Miss World: Representasi Eksploitasi Atau Pemberdayaan Perempuan?

Jumat sore, 20 September 2013, Female HATI ITB mengadakan Bincang Sore Seputar Perempuan di selasar TOKA ITB, mengangkat tema "Miss World: Representasi Ekslpoitasi atau Pemberdayaan Perempuan?"

Diskusi Ilmiah Politik: Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?

Sabtu (20/4/13), di Gedung Alumi Sipil, unit kajian HATI (Harmoni Amal Titian Ilmu) ITB menggelar DIP (Diskusi Ilmiah Politik) yang berjudul "Saat Demokrasi Dipertanyakan, Khilafah Diperjuangkan, Apa Peran Perempuan?"

Diary HATI Edisi 3/2013

Buletin bulanan Female HATI ITB

UU KETENAGALISTRIKAN UNTUK PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN YANG LEBIH BAIK?

Sekitar satu bulan yang lalu DPR kembali mengesahkan UU Ketenagalistrikan (UUK) 2009 melalui sidang pleno pada tanggal 8 September 2009 setelah sebelumnya UU yang serupa yaitu UU No. 20 tahun 2002 ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.

KEJAYAAN KHILAFAH : SANG KHALIFAH SULAIMAN AL QONUNI

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia - baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Sunday, September 28, 2008

Penentuan Ramadhan, Syawal dan Idul Adha

Daftar Isi

  1. Ibadah dalam Islam
  2. Hadits Marfuu' dan Mawquuf
  3. Penentuan Ramadhan dan Syawal
    1. Peran Perhitungan Astronomis dalam Penentuan Ramadhan dan Syawal
    2. Klaim Rukyat Lokal
    3. Klaim Rukyat Global
      1. Kendala Rukyat Global
  4. Penentuan Idul Adha

Ibadah dalam Islam

Islam mencakup akidah dan syariat. Akidah meliputi perkara-perkara keimanan, sedangkan syariat meliputi perkara-perkara praktis. Termasuk dalam syariat yaitu hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, ekonomi, pemerintahan, pergaulan, peradilan, sanksi, dakwah, dan jihad.

Ibadah merupakan bentuk interaksi manusia dengan Allah. Padahal, hanya Allah yang tahu mengenai diri-Nya. Dengan demikian, teknis pelaksanaan ibadah sepenuhnya merupakan wewenang Allah. Ekstremnya, kalau Allah sama sekali tidak menerangkan adanya aktivitas ibadah, maka manusia tidak boleh mengadakan aktivitas ibadah.

Jadi, dalam hal ibadah, segala hal mengenai pelaksanaanya harus merujuk pada dalil. Hukum asal ibadah yaitu haram kecuali ada dalil yang menerangkannya.

kembali ke daftar isi


Hadits Marfuu' dan Mawquuf

Dalam ilmu hadits, dikenal istilah hadits marfuu' dan mawquuf. Hadits marfuu'marfuu' bisa dikenali dari isinya yang secara eksplisit merujuk pada aktivitas Rasulullah atau bisa juga dari indikasi-indikasi tertentu. yaitu hadits yang disandarkan pada perkataan, perbuatan, atau pendiaman Rasulullah. Hadits

Hadits mawquuf' yaitu "hadits" yang tidak sampai ke Rasululah. Dengan kata lain, hadits mawquuf' pada dasarnya hanyalah perkataan, perbuatan, atau pendiaman sahabat. Derajat paling tinggi untuk hadits mawquuf' yaitu ijtihad sahabat, bukan "hadits" yang sebenarnya.

Dalam dokumen ini, indikasi-indikasi hadits marfuu' tidak akan saya bahas. Yang akan saya sampaikan yaitu bahwa hadits marfuu', jika memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak akan saya bahas, dapat digunakan sebagai dalil syar'iymawquuf' tidak dapat digunakan sebagai dalil syar'iy karena bukan berasal dari Rasulullah. karena berasal dari Rasulullah, sementara hadits

kembali ke daftar isi


Penentuan Ramadhan dan Syawal

Ramadhan dan Syawal ditentukan berdasarkan rukyat, atau pengamatan, hilal atau Bulan sabit pertama, bukan perhitungan. Berikut dalil-dalil untuk klaim tersebut.

