KRISIS PANGAN DUNIA : SALAH SIAPA ?
Oleh : azZahra
“Skandal terbesar global bukanlah kelaparan, bahkan kelaparan tetap akan ada walau kita memiliki cara untuk menghilangkannya. Skandal terbesar global adalah mendiamkan isu kelaparan dan tidak berbuat apa-apa. Saatnya untuk mengambil aksi. Kelaparan tidak bisa menanti!”(Deklarasi Konferensi 55 Negara Menjelang Sidang Majelis Umum ke-60 PBB di New York, AS, 20 September 2004)
Dunia kelaparan. Berkurangnya pasokan di pasar komoditi internasional yang disinyalir menyebabkan kenaikan harga makanan pokok di banyak negara, menyebabkan kekacauan dunia. Berdasarkan data dari Bloomberg dan FAO, dalam kurun waktu setahun terakhir (terhitung Maret 2007-Maret 2008) tercatat kenaikan harga jagung mencapai 31%, beras 74%, kedelai 87%, dan gandum hingga 130%, di samping sejumlah bahan pokok lainnya. Kenaikan harga tersebut membuat sebagian besar penduduk dunia kalang kabut memenuhi kebutuhan pokok mereka itu. Terlebih bagi 2,8 milyar orang yang hanya berpenghasilan US$ 2 atau kurang tiap harinya. Kini, semakin banyak saja manusia yang memiliki keterbatasan akses pangan.
Kegalauan publik ini pun ditunjukkan dengan adanya gelombang protes yang muncul di mana-mana. Di Kamerun, 24 orang meninggal dan 1.600 orang diamankan pada Februari lalu menyusul aksi menolak tax slashed terhadap tekanan impor dan gaji sektor publik sebanyak 15%. Di Mesir, tujuh orang meninggal akibat berkelahi dan akibat kekelahan saat mengantri mendapatkan roti bersubsidi. Di Pakistan, ribuan tentara disebar untuk mengawal truk-truk yang mengangkut gandum dan terigu. Sementara di Burkina Faso, terjadi pemberontakan di tiga kota karena kegagalan pemerintah memenuhi janjinya dalam mengontrol harga bahan makanan. Yang terheboh adalah peristiwa di Haiti yang akhirnya mendesak parlemen untuk menurunkan perdana menteri mereka.
Menurut laporan Bank Dunia (World Bank) saat ini 37 negara terancam instabilitas politik akibat krisis pangan ini. Direktur Bank Dunia Robert Zoellick menyatakan bahwa krisis pangan ini mengakibatkan 100 juta orang di negara miskin terancam kelaparan. Berdasarkan data FAO, di seluruh dunia terdapat sebanyak 845 juta orang yang kekurangan pangan. Yang lebih mengenaskan, lima juta balita meninggal tiap tahunnya karena gizi buruk. Program Pangan Dunia PBB atau WFP memperkirakan sudah ada 20 juta orang yang terpukul krisis pangan. Sekitar 100 juta orang lagi kini sudah memasuki kategori kelaparan. Enam bulan lalu mereka belum memasuki kategori itu. Krisis pangan mirip serangan tsunami. Direktur Eksekutif WFP Josette Sheeran di London, Rabu (23/4), mengatakan, krisis pangan mirip serangan tsunami yang diam (silent tsunami). Tsunami ini telah menebar bencana kelaparan di mana-mana.
Begitu pun yang terjadi pada tahun-tahun silam. Prakarsa dunia mengatasi kelaparan global ini tidak mengalami kemajuan berarti dari masa ke masa. Pada tahun 2002, 815 juta penduduk di negara-negara berkembang mengalami kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Dalam konferensi menjelang Sidang Majelis Umum ke-60 PBB di New York, 21 September 2004, terungkap jumlah penduduk kelaparan meningkat menjadi satu miliar (Kompas, 28 September 2004). Data FAO menyebutkan bahwa satu dari tiap lima penduduk dunia kekurangan gizi. Sementara 777 juta penduduk lainnya menderita kelangkaan pangan, satu langkah lagi menuju kelaparan (Kompas, 17 Juni 2002).
Negeri Subur Kurang Pangan
Orang kelaparan tidak semata-mata karena tidak ada makanan. Ketika makanan berlimpah pun kelaparan bisa saja terjadi. Banyak laporan yang menyebutkan produksi pangan yang terus meningkat. Setelah bertahun-tahun tidak berswasembada, BPS memperkirakan tahun 2004 Indonesia bisa berswasembada beras (Suara Pembaruan, 2 Nopember 2004). Diperkirakan produksi padi nasional hingga Desember 2004 mencapai 54,34 juta ton gabah kering giling, sama dengan 34 juta ton beras, naik 4,23% dari tahun 2003, melebihi kebutuhan beras domestik, yakni 31 juta ton. Surplus ±2 juta ton, itu setara dengan jumlah impor pada tahun 2004. Namun kelaparan tetap merupakan problem kronis. Di tengah surplus pangan, antara 1996-2001 neraca pangan kita tumbuh positif (antara US$ 1,4 miliar-2,95 miliar)(Suryana, 2002), namun penduduk yang rawan pangan di tahun 2002 sampai 31,75 juta (15,16%). Sedangkan 84,80% penduduk konsumsi energinya di bawah rekomendasi (2.200 kkal/kapita/hari). Di bawah tahun 2000, terdapat 138 kabupaten/kota atau 42,59% yang rawan pangan beresiko tinggi dan mencapai lebih tinggi pada tahun 2001 (126 kabupaten/kota atau 40,5%)(Departemen Pertanian,2004). Bahkan di tahun 2005, kita dikejutkan oleh kabar kelaparan kronis yang melanda 10 kabupaten di NTT. Kondisi ini terus berulang tanpa koreksi.
Di bidang ketahanan pangan, berdasarkan data produksi padi nasional menunjukkan bahwa kita tidak hanya mengalami surplus di tahun 2004, namun juga di tahun 2007 dengan produksi sebesar 57,05 juta ton gabah kering giling atau 33,43 juta ton beras, meningkat 2,59 juta ton gabah kering giling atau 4,76% dibanding produksi tahun 2006. Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai sejak dua belas tahun terakhir. Data BPS juga menunjukkan kenaikan pada komoditas jagung, tebu dan sapi. Produksi jagung tahun 2007 naik 14,39 % dibandingkan tahun 2006. Adapun pada tahun 2007 produksi tebu dan daging berturut-turut naik sebesar 4,91 % dan 2,20 % dibanding produksi tahun 2006. Begitu juga terjadi kenaikan produksi padi di tahun 2008 dibandingkan tahun 2007 sebesar 2,13% (Lihat Tabel 1). Namun mengapa harus ada kasus kelaparan dan kerawanan pangan pada tahun-tahun ini ? Apakah ini yang dinamakan dengan kutukan SDA ?
Masalah Pangan di Indonesia
Baik miskin harta atau miskin pemahaman akan gizi, adalah penyebab utama kerawanan pangan, yang angkanya di Indonesia mencapai 110 juta, separuh dari penduduk Indonesia (Kompas, 24 Januari 2002). Karena kelaparan atau kurang gizi terjadi bukan karena tak ada makanan, tetapi karena orang tidak bisa memiliki makanan. Ditariknya subsidi BBM oleh pemerintah terbukti justru meningkatkan jumlah orang miskin di negeri ini. Begitupun dengan kebijakan pro-liberal lainnya yang justru menyengsarakan rakyat. Kenaikan harga BBM, konversi minyak ke gas, kenaikan tarif dasar listrik justru semakin meningkatkan jumlah antrian masyarakat miskin di negeri ini. Begitupula halnya dengan adanya privatisasi kesehatan yang kian menambah panjang daftar pengeluaran masyarakat. Adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintah kepada masyarakat dan subsidi kesehatan yang rendah tidak mampu menutupi masalah yang timbul. Menurut data BPS awal tahun 2007 pengangguran terbuka mencapai 10,55 juta orang, sementara angkatan kerja baru tahun ini diperkirakan 2,1 juta. Padahal pada tahun 2006, 1% pertumbuhan ekonomi hanya berkolerasi dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 48 ribu orang. Dengan demikian tahun 2008 akan terjadi ledakan kemiskinan, yang pada tahun 2006 saja jumlahnya mencapai 128,94 juta orang. Padahal 80 % pengeluaran penduduk miskin hanya untuk memenuhi kebutuhan pangannya saja, dimana 60% dari jumlah tersebut digunakan untuk beras.
Ini memang negeri paradoks, dimana kelaparan di tengah kelimpahan pangan bukanlah hal baru. Jika pada tahun 1984 lalu, Indonesia memperoleh predikat swasembada beras, saat ini menjadi negara importir beras terbesar di dunia. Prestasi ini makin lengkap dengan predikat sebagai negara importir kedelai terbesar di dunia, dan importir gula kedua terbesar di dunia setelah Rusia. Ironis, sebagai negara agraris, tanah kita dikenal sangat subur, bisa ditanami sepanjang tahun, sumber daya alam dan plasma nutfahnya melimpah.
Lalu apakah yang terjadi selama ini adalah semata-mata karena produksi Indonesia yang menurun dari tahun ke tahun? Kejadian kelangkaan minyak goreng pada tahun lalu membuktikan hal sebaliknya. Indonesia merupakan negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar kedua di dunia. Jumlah produksi minyak sawit indonesia sebesar 13,5 juta ton per tahun, dari angka tersebut 9 juta ton diantaranya diperuntukan untuk diekspor ke Uni Eropa, China dan India. Jumlah ini meliputi palm oil maupun palm kernel oil. Namun toh Indonesia pun saat itu tidak sanggup menjaga kestabilan harga minyak goreng saat terjadi kenaikan harga di tingkatan global akibat euforia biodiesel sedang marak di dunia. Bukankah saat itu Indonesia berada pada posisi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar, paling tidak pasar nasional? Namun toh hasilnya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Semua kejadian ini menimbulkan pertanyaan yang mengganjal di dalam hati, apakah Indonesia sudah sedemikian inferiornya sehingga semua kejadian di tingkat nasional ini hanya merupakan ekses dari kejadian global tanpa mampu berbuat apa-apa terhadapnya?
Walaupun produksi bukanlah masalah pangan mendasar di negeri ini, namun ini tetap menjadi faktor yang harus diselesaikan pula. Pada tahun 2005 saja indonesia telah mengimpor gula sebanyak 1,6 juta ton sementara produksi indonesia pada tahun yang sama hanya sebesar 1,8 juta ton. Produksi gula dalam negeri tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan memiliki kecenderungan produksi yang menurun dari tahun ke tahun (Lihat Gambar 1). Begitupula dengan nilai rendemen gula yang diproduksi kian menurun (Lihat Gambar 2). Minimnya perhatian dari pemerintah terhadap perkembangan industri, teknologi, dan pertanian di Indonesia merupakan faktor penyebab industri pertanian di Indonesia harus rela mengalah dengan produk pertanian impor yang sangat murah.
Masalah Distribusi
“Dewasa ini, 826 juta orang menderita kekurangan pangan yang sungguh kronis dan juga serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 miliar orang (dua kali lipat dari jumlah penduduk sekarang) tanpa masalah sedikit pun”(Rahman, Shukor, 2001, New Straits of Malaysia Times)
”Kelaparan adalah persoalan distribusi yang timpang (maldistribution) dan masalah ketidakadilan bukan masalah kekurangan pangan. Makanya, meskipun ada kelimpahan, kelaparan tetap saja menghantui”(WHO, 2001, Determinant of Malnutrition)
Apakah dunia kekurangan suplai pangan sementara jumlah penduduk terus meningkat sebagaimana ramalan Malthus dalam Essay on the Principle of Population? Ternyata tidak. Pada kenyataannya walau penduduk dunia ini telah meningkat sekitar enam kali lipat dibandingkan penduduk dunia pada saat Malthus menulis paper-nya, produksi pangan pun turut meningkat seiring perkembangan teknologi pertanian. Sebagaimana ditegaskan Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah tidak pernah terjadi kekurangan bahan pangan. Masalahnya terletak pada distribusi yang tidak merata hingga krisis kerap terjadi. Belum lagi belakangan ini sebagian produksi pangan dialihkan penggunaannya untuk biofuel. Tercatat sebesar satu milyar ton dari 2,1 milyar ton produksi grain dunia dialihfungsikan untuk biofuel (FAO). Hal ini cukup berperan besar melambungkan harga pangan dunia, yang otomatis memperkecil akses sebagian penduduk.
Liberalisasi Pangan
Masalah krisis pangan Indonesia ini tidak hanya karena negeri ini sudah salah urus, tetapi juga karena Indonesia sudah terjebak oleh permainan globalisasi pertanian. Lewat program structural adjustment dari Agreement on Agriculture (AoA), IMF, Bank Dunia, dan WTO, mendesak tarif bea masuk pasar domestik yang sangat ramah impor, dan menyulap Indonesia menjadi negara berkembang paling liberal di dunia. Impor pun melonjak tinggi, sebaliknya, ekspor komoditas pertanian merosot. Sejak tahun 1994 Indonesia jatuh dari net food exporter country menjadi net importer country. Dari hari ke hari angka ketergantungan impor atas pelbagai komoditas pangan terus menanjak.
AoA menghancurkan pasar pertanian Indonesia, dan menggeser basis produksi pangan, dari dalam negeri menjadi lebih pada impor. Enam tahun setelah AoA disepakati impor beras melonjak sampai 664%. Impor gula, dalam kurun waktu yang sama, meroket sampai 356%. Kebijakan pangan pemerintah bukan bertumpu pada lahan, tetapi pada pasar dunia (baca:oligopoli perdagangan). Sistem produksi pangan dalam negeri lantas rusak, dan sarana serta prasarana produksi selama beberapa masa tidak berguna (Khudori, 2004). Dengan membuka pasar domestik lebar-lebar, sama saja memaksa petani kita yang gurem, miskin, dan tradisional untuk bertarung dengan petani negara-negara maju yang kaya dan ditopang beragam proteksi serta subsidi besar-besaran dari negaranya. Pertanian di AS saja didukung lebih dari 100 jenis undang-undang. Mulai dari Sugar Act 1774, Homestead Act 1862 yang membuat petani memperoleh lahan pertanian lebih dari 65 hektar, dan sebagainya.(Pakpahan, 2004). Begitulah standar ganda sistem liberalisasi pertanian. Di negeri ketiga memaksa untuk melonggarkan proteksi, sedang di negeri maju melakukan perlindungan dan subsidi besar-besaran.
Mata rantai perdagangan pangan, baik di negara maju maupun di negara berkembang, saat ini sudah tidak lagi dikontrol oleh negara, tetapi oleh corporate. Sepuluh perusahaan mengontrol 32% dari bibit yang diperdagangkan senilai US$ 32 miliar, dan 100% dari pasar bibit transgenik. Hanya lima perusahaan yang mengontrol perdagangan biji-bijian (Shiva, 2000). Pada tahun 1998, bisnis pestisida yang bernilai sekitar US$ 31 juta, 73%-nya dikontrol oleh sepuluh perusahaan pertanian transnasional (New Internationalist, 2000). Ekspor gula hanya terkonsentrasi pada sedikit negara dan pengekspor gula hanya terpusat pada 7 perusahaan transnasional seperti Cargill, T&L, Man, Dryfus, dan Cubazukar. Mereka menguasai 83,2% pangsa pasar dunia (Nodeco, 1996). Studi CAFOD di Burkino Paso menyimpulkan bahwa control jaringan pasar yang sangat kuat dari perusahaan mengakibatkan tidak jelasnya hubungan antara harga global dan harga konsumen (Saragih, 2004). Adanya kartel perusahaan pangan ini sangat memungkinkan terjadinya spekulasi harga pangan dunia.
Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia, terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).
Dari fakta di atas, terlihat bahwa akar masalah krisis pangan di dunia ini adalah adanya permasalahan sistem distribusi, liberalisasi pertanian, dan adanya kartel perusahaan pangan yang pada akhirnya memberi peluang yang sangat besar bagi spekulan untuk mempermainkan harga pasar. Hal ini pasti terjadi dalam sistem ekonomi yang menempatkan scarcity atau faktor kelangkaan sebagai masalah ekonomi yang utama (baca:kapitalisme), dan melandaskan pertumbuhan ekonominya pada penguasaan sektor non real. Otomatis solusi yang dikedepankan melulu soal produksi dan produksi, sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya. Aspek pendistribusian yang merata tidak diperhatikan, sehingga yang kuat semakin kuat, dan yang lemah tak bisa berbuat apa-apa. Makanan dalam pandangan kapitalisme tak ubahnya seperti komoditas ketika berhadapan dengan sistem lain dalam kehidupan.
“Makanan adalah kebutuhan jasmani yang tak terelakkan bagi umat manusia (the primary determinants of survival) maka pangan menjadi barang yang langka (scarcity) ketika dihadapkan dengan sistem-sistem ekonomi dan politik yang lebih luas”(Melville J.Herskovitas)
Membangun Kedaulatan Pangan
Pangan merupakan masalah besar bagi setiap individu, tak peduli ia miskin atau kaya. Bagaimanapun pangan termasuk kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi demi keberlangsungan kehidupan. Bagaimana bisa seseorang berkreasi dan menghasilkan karya intelektual bila pada saat yang sama ia kelaparan? Bagaimana pula suatu bangsa berharap dapat maju dan bangkit bila persoalan pangan rakyatnya saja belum diselesaikan?
Dalam Islam, pangan merupakan salah satu kebutuhan primer seorang warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Tanggung jawab pemerintah adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan tiap individu. Sebagaimana halnya yang pernah dilakukan Khalifah Umar r.a. Beliau bahkan memanggul sendiri gandum untuk keluarga miskin yang diketahui tak terpenuhi kebutuhan pangannya. Itulah gambaran tanggung jawab dan dedikasi berlandaskan keimanan dari seorang pemimpin pada rakyatnya.
Negara harus dapat menyelesaikan permasalahan ketidakmampuan individu dalam negerinya untuk membeli kebutuhan pangan. Adanya kenaikan harga bahan pokok bisa jadi terjadi karena adanya penimbunan barang atau karena kelangkaan barang tersebut. Apabila tidak adanya barang tersebut karena terjadi penimbunan, maka daulah akan segera menindaknya dengan sistem hukum yang tegas., karena penimbunan tersebut jelas diharamkan oleh Allah. Begitupun adanya spekulan pasar yang dapat menaikkan harga dengan begitu mudahnya, diharamkan dalam Islam, seperti yang diriwayatkan Ma’qal bin Yassar bahwa Rasulullah saw berkata :
“Siapa saja yang terlibat dalam sesuatu yang berupa harga bagi kaum muslimin, agar dia bisa menaikkan harga tersebut kepada mereka, maka kewajiban Allah untuk mendudukanmu dengan sebagian besar (tempat duduknya) dari neraka, kelak pada hari kiamat nanti”
Apabila barang tersebut tidak ada karena barangnya memang langka, maka khalifah diharuskan untuk melayani kebutuhan umum tersebut. Di masa Umar bin Khaththab, pernah terjadi masa panceklik (amur ramadah) yang terjadi hanya di Hijaz, sebagai akibat langkanya makanan pada tahun tersebut. Maka karena langkanya makanan di sana, harga makanan tersebut membumbung tinggi. Namun beliau tidak mematok harga tertentu untuk makanan tersebut, bahkan sebaliknya, beliau mengirim dan menyuplai makanan dari Mesir dan negeri Syam ke Hijaz. Sehingga di pasar menjamin ketersediaan pasokan pangan. Dari peristiwa ini terlihat bahwa khalifah harus berusaha mencukupi barang tersebut di pasar , dan mengusahakannya dari kantong-kantong pusat barang tersebut (lumbung beras). Dengan cara seperti itu, harga yang membumbung tinggi dapat dihindari. Tentunya mengupayakan adanya lumbung-lumbung beras di wilayah strategis Indonesia bukanlah hal yang terlampau sulit. Di Sukabumi, Jawa Barat terdapat sebuah daerah yang tidak pernah kekurangan pangan karena adanya lumbung beras yang selalu menyediakan cadangan beras untuk warganya. Warga daerah tersebut tidak pernah kekurangan beras karena beras yang dihasilkan oleh warganya tidak pernah dijual dan disimpan untuk kebutuhan bersama (Suara Pembaruan, 16 Agustus 2004).
Membangun kedaulatan pangan tidaklah mustahil, kata kuncinya adalah kemandirian, bertumpu pada sumber daya dan berbagai perangkat sistem kehidupan (ekonomi, hukum, politik luar negeri, dsb). Ketahanan pangan bermakna ketersediaan pangan di pasar dunia, namun lebih jauh lagi kedaulatan pangan bermakna hak umat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, tidak bergantung pada makanan ataupun pertanian impor. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat keamanan pangan. Karena itu, negara tersebut haruslah mandiri dalam kebijakan pertanian yang dijalankan, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal, dan perdagangan di wilayahnya. Negara harus mandiri dalam menentukan kebijakannya sendiri, bukan di bawah bayang-bayang badan perdagangan internasional ataupun korporasi kapitalisme global.
Sistem ekonomi Islam bertumpu pada sektor ekonomi real, dan menghindarkan sistem non real yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam Islam memang tidak ada pematokan harga oleh negara, karena harga ditentukan oleh kesetimbangan mekanisme pasar (adanya permintaan dan penawaran). Namun Islam melarang adanya monopoli ataupun kartel terhadap pasar. Subsidi yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan primer pun akan diberikan kepada masyarakat. Sistem hukum dan administrasi Khilafah pun akan menghindarkan terjadinya penyelundupan ataupun penimbunan bahan pangan. Begitupun dengan perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya bidang pangan dan rekayasa genetika, yang sangat didukung oleh negara dengan sistem pendidikan Islam. Begitupun sistem pertanian Islam akan mengembangkan potensi lahan Indonesia sebesar-besarnya demi kemaslahatan umat.
Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mustlâ mengungkapkan, dalam Islam, pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi), seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas tanah. Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan), seperti menambah luas area yang akan di tanam. Lahan pangan harus dijaga keberadaan dan produktivitasnya oleh khalifah, bukan justru dialihfungsikan menjadi gedung perkantoran ataupun pusat perbelanjaan. Dari data Departemen Pertanian, lahan sawah setiap tahunnya berkurang sekitar 40 ribu hektar hingga 100 ribu hektar pertahun. (Republika, 15/02/2007). Selain itu, intensifikasi pertanian dapat dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik-teknik modern di kalangan para petani, dan membantu pengadaan benih serta budidayanya, termasuk melakukan bioteknologi untuk bidang pertanian. Salah satunya adalah bioteknologi transgenik, yakni dengan menghasilkan varietas yang lebih unggul. Kemandirian produksi merupakan tujuan strategi pertanian ini dan melakukan impor besar adalah tindakan yang kontraproduktif.
Adapun ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, Pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ»
“Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil” (HR Bukhari dan Muslim)
Gambaran bagaimana sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khalifah dalam menangani krisis seperti sekarang, dengan akan terlihat dengan penerapan beberapa instrumen syariah seperti reformasi pengaturan penggunaan tanah. Reformasi ini akan dilakukan dengan mendistribusikan ulang tanah yang menganggur. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kompetisi di sektor pertanian yang didukung oleh dana investasi dari negara dalam pengembangan infrastruktur pertanian, seperti penelitian dan perbaikan mutu benih-benih unggulan. Menarik untuk diingat bahwa di tahun 1950-an, Korea dan Taiwan, sebagai macan ekonomi Asia, membangun roda perekonomiannya diawali dengan reformasi pengaturan penggunaan tanah dan investasi pertanian, sehingga mampu memperbaiki tingkat pendapatan dari pertumbuhan sektor pertanian.
Pangan adalah suatu kebutuhan yang paling vital bagi seorang manusia. Karena itu, negara akan benar-benar menaruh perhatian dan mendahulukan akan hal ini. Pengabaian akan hal ini, misalnya dengan memperumit jalur distribusi dan birokrasi ataupun menyepelekannya merupakan dosa. Jika terjadi kelaparan, tidak hanya negara, seorang individu muslim pun memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tetangganya dan saudara muslim yang lain.
“Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan maka jaminan Allah telah lepas dari mereka”(HR Ahmad, al-Hakim,dan Abu Ya’la)
“Tidak sempurna iman seseorang kepadaku yang bermalam dalam kondisi kenyang, sementara tetangganya kelaparan di sisinya dan ia mengetahuinya”(HR ath-Thabrani dan al Bazar)
Dengan mekanisme pengaturan pangan dan pertanian yang sinergis dalam kerangka aturan Islam menyeluruh seperti inilah, Khilafah Islamiyah mampu menghidupi warga negaranya seluas 2/3 wilayah dunia. Bahkan Khalifah pernah mendapatkan surat ucapan terima kasih dari pemerintah AS atas bantuan pangan yang dikirimkan Khilafah kepada AS saat dilanda kelaparan pasca perang dengan Inggris pada abad ke-18.
Wallahu a’lam bish shawab
LAMPIRAN
Tabel 1. Data produksi padi Indonesia tahun 2004-2008
Year | Harvested Area (Ha) | Yield Rate (Qu/Ha) | Production (Ton) | Production Growth (%) |
2004 | 11.922.974 | 45,41 | 54.088.468 | 3,74 |
2005 | 11.839.060 | 45,74 | 54.151.097 | 0,12 |
2006 | 11.786.430 | 46,20 | 54.454.937 | 0,56 |
2007*) | 12.124.827 | 47,05 | 57.051.679 | 4,77 |
2008**) | 12.299.391 | 47,38 | 58.268.796 | 2,13 |
Sumber : www.bps.go.id
0 comments:
Post a Comment