Sunday, July 26, 2009

Indonesia Pasca Pilpres Presiden 2009

Pilpres 8 Juli sudah dilewati, KPU resmi mengumumkan kemenangan pasangan SBY-Boediono dengan kemenangan satu putaran. Jika tidak ada "kejutan" yang dilakukan oleh pasangan capres-cawapres lain, pasangan dengan nomor urut 2 ini akan segera dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014. Di satu sisi hal ini menunjukkan masyarakat puas tehadap kebijakan SBY (setidaknya sekitar 60an% rakyat yang terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak suaranya memilih pasangan ini, terlepas efek iklan kinerja SBY yang banyak dikritik oleh para pakar), Sujiwo Tedjo pun turut berkomentar bahwa kemenangan pasangan ini menunjukkan ciri masyarakat yang melankolik. Yah.. terlepas dari komentar siapapun, kemenangan tetap saja kemenangan. Hanya saja jika melihat track record pasangan ini beserta program-program yang mereka tawarkan akankah mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik?

Setidaknya jika kita mencermati kampanye SBY-Boed ada beberapa janji yang dikampanyekan diantaranya adalah, pendidikan murah, peningkatan ekonomi hingga 7 persen, penurunan kemiskinan hingga 8-10 persen, peningkatan swadaya pangan, pertahanan dan keamanan yang handal, persenjataan yang baik, kesehatan, pembangunan yang merata hingga ke desa-desa, menjaga NKRI, peningkatan rumah susun dan rumah rakyat, meningkatkan pertanian, dan janji-janji lainnya.

Seperti apa kebijakan yang akan mereka lakukan untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya? Merujuk slogan yang dikampanyekan pasangan ini, tentunya tidak akan terjadi perbedaan metode dalam hal pengurusan urusan rakyat.

Sekarang mari kita perhatikan kinerja pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009:

1. Klaim BBM turun 3X dan turunnya harga kebutuhan pokok




Harga 2004 2009 Catatan
Minyak Mentah Dunia / barel ~ USD 40 ~ USD 45 Hampir sama
Premium Rp 1810 Rp 4500 Naik 249%
Minyak Solar Rp 1890 Rp 4500 Naik 238%
Minyak Tanah Rp 700 Rp 2500 Naik 370%

Dalam iklan kampanye SBY hal yang digembor-gemborkan adalah penurunan harga BBM 3x tidak lepas dari peran pemerintah, sedangkan kenaikan harga BBM yang juga 3x mereka klaim sebagai “keterpaksaan” pemerintah karena meningkatnya harga minyak dunia (walaupun kenaikan 3x ini tidak dimasukkan dalam iklan kampanye…).


Saat ini kecenderungan harga minyak dunia kembali naik, kita lihat saja apakah pemerintah akan tetap menjaga harga premium tetap pada Rp 4500 atau tidak? (sebenarnya untuk membaca pola seperti ini tidak perlu ditebak, karena sudah pasti akan naik mengikuti perkembangan harga minyak internasional dan seperti biasa pemerintah akan menggelar konferensi pers tentang subsidi Negara yang terus membengkak dan berjuta alasan klasik agar masyarakat mau memahami “keterpaksaan” pemerintah untuk menaikkan harga BBM)


Harga Barang dan Jasa 2004 2009 Keterangan
Minyak Goreng per liter 5000 7000 Naik 40%
Beras per kilogram 3000 4700 Naik 55%
Telur per kg 7000 12000 Naik 70%
Terigu 3500 6500 Naik 85%
Tarif Angkutan Ekonomi 81 per Km 150 per Km Naik 86%


Melihat kenaikan harga BBM tentu secara alami akan diikuti oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, data-data kenaikan harga diatas adalah wajar, sama seperti efek domino. Apalagi diikuti oleh tingkat inflasi rupiah terhadap dollar AS dan sejumlah mata uang regional ASEAN lainnya.


Tingkat Inflasi Janji Target Fakta Catatan Pencapaian
2004
6.40%
2005 7.00% 17.10% Gagal
2006 5.50% 6.60% Gagal
2007 5.00% 6.60% Gagal
2008 4.00% 11.00% Gagal


Kurs Rupiah 2004 2009 Kondisi
Dollar US 9,078 11,125 Melemah 23%
Ringgit Malaysia 2,388 3,198 Melemah 34%
Dolar Singapura 5,448 7,726 Melemah 42%
Peso Filipina 161 234 Melemah 45%
Baht Thailand 221 319 Melemah 44%

Dolar terhadap ASEAN 2004 2009 Kondisi
Dolar US / Rupiah Ind 9,078 11,125 Melemah 23%
Dolar US / Ringgit Mal 3.8 3.5 Menguat 8%
Dolar US / Dolar Sing 1.7 1.4 Menguat 14%
Dolar US / Peso Fil. 56.4 47.5 Menguat 16%
Dolar US / Baht Thai 41.1 34.9 Menguat 15%


Terkait masalah kurs mata uang sebenarnya juga terjadi hal yang cukup menggelikan. Di satu sisi dapat menggambarkan ketahanan ekonomi, katakanlah semakin besar komposisi ekspor suatu negara turut memperkuat nilai mata uang negara tersebut, tapi di sisi lain lewat trik-trik “goreng-menggoreng” dalam pasar uang, kurs mata uang suatu negara juga bisa dipermainkan. Seperti apa yang terjadi pada krisis moneter tahun 1997 (terkait pula dengan kondisi hutang luar negeri Indonesia yang sudah terlalu tinggi).


2. Klaim penurunan angka kemiskinan

Berdasarkan data dari situs resmi SBY data kemiskinan digambarkan sebagai berikut:


Persentase kemiskinan digambarkan mengalami tren turun, tentu saja penurunan ini patut “diapresiasi”, hanya saja di sisi lain perlu dicermati klaim tingkat kemiskinan sekitar 15,4% atau sekitar 35 juta penduduk Indonesia adalah berdasarkan standar kemiskinan BPS yaitu penduduk dengan penghasilan di bawah Rp 6000/hari jika standarnya dinaikkan sesuai standar bank dunia (USD 2/hari) maka tingkat kemiskinan melonjak mencapai hampir 50% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.


Pertanyaannya realistiskah batas kemiskinan dengan penghasilan Rp 6000/hari?



3. Klaim penurunan utang


Hal lain yang juga dikampanyekan adalah tentang penurunan utang, atau lebih tepatnya penurunan rasio utang terhadang PDB dan juga lunasnya utang Indonesia terhadap IMF. Secara nominal utang Indonesia di tahun 2009 hampir mencapai Rp 1700 triliun rupiah, menurut Yuyun Harmono, Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU), setiap penduduk Indonesia harus terbebani dengan Rp 7 juta. Selain itu besarnya pembayaran utang tiap tahun hampir sama dengan 3 kali anggaran pendidikan, 11 kali anggaran kesehatan dan 33 kali dari anggaran perumahan dan fasilitas umum.





Jumlah total utang Indonesia (2001-2009)
2001 Rp 1263 triliun
2002 Rp 1249 triliun
2003 Rp 1240 triliun
2004 Rp 1275 triliun
2005 Rp 1268 triliun
2006 Rp 1310 triliun
2007 Rp 1387 triliun
2008 Rp 1623 triliun
2009 Rp 1667 triliun (Januari)

Pada awalnya untuk mengukur jumlah utang luar negeri, apakah sudah melampaui batas yang aman atau tidak, dinyatakan dalam rasio antara ekspor neto dengan pembayaran cicilan utang pokok + bunga utang luar negeri yang disebut Debt Service Ratio (DSR). Akan tetapi, karena saat ini jumlahnya sudah terlalu besar, ukurannya diubah menjadi dalam persen dari PDB.


PDB adalah penjumlahan dari seluruh produksi barang dan jasa di Indonesia, tanpa mempedulikan siapa yang memproduksi dan bagaimana pembagiannya. Sebagai ilustrasi, misalnya PDB yang dalam tahun tertentu mencapai Rp. 5.000 trilyun, sangat mungkin dibentuk oleh 5 % dari produsen di Indonesia, dengan bagian yang cukup besar oleh pengusaha asing.


Kebijakan mengenai utang luar negeri pun menjadi semakin tidak rasional dengan diterbitkannya Surat Utang Negara SUN dalam dollar AS dengan suku bunga antara 10,5% sampai 11%. Untuk dunia usaha swasta saja, tingkat bunga seperti ini tergolong junk bond yang sangat rongsokan. Kalau negara RI memberikan tingkat bunga seperti ini, bagaimana penjelasannya, terutama kalau dibandingkan dengan AS yang mendekati nol persen, dan negara-negara lain yang memberikan bunga deposito antara 0,3 % sampai 2 % saja (dalam hal jangka sangat panjang). (Kwiek Kian Gie: 2009)



Indonesia dan Liberalisme


Sejak 1967 Indonesia digiring “pihak-pihak yang berkepentingan” ke arah liberal. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar” di wilayah Asing Tenggara (Ransom: 2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu” Indonesia (Johnson Library: 1967).


Peran Mafia Berkeley dalam proses liberalisasi ekonomi Indonesia pun telah menjadi rahasia umum. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkavlingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008).


Investor asing pun perlahan-lahan menguasai ekonomi Indonesia melalui disahkannya UU Penanaman Modal Asing (PMA). Melalui UU no. 1 tahun 1967 tentang PMA, keran investasi asing mulai dibuka, tetapi Negara masih memberikan batasan bidang-bidang yang boleh dikuasai asing. Dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan

“Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:

a. pelabuhan-pelabuhan;

b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;

c. telekomunikasi;

d. pelayaran;

e. penerbangan;

f. air minum;

g. kereta api umum;

h. pembangkitan tenaga atom;

i. mass media.”

Liberalisasi pun dilanjutkan dengan diterbitkannya UU No. 6 tahun 1968 mengenai Penanaman

Modal Dalam Negeri. Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa investor asing diperbolehkan untuk memasuki cabang-cabang produksi “menguasai hajat hidup orang banyak” asalkan porsi modal asing tidak melampaui 49%, sedangkan porsi investor Indonesia sebesar 51% harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.


Di tahun 1994 terbit Peraturan Pemerintah No. 20 yang semakin meliberalkan ekonomi Indonesia. Dalam pasal 5 ayat 1 dikatakan bahwa perusahaan asing diperbolehkan melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media.” Dengan lanjutannya pada pasal 6 ayat 1 disebutkan “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”


Liberalisasi di sektor ekonomi pun semakin dikukuhkan pada era SBY-JK dengan terbitnya UU tentang PMA No. 25 tahun 2007. Dalam UU ini ditegaskan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa “Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia...” Dalam pasal 7 ditegaskan pula bahwa “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang.” Wilayah yang diperbolehkan untuk dimiliki asing pun semakin luas, dalam pasal 12 disebutkan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. (Kwiek Kian Gie: 2009).



Neoliberalisme atau Kapitalisme?


Neolib merupakan isu yang cukup hangat pada pilpres kali ini. Dikatakan bahwa neoliberalisme merupakan konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan liberalisasi sektor finansial.


Perbincangan mengenai isu neoliberalisme saat ini telah lepas dari akar ideologinya (kapitalisme), sehingga banyak yang memandang Neoliberalisme hanya sebatas “isme” anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu pula pasangan SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan Neoliberal melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY beralasan pemerintahannya masih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk program BLT dan PNPM Mandiri (Muttaqin: 2009).


Neoliberalisme sejatinya merupakan suatu pemikiran ekonomi yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekulerisme. Dalam sebuah ideologi, lebih khusus lagi dalam suatu pemikiran ekonomi, dimungkinkan terdapat perbedaan aliran (mazhab) sebagaimana adanya mazhab fiqh di dalam Islam.


Dalam perkembangannya teori-teori ekonomi yang bermunculan tidak terlepas dari kondisi faktual yang sedang terjadi. Ketika suatu teori diterapkan pada suatu negeri kemudian tidak terjadi suatu perbaikan yang diharapkan maka akan muncul teori baru untuk menutupi kecacatan teori sebelumnya.


Teori Big Government yang dipelopori oleh Keynes merupakan antitesis untuk mazhab Kapitalismenya Adam Smith, sedangkan Neoliberalisme merupakan antitesis bagi mazhab Kapitalismenya Keynes. Kini banyak negara yang dipelopori Amerika Serikat melakukan intervensi besar-besaran ke dalam pasar dan perekonomiannya, maka ini merupakan antitesis terhadap mazhab Neoliberalisme. Semuanya masih ke dalam format Kapitalisme yang memiliki asas sekuler dan mengusung liberalisme dalam kehidupan.


Jika kita mencermati ideologi di balik paham neoliberalisme, maka sesungguhnya kita akan mendapatkan suatu fakta bahwasanya apa yang diterapkan di negeri ini walaupun pemimpin datang silih berganti, mereka tetap menjalankan ideologi yang sama, yaitu kapitalisme-sekulerisme.



Akankah Indonesia menjadi lebih baik?


Indonesia setidaknya sudah merasakan enam kali pergantian pemimpin. Indonesia pernah merasakan kepemimpinan di bawah sosok intelektual, militer, teknokrat, ulama, wanita, kemudian kembali lagi ke kalangan militer. Enam puluh tahun lebih usia kemerdekaannya, tapi masih berkutat dengan permasalahan yang sama, kemiskinan, kelaparan, IPM yang rendah, ketidakmandirian pada berbagai sektor, dan segudang permasalahan lainnya. Secara faktual saja sebenarnya telah nampak permasalahan bangsa ini bukan hanya sekedar pada permasalahan kepemimpinan, melainkan juga terdapat masalah dalam sistem kehidupan yang diterapkan untuk menyelesaikan berbagai problematika yang melanda negeri ini.


Walaupun pemilu sudah belangsung berulang-ulang, pemimpin pun telah berganti, tetapi sistem kehidupan yang diterapkan tidak juga berganti. Maka wajar saja jika kondisi masyarakat pun begitu-begitu saja bahkan semakin memburuk.


Negeri ini cenderung membebek pada kepentingan asing. Sebut saja dengan disahkannya UU PMA yang membuka ruang sebesar-besarnya bagi asing untuk menguasai sektor-sektor yang bahkan menyangkut hajat hidup orang banyak. Lihat saja efeknya sekitar 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Ketergantungan kita dengan produk pangan impor juga cukup tinggi, misalnya saja gandum, kedelai.


Padahal, AS sendiri sebagai Negara pengusung kapitalisme memberikan proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian mereka. AS bahkan tidak menggagalkan pembelian Unocal (perusahaan AS) oleh BUMN Cina, CNOOC.


Begitupun dengan disahkannya UU BHP, juga tidak terlepas dari agenda WTO yang meliberalisasi sektor perdagangan baik barang maupun jasa yang dilaksanakan begitu patuhnya oleh penguasa negeri ini.


Akhirnya pemerintah sudah berubah posisinya dari yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat menjadi pedagang yang senantiasa mengambil keuntungan dari rakyatnya dan menghamba pada pemilik modal. Lihat saja paska krisis moneter 1997 hutang Negara meningkat drastis, Rp. 144 trilyun BLBI, Rp. 430 trilyun Obligasi Rekap, dan minimal Rp. 600 trilyun beban bunganya, atau keseluruhannya Rp. 1.174 trilyun. Dari sekian banyak hutang Negara, berapa bagian yang dinikmati rakyat Indonesia?


Contoh lain yang paling fenomenal tentang ketidak warasannya kebijakan pemerintah adalah penjualan BCA yang notabene 97% dari BCA sudah milik pemerintah. Di dalamnya ada OR atau surat hutang pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp. 10trilyun. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp. 10 trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. (Kwiek Kian Gie: 2009)


Mengapa pemerintah Indonesia begitu setianya pada kepentingan asing? Tidak lain karena Indonesia tidak memiliki landasan ideologis dalam setiap pengambilan kebijakannya, sehingga mudah terbawa arus yang sengaja dibuat oleh Negara lain yang ideologis.


Lihatlah Amerika yang begitu sulitnya menerima protokol Kyoto ataupun membuat alot pembahasan dalam konferensi perubahan iklim di Bali yang telah berlalu. AS juga begitu bersikerasnya membela kepentingan Israel, apapun keputusan PBB yang mengganggu kepentingan Israel, AS tidak segan-segan untuk memvetonya. AS juga telah melakukan penyerangan ke banyak Negara, Jepang, Vietnam, Irak, Afganistan. AS juga begitu kukuhnya menentang proyek pengembangan nuklir Korea Utara dan juga Iran yang notabene mengembangkan nuklir bukan untuk tujuan pengembangan senjata. AS juga begitu gencar menyerukan demokrasi, globalisasi, pasar bebas, mempertahankan dollar sebagai standar mata uang dunia, menerapkan kebijakan stick or carrot untuk menguasai Negara-negara di dunia ketiga terutama agar tetap setia berada di bawah dominasi AS. Semua itu menunjukkan konsistensi mereka untuk menguasai dunia dengan ideologi yang mereka miliki, yaitu Kapitalisme.


Jika kita memperhatikan sejarah dunia, negara-negara adidaya adalah negara yang memiliki ideologi yang kuat. Lihatlah ketika perang dingin, saat itu terjadi persaingan antara dua ideologi besar dunia: sosialisme-komunisme dan kapitalisme yang pada akhirnya peperangan dimenangkan oleh kapitalisme hingga kini.


Namun, fakta lain yang (sengaja?) kita lupakan, sebelum kapitalisme maupun sosialisme muncul juga terdapat satu negara adidaya yang juga ideologis, yaitu daulah khilafah islamiyah yang wilayah kekuasaannya membentang hingga 2/3 wilayah dunia yang Berjaya hingga 13 abad lamanya, memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Fakta-fakta gemilang peradaban islam (yang bahkan diakui oleh Obama sendiri dalam pidatonya di Kairo Juni kemarin) tidak lain dikarenakan Islam diterapkan secara menyeluruh oleh Negara.


Jadi, akankah Indonesia berjalan ke arah yang lebih baik dengan terpilihnya pemerintahan yang baru? Selama Indonesia tidak memiliki independensi yang bisa terwujud karena kekuatan sebuah ideologi, maka jawabannya adalah TIDAK!!!


Wallahu’alam


pustaka:

Kwiek Kian Gie. “Indonesia Menguggat Jilid II”? Menjabarkan Pidato Proklamasi Calon Wakil Presiden Boediono

http://nusantaranews.wordpress.com/2009/02/13/fakta-fakta-tersembunyi-pemerintah-sby-jk-1/

http://jurnal-ekonomi.org/2009/02/07/neoliberalisme-dan-kebangkrutan-ideologi-kapitalisme/

0 comments: