Thursday, July 1, 2010

Kenaikan TDL 2010: Analisa Sistem, Sejarah Perjalanan Regulasi Dan Solusi Integral Dalam Paradigma Islam

“The Government intends to restructure the power sector to improve efficiency and reduce fiscal burden. With the support of the World Bank and AsDB, the government will (i) establish the legal and regulatory framework to create a competitive electricity market; (ii) restructure the organization of PLN; (iii) adjust electricity tariffs; and (iv) rationalize power purchase from private sector power projects”. —Letter of Intent antara pemerintah dan IMF pada 1999, bab 3 poin 20

“Visi Pengelolaan Energi Nasional adalah terjaminnya penyediaan energi dengan hargawajar untuk kepentingan nasional. Selain itu, menempatkan struktur harga sebagai kendala karena belum mendukung diversivikasi dan konversi energi , dan menempatkan subsidi beban negara.” —Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006

”Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya”(HR Muslim)

”Tiga hal yang tidak boleh dihalangi dari manusia yaitu : air, padang rumput dan api“ (HR Ibnu Majah)

Pada semester dua di tahun ini, sebagaimana rencana sejak tahun sebelumnya, pemerintah hendak menaikan tarif dasar listrik pada bulan juli 2010. Argumen utama yang digunakan dalam mengusulkan kebijakan ini adalah pada perhitungan keuangan RAPBN perubahan 2010. Dalam perhitungan tersebut disebutkan bahwa Biaya Pokok Penyediaan tenaga listrik adalah 144,35 Trilyun. Target dari tingkat pendapatan seharunya sebesar 155,90 Trilyun sedangkan pendapatan dari penjualan tenaga listrik di masyarakat hanya sekitar 95,8 Trilyun. Dengan demikian, kekurangan yang ada sekitar 60 Trilyun. Di lain sisi, alokasi dana dari APBN perubahan 2010 hanya sekitar 55,15 Trilyun. Maka masih terdapat biaya yang belum tertutupi jika hanya mengandalkan alokasi dana dari APBN.

Buruknya performansi finansial PLN ini dianggap menjadi kendala dan indikasi ketidaksehatan PLN sebagai sebuah organisasi. Belum lagi permasalahan teknis dan strategis lainnya, mulai dari kurangnya investasi, kurangnya pasokan bahan bakar pembangkit akibat pricing policy dalam negeri, isu margin rate yang masih kurang dari 30%, rendahnya rasio elektrifikasi, dan lain-lain. Karena itu, kementrian BUMN mendorong PLN untuk melakukan perbaikan sistem dan untuk memulihkan dirinya. Di lain sisi, ESDM meminta PLN untuk tetap mendukung pasokan listrik nasional dan memberikan kualitas terbaik di masyarakat. Akhirnya, kenaikan TDL menjadi sebuah opsi yang paling rasional untuk diambil saat ini.

Pemerintah: Usulan Kenaikan Tarif secara Selektif

Gencarnya pro kontra di masyarakat terhadap rencana kebijakan ini tampaknya menunjukkan kekhawatiran sejumlah kalangan, “Lantas bagaimana dengan rakyat miskin?”. Direktur utama aktif PLN, Dahlan Iskan, menjelaskan bahwa kenaikan tarif sebaiknya diterapkan pada pengembangan usaha untuk menghindari kelangkaan listrik dan untuk menciptakan kondisi PLN yang lebih sehat dan mengurangi subsidi. Beliau pun berargumen lebih lanjut bahwa pembengkakan biaya produksi sudah terjadi sejak awal, hanya saja karena besarnya kontribusi listrik pada biaya produksi, para pengusaha baru merasa terbebani saat TDL dinaikkan. Pengurangan ongkos produksi masih bisa dilakukan dengan memperhatikan faktor lain yang juga turut andil dalam terjadinya high cost.

Pertanyaannya, bagaimana sikap kita terhadap kebijakan ini? Bagaimanakah solusi yang sebaiknya diambil pemerintah dengan melibatkan kepentingan semua pihak: penyehatan PLN, penyelamatan APBN dan kepentingan seluruh masyarakat?

Mempertanyakan Kenaikan TDL sebagai Satu-Satunya Solusi

Krisis PLN adalah sebuah fakta yang tak terelakkan lagi. Sebagai sebuah perusahaan, menjadi tantangan PLN untuk melakukan pembenahan neraca finansialnya dan tetap memberikan performa terbaiknya dalam melayani masyarakat. Namun, yang perlu kita sadari, adanya gap antara pemasukan dan target pendapatan PLN tak bisa langsung diselesaikan dengan kenaikan TDL. Begitu banyak parameter lain yang harus dipertimbangkan, termasuk parameter ekonomi.

Sebelum mengklaim pro atau kontra pada kebijakan ini, dan dalam mengembangkan opsi-opsi alternatif, sebaiknya kita menggali terlebih dahulu apa sebenarnya yang menjadi akar masalah PLN? Sehingga darinya, kita bisa memformulasikan solusi yang tepat dan tanpa memperpuruk keadaan yang ada.

Solusi-solusi yang Mungkin Untuk Menyehatkan PLN

Jika kita merujuk pada paradigma yang sama dengan pemerintah yaitu mengambil aspek finansial sebagai sebuah indikator performansi PLN sebagai sebuah sistem, maka berikut adalah sejumlah alternatif yang mungkin diambil:
• Mengurangi biaya produksi
• Meningkatkan pendapatan

Jelas, peningkatan harga jual listrik untuk menstimulus kenaikan pendapatan PLN bukan satu-satunya solusi. Pertanyaannya apakah tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk mengurangi biaya produksi? Pertanyaan ini akan berujung pada pertanyaan, bagaimana dan apa sebenarnya yang menyebabkan tingginya BPP (Biaya Pokok Produksi)? Bagaimana sebenarnya mekanisme pembentukan harga listrik. Pricing assessment selanjutnya menjadi hal yang urgen pula untuk dibahas.

Namun sebelumnya, mari kita pertimbangkan bahwa listrik adalah sebuah subsistem dari sistem yang lebih besar lagi, yang merupakan suatu kesatuan dinamis yang saling terkait terhadap kehidupan masyarakat. Dari sana, kita bisa melihat sebenarnya apa dan bagaimana dampak kenaikan TDL ini terhadap sistem secara integral.

Ketenagalistrikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Logika penerapan kenaikan TDL secara selektif, seperti apa yang dipaparkan pada bagian pendahuluan menjadi hal yang patut kita kritisi. Benarkah ketika penggunaan 450-900 VA tidak mengalami kenaikan TDL, namun di sisi lain pihak pengusaha dan industri—yang notabene merupakan konsumen listrik dengan kuantitas yang terkena opsi kenaikan harga--adalah kebijakan yang pro kepada rakyat miskin?

Untuk menganalisa sistem yang ada, sebuah laporan yang disusun oleh Committee on Electricity in Economic Growth, National Research Council , Amerika Serikat, pada 1986 dalam publikasi mereka yang berjudul Electricity in Economic Growth mengurai keterhubungan listrik dan pertumbuhan ekonomi. Kajian sistem tersebut bisa kita jadikan rujukan untuk membantu kita melihat apa dan bagaimana pengaruh kebijakan terhadap harga listrik. Begitu pula pengaruh dari harga listrik tersebut terhadap aspek-aspek lainnya yang sangat mungkin menimbulkan efek rantai.



Secara verbal, interaksi antar subsistem tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahwa, kenaikan harga listrik akan mempengaruhi berbagai faktor yaitu (1)konservasi;(2)teknologi; (3)pertumbuhan produktivitas. Dapat kita lihat secara visual bagaimana setiap poin ini akan mempengaruhi aspek lain dan menghasilkan efek rantai yang lebih besar lagi.

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bagaimana harga listrik sangat mempengaruhi kondisi perindustrian dan berefek rantai pada pendapatan kotor nasional. Selain itu, kita juga harus melibatkan aspek inflasi yang mungkin terjadi di masyarakat.

Secara sederhana untuk menggambarkan hal tersebut, sebaiknya dilakuakan perhitungan matematis, berapa jumlah penghematan yang diperoleh rakyat dengan yang tidak mengalami kenaikan TDL terhadap inflasi (kenaikan harga) yang ada di masyarakat akibat kenaikan TDL pada aspek industri? Apakah benar rakyat akan diuntungkan? Lebih dari itu, jika argumen yang dipakai juga adalah untuk menyelamatkan APBN, maka adanya inflasi ini pun akan mempengaruhi APBN itu sendiri karena nilai ekstrinsik uang di masyarakat telah mengalami pengurangan, artinya APBN pun berubah karena memakai asumsi tingkat bunga (yang dipengaruhi tingkat inflasi di masyarakat) yang berbeda dengan sebelumnya. Dengan demikian, kebijakan kenaikan TDL secara selektif –maupun kenaikan TDL tak selektif—belum tentu menjadi “solusi tuntas” bagi permasalahan PLN maupun pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.

Yang menjadi catatan tambahan, hal ini bukan pula berarti pemerintah tidak boleh menaikkan harga TDL sama sekali. Toh, jika pemerintah menaikkan harga listrik namun disertai dengan peningkatan daya beli masyarakat opsi ini masih bisa diterima. Namun, mempertimbangkan kondisi yang ada seperti fakta deindustrialisasi, kompetisi pasar bebas, indeks produktivitas masyarakat Indonesia, dan sistem perekonomian kita yang belum menjamin kenaikan daya beli masyakarakat tersebut, maka sebaiknya pemerintah mengkaji lebih lanjut—hingga ke ranah kuantitatif—mengenai batasan dan kelayakan kenaikan harga yang mungkin diambil.

Dengan demikian, inti dari bahasan pada bagian ini adalah bahwa kenaikan TDL bukanlah solusi tuntas, apabila kita melihat dalam kacamata sistemik (bukan sekedar penyelamatan neraca finanSial PLN).

Biaya Produksi Listrik dan Regulasi yang Sistemik

Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, apa opsi yang bisa kita ambil dalam permasalahan TDL ini? Kita kembali pada alternatif yang disinggung pada poin sebelumnya, yaitu mereview biaya pokok produksi listrik.

Apabila kita telusuri lebih jauh, maka PLN sendiri sebenarnya sedang menghadapi masalah-masalah terkait penggunaan sumber daya pembangkit listrik yang sulit tersedia, kompetisi harga BBM, batu bara dan gas bumi (antara impor dan ekspor). Belum lagi rendahnya investasi yang ada sehingga PLN memiliki kapasitas yang terbatas untuk melayani kebutuhan publik.

Sejarah Ketenagalistrikan Indonesia

Menganalisis permasalahan ketenagalistrikan di Indonesia—mulai dari PLN sebagai organisasi hingga regulasi yang mengaturnya—tidak terlepas dari sejarah ketenagalistrikan itu sendiri. Hakim (2009) dalam artikelnya Babak Baru LIberalisasi Sektor Ketenagalistrikan Nasional mengupas hal ini secara detail. Di tulisan tersebut dapat kita simpulkan bahwa permasalahan ketenagalistrikan bukanlah hal yang murni permasalahan teknis, melainkan terdapat begitu banyak kepentingan, mulai dari Belanda (pra-kemerdekaan) hingga kepentingan asing melalui bantuan-bantuan asing di setiap penyusunan UU ketenagalistrikan. Berikut uraian singkatnya.

Ketenagalistrikan Indonesia diawali oleh penemuan listrik dan teknologi pendukungnya sebelum era revolusi industri di Eropa. Dokumen sejarah yang dimiliki oleh Perusahaan Listrik Nasional (PLN) menjelaskan bagaimana ketenagalistrikan nasional diperkenalkan pada pendudukan Belanda akhir abad 19 berupa pembangkit untuk kepentingan Belanda pada pabrik gula dan pabrik teh yang berfungsi untuk mendukung operasi produksinya. Adapun, pemanfaatan tenaga listrik untuk kepentingan umum dimulai oleh perusahaan swasta Belanda yaitu N V. Nign, yang semula bergerak di bidang gas dan kemudian memperluas usahanya di bidang penyediaan listrik untuk kemanfaatan umum. Pada tahun 1927 pemerintah Belanda membentuk s'Lands Waterkracht Bedriven (LWB), yaitu perusahaan listrik negara yang mengelola berbagai PLTA. Selain itu di beberapa Kotapraja dibentuk perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja.

Di masa pendudukan Jepang, segala aset yang dimiliki Belanda di Indonesia diambil alih. Termasuk didalamnya adalah perusahaan listrik dan personel yang ada di perusahaan tersebut. Singkatnya masa pendudukan Jepang (3,5 tahun) dan politik bumi hangus yang diterapkan Jepang pada saat itu menjadikan industri ketenagalistrikan tidak berkembang pada masa ini.

Penguasaan industri ketenagalistrikan oleh bangsa Indonesia dimulai ketika memasuki masa kemerdekaan. Dipelopori oleh pemuda, buruh, dan pegawai di perusahaan listrik dan gas dengan mengambil alih perusahaan listrik yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang. Kelompok buruh dan pegawai perusahaan listrik ini, kemudian membentuk delegasi untuk menghadap dan melaporkan hasil perjuangan mereka pada Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat yang diketuai oleh M. Kasman Singodimedjo. Selanjutnya, delegasi bersama-sama dengan pimpinan KNI Pusat menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945 tertanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tanggal 27 Oktober ini kemudian ditetapkan menjadi hari Listrik dan Gas.

Penguasaan perusahaan listrik oleh bangsa Indonesia ini tidak serta merta diterima oleh Belanda. Melalui Agresi Belanda I dan II, perusahaan-perusahaan listrik dikuasai kembali oleh Pemerintah Belanda sebagai pemilik awal. Buruh dan pegawai listrik yang tidak menerima penguasaan kembali ini kemudian mengungsi dan menggabungkan diri pada kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas di daerah Republik Indonesia yang tidak diduduki oleh Belanda.

Tahun 1952 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomer 163, tanggal 3 Oktober 1953 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik Milik Bangsa Asing di Indonesia. Nasionalisasi akan dilakukan Pemerintah Indonesia kepada perusahaan listrik asing jika waktu konsesinya habis. Lima tahun pasca duterapkannya kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomer 86 Tahun 1958 tanggal 27 Desember 1958 Tentang Nasionalisasi Semua Perusahaan Belanda dan Peraturan Pemerintah Nomer 18 Tahun 1958 Tetang Nasionalisasi Perusahaan Listrik Dan Gas Milik Belanda.

Intervensi Asing dalam Perjalanan Regulasi Ketenagalistrikan
Meskipun ketenagalistrikan telah diambil alih oleh Indonesia, intevensi asing ternyata tidak lepas dari regulasi ketenagalistrikan tersebut. Sebelum menjelaskannya, berikut poin-poin pengembangan regulasi yang ada terkait ketenagalistrikan (Hakim , 2009).



Jika kita lihat dari perkembangan di atas, maka akan kita temui kata “kompetisi”, atau seperti kata “iklim usaha yang sehat” dan lain sebagainya. Kata-kata ini mewakili adanya penancapan sebuah mindset bahwa PLN sebagai sebuah perusahaan yang harus bisa berkompetisi.

Disini kita harus berhati-hati dalam menganalisisnya. Tentu tidak ada perdebatan bahwa PLN harus bisa menjadi perusahaan yang sehat dan memiliki performansi yang baik. Namun, yang perlu kita cermati, mindset tersebut sering digunakan untuk menarik PLN pada sebuah paradigma pasar bebas yang bisa dilihat dari upaya yang dilakukan jauh hari saat perubahan PLN dari perusahaan umum menjadi PT (layaknya sebuah perusahaan) kemudian PLN dituntut untuk bisa berkompetisi dengan iklim bisnis yang ‘sehat’. Hal ini tidak lain adalah selaras dengan grand design yang telah ditancapkan asing dalam liberalisasi multisektor di negeri ini.

Indikasi adanya intervensi asing ini bukan tanpa alasan. Menurut Dennys Lombard, seorang sejarawan Prancis, kemandirian Indonesia di bidang ekonomi hanya terjadi selama delapan tahun dan berakhir dengan kegalalan yang berakibat tingginya angka inflasi dan besarnya utang luar negeri. Proses westernisasi yang sempat terputus ditahun 1942, sempat tertunda dibawah pendudukan Jepang sampai tahun 1945, berlanjut kembali dengan lambat antara tahun 1954 dan 1964 di bawah Demokrasi Terpimpin. Berawal dari kebijakan pemerintah Orde Baru untuk membuka diri dengan negara-negara Eropa, Amerika, dan Jepang. Kemudian sebuah konsorsium internasional menyetujui penangguhan pembayaran utang, dan nilai rupiah dapat distabilkan dengan mengaitkannya dengan dollar Amerika. Sebagai gantinya pemerintah Indonesia harus mengembalikan aset-aset asing yang pernah dinasionalisasi pada tahun 1957, sekaligus memberikan konsesi-konsesi baru (khususnya minyak bumi dan kehutanan).

Bagaimana dengan aspek ketenagalistrikan? Pembangunan instalasi listrik sejak 1980-an tak lepas daripada dana asing. Pada awal 1990-an, Bank Dunia dan USAID menyokong dana studi kebijakan sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Hasilnya adalah pada tahun 1994, status Perusahaan listrik negara (PLN) diubah dari perusahaan umum (Perum) menjadi perseroan terbatas (PT). Setahun kemudian, didirikanlah dua anak perusahaan PT PLN; PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) I dan PJB II. Kemudian tahun 1999, dana dari luar negeri sebesar US$ 1 miliar juga diterima dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan JBIC untuk program restrukturisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Puncaknya adalah penandatanganan Letter of Intent (LoI) of Government of Indonesia, 16 Maret 1999 atau menjelang pengesahan UU Ketenagalistrikan oleh Presiden Megawati.

Pernyataan yang memperkuat intervensi asing di sektor ketenagalistrikan nasional : Letter of Intent antara pemerintah dan IMF18, di Chapter 3 point 20 disebutkan:
The Government intends to restructure the power sector to improve efficiency and reduce fiscal burden. With the support of the World Bank and AsDB, the government will (i) establish the legal and regulatory framework to create a competitive electricity market; (ii) restructure the organization of PLN; (iii) adjust electricity tariffs; and (iv) rationalize power purchase from private sector power projects.

Walaupun hubungan antara IMF dan pemerintah telah berakhir (melalui penghapusan utang RI) akan tetapi implementasi dan semangat liberalisasi telah menjadi bagian dari perencanaan kebijakan energi jangka panjang.

Dalam Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 yang disusun berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006, ditetapkan bahwa
“Visi Pengelolaan Energi Nasional adalah terjaminnya penyediaan energi dengan harga wajar untuk kepentingan nasional. Selain itu, menempatkan struktur harga sebagai kendala karena belum mendukung diversivikasi dan konversi energi, dan menempatkan subsidi sebagai beban negara.”

Dengan pertimbangan tersebut kemudian disusun strategi dan kebijakan yaitu mengembangkan mekanisme harga keekonomian, dan mendorong investasi swasta bagi pengembangan energi. Adapun upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan mekanisme open acces bagi infrastruktur energi, dan deregulasi di tingkat makro dan mikro. Dari sinilah kemudian disusun program utama, salah satunya adalah restrukturisasi industri energi.

Ketenagalistrikan Indonesia: Masalah Politis-Sistemik

Dari uraian di atas, maka bisa kita lihat bahwa permasalahan ketenagalistrikan bukanlah sekedar permasalahan teknis-finansial, melainkan masalah politis yang melibatkan berbagai kepentingan pihak yang terkait. Jika dibalikkan kepada fungsi dasar dan tujuan dari adanya pemerintah tak lain adalah mengurusi urusan masyarakat, termasuk dalam isu ketenagalistrikan. Karena permasalahannya adalah masalah sistemis maka solusinya juga harus diangkat pada tataran sistemis. Dengan demikian, permasalahan teknis yang berada pada subsistem di bawahnya akan dengan mudah terselesaikan. Lantas bagaimanakah solusi yang tuntas dari kondisi ketenagalistrikan seperti ini?

Solusi Islam atas Ketenagalistrikan

Penulis hendak mensintesa solusi dalam pandangan Islam, sebagai sebuah ideologi dan aturan alternatif bagi masyarakat kita, tak hanya muslim tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Bersumber pada Al-qur’an dan sunnah, Islam menawarkan sejumlah solusi terintegrasi atas ketenagalistrikan.

Pada tulisan ini penulis akan memaparkan 3 solusi Islam atas ketenagalistrikan yaitu sebagai berikut:
- Hukum kepemilikan dalam Islam yang menempatkan ketenagalistrikan sebagai komoditas umum (public goods)
- Mekanisme subsidi dalam pandangan Islam
- Sistem kontrol negara atas mata rantai ketenagalistrikan (bagaimana hubungan antara pemerintah dan swasta)

1. Hukum Kepemilikan atas Ketenagalistrikan

Kepemilikan manusia atas sesuatu menurut hukum syara' diartikan sebagai ijin atau kebolehan yang diberikan oleh As Syari' (Allah, melalui Al Qur-an dan As Sunnah) untuk menguasai dzat sesuatu dan menggunakan sesuatu tersebut sesuai dengan batasan-batasan hukum syariat Islam berdasarkan sebab-sebab kepemilikan yang diatur oleh hukum syariat Islam.

Berdasarkan cara memiliki, maka dalam Islam dikenal tiga macam kepemilikan, yaitu:
- kepemilikan individu (hak milik secara individu)
- kepemilikan umum (hak milik masyarakat secara kolektif)
- kepemilikan negara (hak milik secara negara)

Kepemilikan umum adalah hak untuk memiliki sesuatu secara kolektif bagi manusia. Dasar dari kepemilikan umum adalah hadits Rasulullah yang mengharuskan kepemilikan bersama (persekutuan kepemilikan) atas api, air dan padang rumput serta hadits lain tentang kepemilikan tanah di sekitar danau garam.

Hadits tersebut adalah:
„Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)

Dan juga hadits :
”Tiga hal yang tidak boleh dihalangi dari manusia yaitu : air, padang rumput dan api“ (HR Ibnu Majah)

Dan juga hadits :
”Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api“

Dan juga hadits :
”Muslim itu bersaudara satu sama lainnya, mereka bersama-sama memiliki air dan pepohonan”

Illat kepemilikan umum dari hadits hadits tersebut adalah jumlah yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air yang mengalir). Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
”Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tanah di tambang garam) kepada Rasulullah, maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada dalam majlis, ’Apakah Anda mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya ? Sesungguhnya apa yang Anda berikan itu laksana air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda : (Kalau begitu) tarik kembali darinya” (HR Tirmidzi).

Dengan demikian, fakta yang tercakup dalam kepememilikan umum tidak terbatas pada api, air dan padang rumput, tetapi juga segala sesuatu yang terdapat dalam jumlah yang besar. Disamping itu, segala sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi atau memberikan dampak yang luas bagi manusia termasuk pada kategori sesuatu yang bersifat bagaikan air yang mengalir sehingga juga termasuk dalam kepemilikan umum.

Pada kenyataan sekarang, fakta-fakta yang termasuk dalam kepemilikan umum meliputi:
o Sumber daya air dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, yaitu laut, sungai, danau, air tanah, mata air, rawa, air yang ada di udara.
o Sumber daya energi seperti minyak, batubara, gas, panas bumi, uranium, thorium, energi dari angin, aliran sungai, laut dan biomassa.
o Sistem vegetasi dalam jumlah besar seperti hutan (hutan tropis, hutan bakau, hutan sub tropis dan hutan-hutan lainnya), padang rumput (stepa), padang rumput bersemak (sabana).
o Barang-barang tambang yang terdapat dalam jumlah besar seperti tambang besi, tembaga, nikel, timah, perak, emas, aspal, intan, pasir dan sebagainya.
o Udara.

Dengan demikian, ketenagalistrikan adalah public goods yang wajib dikelola atas kontrol negara untuk kemaslahatan ummat. Adapun mekanisme teknis, diperbolehkan adanya perusahaan swasta namun posisinya tetap berada dalam kontrol penuh pemerintah. Harga energi bisa diserahkan berdasarkan Biaya Pokok Produksi namun haram bagi pemerintah untuk mengambil untung atas public goods tersebut.

Pertanyaannya bagaimana jika dengan BPP tidak mampu dijangkau oleh daya beli masyarakat yang ada? Maka Islam juga memberikan sejumlah alternatif lain yaitu mekanisme subsidi dan APBN syariah.

2. Mekanisme Subsidi dalam Islam

Jika dalam kapitalisme, subsidi dipandang dari aspek intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi secara syariah yaitu: kapan subsidi wajib dan kapan subsidi boleh dilakukan oleh negara.

Jika terminologi subsidi dipandang sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh suatu negara, maka Islam mengakui adanya subsidi dalam Islam. Subsidi merupakan uslub (cara) yang boleh dilakukan negara (khilafah) karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (I’thau ad-daulah min amwaalihaa li ar-ra’iyah) yang menjadi hak khalifah. Khalifah Umar bin Khattab pernah memberikan harta dari baitul Mal (kas negara) kepada para petani Irak agar mereka dapat mengolah tanah mereka. (An-Nabhani, 2004: 119). Atas dasar itu, negara boleh memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, subsidi bahan baku kedelai bagi produsen tempe, dan sebagainya. Boleh juga diberikan subsidi bagi rakyat yang bertindak sebagai konsumen seperti sunsidi pangan (sembako) dan lain sebagainya.

Subsidi juga boleh diberikan negara pada sektor pelayanan publik (al-marafiq al-ammah) yang dilaksanakan oleh negara misalnya:
(1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah)
(2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashirifiyah)
(3) jasa trasnportasi (al-mushawalat al-ammah). (Zallum, 2004: 104).

Subsidi dalam sektor energi—dalam konteks saat ini adalah ketenagalistrikan—adalah salah satu subsidi yang diperbolehkan. Sektor kepemilikan umum (milkiyyah amah) yang sewajarnya dimiliki bersama dan distribusinya dilakukan oleh khilafah tanpa adanya aturan khusus dari syara’ (khilafah berhak menentukan mekanismenya). Khilafah dapat memberikannya secara gratis, bisa pula dengan harga produksi maupun harga pasar. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi pada dasarnya boleh karena hukum dasarnya memberikan harta negara pada individu adalah boleh. Namun, jika pada kondisi terjadi ketimpangan ekonomi, ada aturan syara’ yang lain yaitu adanya Islam melarang beredarnya harta hanya pada golongan tertentu dan hendaknya tersebar di seluruh kalangan. Firman Allah swt:
“supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian” (QS Al-hasyr 59: 7)

Rasulullah saw pernah memberikan fai’ (harta milik negara) kepada Bani Nadhir hanya kepada kaum Muhajirin karena Nabi melihat kondisi yang timpang dari kaum muhajirin (kaum yang hijrah) terhadap kaum Anshaw. (an-nabhani, 2004: 249). Dengan melihat kondisi yang timpang saat ini, maka pemberian subsidi listrik memiliki justrifikasi yang kuat dalam pandangan Islam.

Pertanyaannya, bagaimana jika APBN negara sendiri mengalami defisit? Maka Islam memiliki mekanisme lain yaitu seperangkat aturan APBN syariah, mulai dari sumber-sumber pendapatan negara hingga penerapan pajak selektif di saat genting. Pajak selektif dikenai hanya pada sebagian orang yang mampu dan itupun hanya bersifat temporer (jika dibutuhkan). Daulah diwajibkan mengeksplorasi SDA dan mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran ummat. (Zallum, 2004).

3. Penguasaan Mata Rantai Industri Energi

Solusi teknis lainnya yang bisa dilakukan adalah adanya kendali pemerintah atas seluruh mata rantai industri energi (termasuk ketenagalistrikan). Andang Widi Harto dalam tulisannya “Kebijakan Energi Dalam Perspektif Islam” telah menguraikan hal ini secara detail, bagaimana mekanisme dan rantai nilai di industri dari setiap resource energy yang ada mulai dari minyak bumi, gas alam, BBN, hingga hidrogen. Pemerintah harus bisa mengatur kebijakan yang berkenaan industri energi mulai dari ketersediaan, industri hulu, industri menengah dan industri hilir. Industri pendukung dan perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak harus pemerintah. Peran swasta juga bisa dilibatkan asalkan pemerintah tetap memiliki posisi kontrol penuh atas sistem yang ada.

Diagram Umum Mata Rantai Industri Energi





Kesimpulan
• Permasalahan ketenagalistrikan adalah permasalahan yang sistemis, bukan sekedar teknis financial PLN dan penyelamatan APBN negara.

• Dari sejarah regulasi ketenagalistrikan maka terlihat jelas adanya intervensi asing dalam liberalisasi regulasi ketenagalistrikan

• Kenaikan TDL adalah salah satu imbas dari adanya liberalisasi ketenagalistrikan Indonesia yang patut kita kritisi

• Terdapat dua opsi yang bisa ditempuh PLN: meningkatkan pendapatan dengan menaikkan harga dan menurunkan biaya produksi.

• Kebijakan menaikkan TDL berdampak sistemis dan belum tentu menjadi solusi tuntas.

• Islam menawarkan solusi tuntas mengenai penyehatan PLN dan masalah ketenagalistrikan yaitu:
- Hukum kepemilikan dalam Islam yang menempatkan ketenagalistrikan sebagai komoditas umum (public goods)
- Mekanisme subsidi dalam pandangan Islam
- Sistem kontrol negara atas mata rantai ketenagalistrikan

Wallahu’alam bi ashawab.

2 comments:

THANKS YA .POSTINGNYA SANGAT MEMBANTU

thanks ya postingnya sangat membantu and jangan lupa mampir di blog saya ..