"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR Bukhari nomor 1776 dari Abu Hurairah)
"Apabila kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya (hilal), maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah." (HR Bukhari nomor 1767 dari Abu Hurairah)
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh hari." (HR Muslim nomor 1810 dari Abu Hurairah)
"Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya. Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari." (HR Bukhari nomor 1773, Muslim nomor 1795, an Nasa'i nomor 2093; dari Abdullah bin Umar)

kembali ke daftar isi

Peran Perhitungan Astronomis dalam Penentuan Ramadhan dan Syawal

Ramadhan dan Syawal ditentukan dengan rukyat hilal. Kalau begitu, apa peran perhitungan astronomis dalam penentuan Ramadhan dan Syawal?

Perhitungan astronomis hanya boleh digunakan untuk menentukan kapan saat rukyat hilal dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengantisipasi kemungkinan keterlambatan rukyat hilal, pengamatan fase Bulan dapat dilakukan sejak sehari sebelum tanggal terjadinya konjungsi Bulan menurut perhitungan.

kembali ke daftar isi

Klaim Rukyat Lokal

Ada pihak yang menganggap bahwa tiap tempat di Bumi memiliki mathla' (tempat terbit) sendiri-sendiri. Konsekuensi dari anggapan ini yaitu tiap tempat bisa memiliki hasil pengamatan hilal yang berbeda satu sama lain dan berlaku untuk tempat yang bersangkutan. Anggapan ini didasarkan pada hadits berikut.

"Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, "Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu 'Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, "Kapan kalian melihat hilal?" Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jumat." Dia bertanya lagi, "Apakah kamu sendiri melihatnya?" Aku jawab lagi, "Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata lagi, "Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu, maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya." Aku lalu bertanya, "Tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Muawiyyah?" Dia menjawab, "Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami."" ( HR Muslim nomor 1819, Abu Dawud nomor 1985, at Tirmidzi nomor 629, an Nasa'i nomor 2084, Ahmad nomor 2653; dari Kuraib)

Hadits di atas memiliki dua kelemahan. Berikut penjelasan kelemahan hadits di atas.

  1. Status hadits Kuraib masih diragukan, apakah termasuk marfuu' atau mawquuf (lihat pasal Hadits Marfuu' dan Mawquuf). Jawaban Ibnu 'Abbas, "Laa, hakadzaa amaranaa Rasuulullah ... ," atau, "Tidak, demikianlah Rasulullah telah memerintahkan pada kami ... ," muncul sebagai tanggapan atas peristiwa yang disampaikan Kuraib pada Ibnu 'Abbas. Lafal "amaranaa" yang bermakna "telah memerintahkan kepada kami" memang seolah-olah menunjukkan bahwa Ibnu 'Abbas merujuk pada Rasulullah. Yang jadi masalah yaitu apakah peristiwa serupa pernah terjadi pada masa Rasulullah.

    Berikut contoh hadits yang juga menggunakan lafal "amaranaa".

    "Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fitrah agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk salat." (HR Abu Dawud)

    Peristiwa yang dibahas dalam hadits di atas jelas terjadi pada masa Rasulullah. Ini berbeda dengan hadits Ibnu 'Abbas yang seolah-olah muncul sebagai jawaban atas perkara yang muncul pada masanya. Perkataan Ibnu 'Abbas seolah-olah merupakan ijtihadnya, bukan penuturan yang merujuk langsung pada Rasulullah. Padahal, hadits yang jelas marfuu' lebih dikuatkan dari hadits yang disangsikan ke-marfuu'-annya.

  2. Seandainya hadits Ibnu 'Abbas di atas diamalkan, akan muncul masalah, "Berapa jarak paling dekat sehingga perbedaan awal Ramadhan atau Syawal diizinkan?" Pun ulama yang mengamalkan hadits tersebut berbeda pendapatnya mengenai masalah ini. Ada yang berpendapat jaraknya sama dengan jarak qashar. Ada juga yang berpendapat bahwa perbedaan mathla'nash-nash syar'iy. boleh diadakan untuk daerah-daerah yang berbeda iklimnya. Yang pasti, semua usulan standard jarak minimum tadi sama sekali tidak ada penjelasannya dalam

kembali ke daftar isi

Klaim Rukyat Global

Klaim rukyat global justru dikuatkan diantaranya oleh hadits yang sudah jelas marfuu' dari Ibnu 'Abbas.

"Dari Ibnu 'Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.""(HR at Tirmidzi nomor 624, Ibnu Hibban nomor 2301; dari Ibnu 'Abbas)

Dalam hadits di atas, digunakan lafal "shumuu" atau "berpuasalah kalian" dan "afthiruu" atau "berbukalah kalian". Lafal "shumuu" dan "afthiruu" merupakan seruan untuk pihak kedua jamak. Ini bermakna bahwa seruan "berpuasa" dan "berbuka" dalam hadits berlaku untuk muslimin tanpa menghiraukan daerahnya. Dua seruan ini dijalankan dengan ketentuan "li ru'yatihi" atau "karena melihatnya" yang maknanya umum. Dengan kata lain, kesaksian melihat hilal dari siapapun dapat dijadikan dasar sudah masuknya Ramadhan atau Syawal bagi seluruh muslim di daerah manapun.

Pandangan di atas dikuatkan oleh hadits berikut, yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshar.

"Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari, datanglah beberapa musafir dari Mekah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan salat id pada keesokan harinya." (HR Ahmad, disahihkan oleh Ibnu Mundir dan dan Ibnu Hazm)

Berikut hadits dari Ibnu 'Abbas.

"Datang seorang Badui ke Rasulullah saw seraya berkata, "Sesungguhnya aku telah melihat hilal." (Hasan, perawi hadits, menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah saw bersabda, "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?" Dia berkata, "Benar." Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, "Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?" Dia berkata, "Ya benar." Kemudian Rasulullah bersabda, "Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok."" (HR Abu Dawud, at Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Dalam hadits di atas, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, atau apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Rasulullah langsung memerintah muslimin untuk berpuasa ketika orang yang melakukan rukyat itu muslim.

Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang kuat yaitu bahwa penentuan awal Ramadhan atau Syawal tidak terikat mathla'.

kembali ke daftar isi

Kendala Rukyat Global

Dapatkah hilal teramati di suatu tempat tapi tidak teramati di tempat lain? Ini dapat terjadi.

Pada dasarnya, semua benda langit memiliki gerak diri masing-masing. Bulan, dibandingkan benda langit lain terutama Matahari, bergerak ke timur dengan laju 50 menit tiap 24 jam. Kelajuan 50 menit tiap 24 jam sama dengan 12,5 derajat tiap 24 jam atau 3,125 derajat tiap 6 jam. Dengan kata lain, dengan mengabaikan kecilnya kemiringan bidang orbit Bulan terhadap bidang orbit Bumi, selisih waktu lokal sebesar 6 jam sudah cukup untuk "menggeser" Bulan sejauh lebih dari 2 derajat. Padahal, ketinggian 2 derajat dari ufuk merupakan kriteria di Indonesia untuk suatu fase Bulan itu hilal atau tidak.

Dengan adanya masalah di atas, masih dapat diterimakah klaim rukyat global? Klaim rukyat global jelas dapat diterima tanpa menghiraukan masalah di atas. Dalam hal ini, kekuatan klaim ditentukan oleh kekuatan dalil, bukan oleh fakta empiris. Masalah di atas justru merupakan tantangan bagi muslim, yang kini tersebar dari Nusantara, memutari Bumi hingga Nusantara lagi, untuk mengembangkan sistem komunikasi global. Ini sama saja dengan dikembangkannya ilmu geografi, astronomi, dan navigasi di masa lalu oleh muslimin untuk memudahkan dakwah dan jihad.

Ada masalah yang menjadikan rukyat global sukar diterapkan, yaitu sekat nasionalisme. Muslimin di sebagian daerah Sumatera, yang zona waktu lokalnya sama dengan zona waktu lokal sebagian Malaysia, bisa jadi memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan bersamaan dengan muslimin di Papua tapi tidak bersamaan dengan muslimin di Malaysia. Kalau ini masalahnya, sains dan teknologi tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan. Hanya otoritas global yang tidak berasaskan nasionalisme saja yang mampu menghapus sekat nasionalisme.

kembali ke daftar isi


Penentuan Idul Adha

Untuk menentukan Idul Fitri, terlepas dari pembahasan kekuatan klaim, ada ulama yang menerapkan rukyat lokal dan ada yang menerapkan rukyat global. Namun, perbedaan semacam ini seharusnya tidak ada pada penentuan Idul Adha.

Silakan simak hadits berikut.

"Amir Mekah pernah berkhutbah dan berkata, "Rasulullah saw mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya."" (HR Abu Dawud nomor 2338 dan ad Daruquthni Juz II/167; dari Husain Ibn al Harits al Jadali ra)

Dengan demikian, waktu pelaksanaan manasik haji, seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Mudzdalifah, atau melempar jumrah, merujuk pada rukyat pihak yang memerintah Mekah, bukan Madinah, Kairo, Aceh, atau Makasar. Seruan ini berlaku umum tanpa menghiraukan kondisi penguasa Mekah, apakah sah atau tidak, apakah zalim atau adil.

Simak juga hadits berikut.

"Sesungguhnya Rasulullah saw telah melarang puasa pada Hari Arafah di Arafah." (HR Abu Dawud, an Nasa'i, dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits di atas berkaitan dengan puasa sunah Arafah bagi yang bukan jamaah haji. Puasa Arafah dilaksanakan pada saat jamaah haji wukuf di Arafah. Padahal, penentuan saat wukuf diserahkan pada pihak yang memerintah Mekah. Jadi, Idul Adha, yang pelaksanaannya sehari setelah hari wukuf, pun dilaksanakan saat jamaah haji menyembelih hewan kurban, yang lagi-lagi tentunya dilaksanakan pada hari yang telah ditentukan oleh penguasa Mekah.

Jadi, muslimin di manapun boleh melakukan rukyat hilal Dzulhijjah, tapi mereka harus melaksanakan puasa Arafah dan Idul Adha bersamaan dengan wukuf dan penyembelihan hewan kurban jamaah haji. Sesungguhnya waktu dan tempat haji itu sudah jelas dan tidak ada perbedaan mengenainya.

kembali ke daftar isi

Wednesday, September 24, 2008

diary HATI # 11

Pangan di Bawah Kuasa Globalisasi : Tanya Kenapa?

“Kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan”

(Vandana Shiva)

Tanpa pangan manusia tak bisa hidup dan berpikir. Padahal kebangkitan manusia ditentukan dari pemikiran. Pangan turut menentukan kebangkitan seseorang. Pangan pun amat menentukan hidup matinya sebuah bangsa. Karena pangan, dengan segenap fungsi yang melekat padanya, bisa berubah menjadi senjata mematikan. Lihat saja bagaimana penghentian ekspor gandum oleh AS dapat menceraiberaikan kekuatan Rusia pada masa perang dingin dan kasus lainnya.

Di Indonesia, permasalahan pangan bukan hanya karena negeri ini sudah salah urus, tetapi juga karena sudah terjebak oleh permainan globalisasi pertanian. Lewat program structural adjustment dari Agreement on Agriculture (AoA) WTO, IMF dan Bank Dunia, mendesak tarif bea masuk pasar domestik yang sangat ramah impor, dan menyulap Indonesia menjadi negara berkembang paling liberal di dunia. Impor pun melonjak tinggi, sebaliknya, ekspor komoditas pertanian merosot. Sejak tahun 1994 Indonesia jatuh dari net food exporter country menjadi net importer country. Dari hari ke hari, angka ketergantungan impor atas berbagai komoditas pangan terus menanjak.

Skenario globalisasi menghancurkan pasar pertanian Indonesia, dan menggeser basis produksi pangan, dari produksi mandiri menjadi lebih pada impor. Enam tahun setelah AoA disepakati, impor beras melonjak sampai 664%. Impor gula, dalam kurun waktu yang sama, meroket sampai 356%. Di sisi lain, produktivitas dalam negeri semakin menurun karena adanya ‘keharusan’ pencabutan subsidi pupuk, benih, dan pestisida. Tak hanya itu, kini petani semakin terbebani untuk membayar paten varietas tanaman yang ditanamnya. Hal ini karena tuntutan AoA terhadap UU No.13/1997 pasal 7 tentang paten/ TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights). UU ini membuka jalan seluas-luasnya bagi para pemilik modal untuk melakukan monopoli. Ironis negeri penyedia plasma nutfah kedua di dunia, setelah India, harus membayar paten terhadap kekayaan alamnya sendiri. Sebuah penelitian pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa 76% paten tanaman dunia dikuasai oleh AS, dan bahwa negara-negara industri (Uni Eropa, AS, Kanada, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Isarel) menguasai hampir sebagian besar paten. Sementara itu, korporasi menguasai 79% paten tanaman. Sedangkan negara-negara Selatan sama sekali tidak terhitung, padahal merekalah pemilik kekayaan itu sejatinya(Enclosures of the Mind, 2004).

Lantas bagaimana sikap Indonesia di dunia internasional menghadapi kondisi ini? Pada KTM V WTO di Cancun, Indonesia menjadi inisiator G-33 yang justru menyetujui mekanisme globalisasi perdagangan, namun dengan syarat adanya SP (Special Product) dan SSM (Special Safeguard Mechanism) pada 4 jenis komoditas. Namun pada faktanya, aliansi yang kompromistis ini hampir tak terdengar suaranya. Hal tersebut terkalahkan oleh aliansi G-21 (Brazil, China, dan India) yang menawarkan agar liberalisasi dilakukan total atau tidak sama sekali. Karena mereka khawatir yang akan terjadi adalah dominasi negara maju, tak ubahnya kolonialisme abad 19. Namun tentunya tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh negara-negara maju. Mereka justru memberikan proteksi dan subsidi besar-besaran pada petani dalam negerinya. Negeri maju ini melahirkan regulasi untuk memproteksi adanya efek dari hambatan non tarif WTO. AS menerbitkan Bioterrorism act, Uni Eropa menerbitkan White Paper on Food Safety, sedangkan Australia Bio Security Act. Sehingga dengan alasan lingkungan ataupun standar keamanan pangan yang diterapkan, negara tersebut dapat menolak impor pangan dari negara lain secara sepihak.

Terlihat bahwa terjadi ketimpangan dalam sistem globalisasi pertanian ini. Mengapa justru negeri-negeri yang lemah menjadi pro perdagangan bebas dan negeri maju sangat protektif ? Tanpa adanya bantuan dan subsidi ini, petani di negeri maju tak akan mampu bersaing dengan negara produsen beras di Asia. Contohnya ongkos produksi padi per acre di Amerika hampir 4 kali lipat dibandingkan Cina dan India.

Untuk melawan globalisasi pertanian dan seluruh efek buruk yang ditimbulkannya, kata kuncinya adalah kemandirian. Kita harus bertumpu pada sumber daya dan berbagai perangkat sistem kehidupan (ekonomi, hukum, politik luar negeri, dsb). Ketahanan pangan bermakna ketersediaan pangan di pasar dunia, namun lebih jauh lagi kedaulatan pangan bermakna hak umat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, tidak bergantung pada makanan ataupun pertanian impor. Karena itu, negara tersebut haruslah mandiri dalam kebijakan pertanian yang dijalankan, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal, dan perdagangan di wilayahnya. Negara harus mandiri dalam menentukan kebijakannya sendiri, bukan di bawah bayang-bayang badan perdagangan internasional ataupun korporasi kapitalisme global. Menuju kemandirian pangan berarti bebas dari penjajahan! (azZahra)

Sunday, September 21, 2008

diary HATI # 10

Problematika Energi Indonesia dan Mahasiswa :
Mozaik Revolusi ‘Hari Ini’!

“Jika kita ingin menguasai dunia di abad 21 ini, maka kuasailah minyak!” (George W. Bush)

“Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk” (Purnomo Yusgiantoro, Kompas, 14 Mei 2003)

“Agar Kita Tidak Terus Bergantung, Tetapi Bangkit Menjadi Mandiri”
(GKN KM ITB, 2008)

Waktu terus bergulir dengan manusia-manusia yang berbeda di setiap zamannya. Namun benarlah kata orang-orang : sejarah akan tetap berulang, kawan. Kita tak lagi memiliki harta di bawah tanah yang kita injak. Sudah menjadi fakta umum, potensi energi dan kekayaan lain di negeri ini tidak dimiliki utuh oleh tuan rumahnya sendiri. Carut marut pengelolaan energi nasional dan ketidakmandirian bangsa sebagai produk darinya, semakin memanggil setiap insan akademis yang sadar penuh akan posisinya sebagai harapan bangsa untuk turut berpikir lebih dalam: “Apa sih solusi dari permasalahan energi ini? Darimana, bagaimana dan dengan apa kita mengatasinya? ”

Krisis Migas: Kenaikan Harga BBM

Dibaluti dengan berbagai argumentasi lainnya seperti : keseimbangan APBN, respon atas kenaikan harga minyak dunia dan kredibilitas Indonesia di mata pasar, dan lain sebagainya, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Apakah mereka tidak mempertimbangkan bahwa harga BBM merupakan variabel kritis yang jika ditinjau dari analisis sensibilitas, sangat mempengaruhi laju inflasi di masyarakat, secara sangat signifikan?!

Bagaimana dengan BLT yang digunakan pemerintah untuk mengkompensasi pencabutan subsidi? Ternyata, besar subsidi yang diberikan pemerintah tidak sebanding dengan tingkat inflasi yang ada di masyarakat. Belum lagi jika ditinjau dari mekanisme pendataan dan distribusinya, belum ada jaminan akan tepat sasaran.

Berbagai analisis counter pun bermunculan : paradoks harga ekspor dan impor yang janggal misalnya! Harga ekspor yang jauh lebih rendah daripada harga impor, tentu sangat merugikan negara. Masih banyak jalan lain tuk menyehatkan APBN selain menaikkan harga BBM ini. Renegosiasi kontrak dan pembaharuan sistem cost recovery, serta pemberangusan broker minyak nasional atau internasional misalnya?

Jadi wajar rasanya jika muncul pertanyaan: kebijakan menaikkan harga BBM ini untuk siapa? Untuk rakyat ataukah memang untuk kepentingan tertentu yang prokapitalis?

Krisis Listrik: Ancaman Unbundling dan Liberalisasi

Belum bangkit dari pukulan kenaikan harga BBM, kini kita menghadapi PR baru : RUU Listrik. Singkatnya, RUU ini mencoba memberikan suatu desain pengelolaan listrik dengan unbundling sistem.

Seperti halnya yang ada dalam UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2004, cara ini yang paling mudah untuk dilaksanakan yaitu dengan memecah fungsi antara lain : Pembangkit, Transmisi, Distribusi, dan Retail.

Masing-masing secara terpisah dan dikelola oleh perusahaan yang berbeda-beda pula, sehingga akan terjadi multipemain dan Multi-Transfer Pricing dan masing-masing pemain akan mengejar keuntungan sendiri-sendiri sehingga listrik sulit dikontrol baik harga maupun kehandalannya.

Akibatnya bisa terjadi kenaikan tarif listrik s/d 20X lipat seperti halnya yang terjadi di Kamerun.

Apa bahayanya? Hmm, tidak usah jauh-jauh. Kalau sekarang kita cuma mengenal PLN sebagai sebuah perusahaan listrik tunggal, dengan RUU ini maka esok kita akan mendengar banyak perusahaan pembangkit atau distributor listrik, layaknya operator selular saja! Kalau kemarin kita dengar skandal kartel harga sms, maka jangan kaget jika esok akan ada kartel harga listrik antarperusahaan listrik tersebut. Hanya saja sebagai catatan, semahal-mahalnya harga sms akibat kartel, kita masih bisa hidup tanpanya, tetapi bagaimana jika hidup tanpa listrik?!

Jika belajar dari pengalaman negeri lain, di Inggris misalnya, pada zaman Margaret Teacher pernah diterapkan sistem unbundling. Kemudian pada saat PM Inggris diduduki Tony Blair pengelolaan listrik dikembalikan lagi ke vertically integrated system. Sedangkan di Malaysia, pada saat pemerintahan Mahathir Muhammad, Malaysia diminta IMF untuk meng-unbundling sistem kelistrikannya, tetapi hal ini ditolak dan IMF diusir, sehingga sampai saat ini Malaysia masih seperti Indonesia yaitu bundling system.

Akar masalah: Neoliberalisasi

Dari dua sampel permasalahan energi di atas (migas dan listrik), sejatinya dapat kita lihat bahwa akar masalahnya berasal dari sebuah paradigma atas energi. