilakukan. Di antaranya adalah didirikannya Forum Biodiesel Indonesia, yang dipimpin oleh Bapak Tatang H. Soerawidjaja, beranggotakan sejumlah personel dan tenaga ahli dari berbagai institusi, di antaranya dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (P2KS), Deptan, Dephub, ITB, IPB, dan lembaga lainnya. Begitu juga dengan pengembangan bioetanol, melibatkan sejumlah lembaga seperti BPPT, ITB, dan lain-lain.
Tak hanya itu, persiapan ke arah komersialisasi biodiesel dan bioetanol di dalam negeri pun terus digalakkan. Cetak biru program pendanaan pengembangan BBN pun telah rampung dibuat. Di antaranya terdapat strategi tiga jalur pendanaan, yaitu jalur APBN (Bappenas, Depkeu, Kementerian, DPR), jalur swasta (lembaga perbankan, lembaga non-perbankan, pemerintah), dan jalur gabungan (lembaga perbankan, lembaga non-perbankan, pemerintah, bilateral dan multilateral donors).
Tabel 3. Risalah Perkembangan Investor BBN
Luas Lahan, hektar | Sawit | Jarak Pagar | Tebu | Singkong |
Rencana Swasta Luar Negeri (LN) | 500.000 | 850.000 | 250.000 | 300.000 |
Rencana Swasta Dalam Negeri (DN) | 900.000 | 50.000 | 520.000 | 80.000 |
Rencana BUMN | 900.000 | 200.000 | 30.000 | 20.000 |
Sumber : Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Agustus 2006
Bioenergi di Berbagai Negara
“Our third goal is to promote energy independence for our country, while dramatically improving the environment. I have sent you a comprehensive energy plan to promote energy efficiency and conservation, to develop cleaner technology, and to produce more energy at home.” (George W.Bush, 28th January 2003, State of the Union address)
Tak hanya Indonesia yang demam biodiesel, negeri-negeri lain juga mengalami hal yang serupa, dari mulai negeri paman Sam hingga India. Presiden AS, George W. Bush, berkali-kali menguatkan komitmen pemerintah AS tentang pentingnya peranan biodiesel dan bioetanol pada berbagai kesempatan pidatonya. Presiden Bush pertama kali mengumumkan Kebijakan Nasional tentang Bioenergi semenjak 17 Mei 2001, di antaranya berisi tentang diversifikasi energi AS melalui teknologi batu bara bersih, solar cell dan angin, bioenergi, serta nuklir yang aman. Khusus untuk bioenergi, Bush memiliki program ‘Twenty in Ten’ yaitu target 20% campuran bioetanol dalam bensin pada 10 tahun mendatang.
Dalam salah satu kunjungannya ke industri biodiesel di Virginia, Bush mengatakan bahwa biodiesel merupakan sumber energi alternatif yang sangat menjanjikan di masa depan. Dengan mengembangkan biodiesel, rakyat AS telah mengurangi ketergantungan negara ini terhadap minyak luar negeri. Bahkan, untuk mengingatkan rakyatnya bahwa AS sangat tergantung dengan sumber energi dari luar, Bush mengomparasikan data konsumsi energi yang digunakan AS pada tahun 1985 dan tahun 2005. Dijelaskan Bush, pada 1985, 75 persen minyak AS masih dihasilkan dari produksi di dalam negeri, tetapi pada tahun ini, hanya 35 persen saja yang bisa diproduksi di dalam negeri. Selebihnya, AS mengimpor dari luar negeri, khususnya negara-negara Timur Tengah. Karena itu, tidak heran, jika Bush pun serius memperbaiki kebijakan energi di AS dengan memberdayakan sumber daya hayati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan bioetanol.
Namun, keganjilan menyeruak. Bila kita memperhatikan langkah strategis yang dilakukan Bush, justru banyak yang bertentangan dengan apa yang dikatakannya. Apakah ini merupakan salah satu standar ganda dari sang negara adidaya?
1. APBN Bush tahun 2006 menunjukkan anggaran sebesar $354 juta untuk Department of Energy’s (DOE) renewable energy program (solar, geotermal, and bioenergi). Jumlah ini menurun sebesar 5,6% dibandingkan APBN tahun 2005.” (Union of Concerned Scientists, 22th February 2005)
2. Bush menandatangani “Energy Policy Act of 2005” pada 8 Agustus 2005, yang tertera untuk memberikan $4.3 milyar sebagai insentif pajak untuk perusahaan minyak berskala besar. (New York Times, 28th July 2005
3. Bush mengancam untuk memveto Renewable Energy and Energy Conservation Tax Act (H.R. 2776), yang termasuk di dalamnya insentif pajak untuk produsen dan pemilik teknologi bioenergi, dan the New Direction for Energy Independence, National Security, and Consumer Protection Act (H.R. 3221), yang termasuk di dalamnya 15% standar bioenergi elektrik (Statement of Administration Policy, 3th August 2007)
Fakta ini memunculkan sebuah pertanyaan, mengapa yang dilakukan oleh negara adidaya bertentangan dengan yang mereka katakan? Apakah demam investasi asing di Indonesia pada sektor bioenergi merupakan konspirasi negara-negara utara untuk mengeruk SDA negara selatan?
Tidak hanya AS, negara seperti India dan Cina juga mendukung program bioenergi ini. Di India, Perdana Menteri Maharashtra mengumumkan pemotongan pajak sebesar 14 sen per galon untuk ekspor etanol ke negara bagian India yang lain, demi tercapainya program E5 (campuran bioetanol 5% dalam bensin). Negara ini merencanakan untuk mengekspor 475 juta gallon etanol ke 11 negara dan 3 wilayah territorial dalam tiga tahun. Di Cina, General Biodiesel mengumumkan akan membuat biodiesel plants di Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Wenzhou dengan jumlah investasi langsung sebesar $100 juta. Pembangunan ini bertujuan untuk mencapai target produksi 200.000 ton pada 2010 dan 2 juta ton pada 2020.
Di dunia telah ada lebih dari 85 pabrik biodiesel dengan kapasitas 500 - 120.000 ton/tahun dan pada 7 tahun terakhir ini 28 negara telah menguji-coba, 21 di antaranya kemudian memproduksi. Amerika dan beberapa negara Eropa telah menetapkan Standar Biodiesel. Berbagai bahan baku juga telah dipergunakan seperti, minyak rapeseed (kanola) di Eropa, minyak kedelai di Amerika serikat, minyak kelapa di Filipina, minyak sawit (Malaysia), dan lain-lain. Di Hawaii minyak jelantah juga telah dipergunakan oleh Hawaii, Pacific Biodiesel Inc. dengan kapasitas pabrik kecil (40 ton/bln). Di Nagano (Jepang) bahan baku dari 60 fast-food restaurants telah dipakai sebagai bahan bakunya.Sehingga, Biodiesel telah merebut 5% pangsa pasar ADO (automotive diesel oil) di Eropa. Target Uni-Eropa adalah 12% pada tahun 2010. Khusus di Malaysia telah dikembangkan pilot plant biodiesel dengan skala 3000 ton/hari yang telah siap memenuhi kebutuhan solar jika sewaktu-waktu diperlukan.
Berkaca Pada Brazil
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Brazil dengan program Pro-Alcool menunjukan keterlibatan banyak pihak dalam menyukseskan biofuel sebagai pengganti BBM. Kemudahan untuk usaha di bidang pertanian tebu, subsidi, hingga mesin yang dibuat untuk mengakomodasi keunikan bioetanol dibandingkan dengan BBM. Selain faktor yang terkait langsung dengan objek teknis, seperti mesin mobil, pertanian tebu, serta industri pengolahan tebu menjadi bioetanol, pemerintah Brazil juga melakukan kampanye untuk mengajak masyarakat agar turut berpartisipasi.
Pengembangan biodiesel dan bioetanol terkait dengan isu global, yaitu tingginya kebutuhan energi. Di Brasil, sejak 1975, telah dimulai program Pro-Alcool (Program Alkohol Nasional) yang dipicu krisis minyak di negara tersebut dua tahun sebelumnya. Hingga saat ini, program tersebut telah berhasil mengurangi 10 juta mobil berbahan bakar bensin. Pajak yang tinggi bagi bensin dan subsidi pemerintah bagi usaha etanol, menyebabkan industri etanol berkembang dengan subur di Brazil.
Program Pro-Alcool yang diterapkan Brazil tak hanya sebatas kampanye penanaman tebu serta subsidi, namun juga terkait dengan penggunaan etanol secara meluas. Hal ini tercermin dari pompa bensin yang menyediakan dua jenis bahan bakar, gasoline dan etanol, serta produksi mobil dengan mesin berbahan bakar etanol maupun combo (dua jenis bahan bakar). Apresiasi masyarakat terhadap perubahan ini tampak dari peningkatan pembelian mobil berbahan bakar ethanol. Pada 2007, 86% dari seluruh jumlah mobil yang dijual berbasiskan etanol. Jumlah mobil yang menggunakan E100 (murni etanol) pada tahun 2007 saja sudah mencapai 4,6 juta buah. Brazil kini sudah memiliki 63 pompa pengisian etanol.
Keberhasilan Brazil mengindikasikan energi masa depan yang berorientasi pada energi terbarukan. Apakah Indonesia akan mengikuti jejaknya?
Pro-Kontra Bioenergi: Food vs Fuel ?
Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan masalah krisis pangan dunia yang terkait dengan perebutan lahan dengan penanaman tanaman bioenergi. Padahal menurut catatan pemerintah (Sambutan Menko Kesra, 2006) di Indonesia terdapat 25 juta hektar hutan gundul dan lahan kritis, sedangkan jumlah lahan yang rencananya digunakan untuk penanaman bioenergi hanya 6 juta hektar. Lantas apa yang salah? Kenaikan minyak goreng pada waktu yang lalu di Indonesia bisa jadi dipicu karena adanya “perebutan” stock, yang seharusnya untuk pangan menjadi untuk biodiesel. Jumlah lahan kelapa sawit seluas 0,1 juta hektar (2006), 0,4 juta hektar (2007), dan 0,6 juta hektar (2008) yang disiapkan pada ketiga tahun tersebut belum menghasilkan hasil CPO (Crude Palm Oil) yang berarti, sedangkan euphoria biodiesel tengah berlangsung. Bagian untuk pangan akhirnya menjadi ikut terambil. Begitupun dengan hasil panen tanaman kedelai dan jagung yang terjadi di AS.
Kasus food vs fuel akan selalu menjadi teror ketika jenis tanaman yang dikembangkan berjenis edible-oil (bisa dimakan) seperti kelapa sawit, tebu, atau singkong. Sehingga, untuk menghindari terjadinya kasus ini adalah dengan mempertimbangkan kembali jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Walaupun Indonesia berpotensi sebagai produsen kelapa sawit terbesar, namun bukan berarti harus jenis itu yang harus dikembangkan. Kelayakan jumlah lahan, kondisi hara tanah, dan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat juga harus menjadi pertimbangan. Indonesia merupakan negara terkaya di dunia akan plasma nutfah di daratan dan lautan. Potensi keanekaragaman hayati tumbuhan Indonesia, memungkinkan untuk ditanami beragam tanaman non-pangan yang mampu tumbuh di lahan kritis/tandus atau rawa pantai, dan sekaligus mampu mengembalikan hara tanah. Tanaman seperti ini contohnya adalah Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang dan Nyamplung (Callophyllum inophyllum). 1 Ha tanaman jarak pagar dapat menghasilkan 4-9 ton biji dengan rendemen minyak 20-30%, sehingga dapat diperoleh 0,8-2,7 ton minyak jarak kasar (Departemen Pertanian, 2006). Tanaman ini mulai berproduksi pada usia 6 bulan-9 bulan, dapat tumbuh di lahan tandus dan kritis, dapat menghijaukan lahan tandus, serta hama dan penyakit dapat terkendali (Prihandana, 2006). Bioenergi sebenarnya juga sangat efektif jika diaplikasikan pada limbah industri dan pertanian, seperti ampas tebu (baggase), molase, bungkil jarak, dan sebagainya untuk diproses menjadi bioetanol ataupun biogas. Selain menghasilkan energi, juga sekaligus dapat menyelamatkan lingkungan.
Bagaimana jika kelak lahan darat harus dikerahkan untuk produksi pangan? Bahan bakar hayati pun bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh di perairan tawar/asin. Proses ini tidak membutuhkan traktor, penyemaian benih dan panen, serta ‘waktu tanam’ hanya 1 minggu saja. Asupan CO2 untuk alga pun dapat diambil dari emisi bahan bakar fosil. Hanya saja teknologi pemrosesannya masih berharga mahal. Namun, Indonesia sebagai negara bergaris pantai terpanjang di dunia memiliki potensi besar pada pengembangan jenis ini.
Jadi, dengan begitu kayanya Indonesia dengan keanekaragaman hayati, mengapa masih banyak masalah yang timbul? Mengapa justru investasi asing yang ‘ramah’ terhadap tanaman yang potensial, sedangkan APBN hanya memberikan porsi yang sangat sedikit (Lihat Tabel 3)? Sekadar latah dengan kecenderungan biofuel yang menjadi isu global, atau ini merupakan usaha sungguh-sungguh pemerintah untuk mengatasi masalah energi bangsa?
Menuju Kemandirian
Terlepas dari benar atau tidaknya krisis energi, kita semua menyadari bahwa sumber energi fosil suatu saat akan habis. Selain itu, kita pun menyadari dampak lingkungan yang diakibatkan oleh minyak fosil selama ini. Oleh karena itu, pengembangan bioenergi ini memang sudah saatnya dilakukan. Hanya saja, bukan berarti kita menjadi teralihkan pandangan begitu saja dari sumber energi fosil, karena saat ini, barang tersebut mutlak dibutuhkan dan menjadi hak bagi umat.
“Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”(HR Ahmad dan Abu Dawud). Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ada tambahan,”Dan harganya haram”
Teknologi pengembangan bioenergi sendiri merupakan uslub/teknis yang diserahkan kepada kreativitas masing-masing umat.
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”(HR Muslim, dari ‘Aisyah dan Anas)
Sehingga sangat disayangkan jika kita bersusah payah mencari sumber energi baru (bioenergi) yang bersifat mubah (boleh), sedangkan tanpa sadar yang menjadi milik umat sesungguhnya, sudah “dicuri” negara lain. Begitupun pengembangan dan produksi bioenergi harus dikembangkan secara sungguh-sungguh dan tetap berasaskan kemandirian. Demi berlepas diri dari ketergantungan terhadap asing. Program BBN seharusnya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan domestik, bukan untuk ekspor. Pendanaan pun harus dalam kerangka nasional, terlebih pada titik-titik strategis. Kebebasan pada investasi asing tanpa memperhatikan kecukupan dan kemandirian nasional, sama saja membuka jalan lain bagi asing untuk mengeruk SDA kita lewat jalur lain. Produksi BBN tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi, Indonesia sesungguhnya mampu untuk itu. Namun, politik luar negeri yang lemah dan ketidaktegasan pemerintah seakan-akan menjadikan program BBN ini sebagai “demam global” saja. Teknologi negara lain dianggap lebih mampu dalam menyelesaikan permasalahan negeri ini. Padahal, realita dan masalah yang terjadi di negeri ini mungkin tidaklah sama seperti yang terjadi di negara lain. Jika hal ini terus dibiarkan, bioenergi ini bukan menjadi solusi alternatif, tetapi akan menghasilkan masalah yang tak berujung. Seperti halnya mengaduk-aduk dalam lumpur. Padahal Indonesia dan negara muslim lain, terutama yang memiliki iklim tropis, memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah (baik secara jumlah maupun varietas). Sehingga berlepas diri dari ketergantungan asing bukan menjadi suatu hal yang mustahil.
“Tidaklah seorang makan makanan yang lebih baik daripada makanan hasil jerih payahnya sendiri”(HR Ahmad)
0 comments:
Post a Comment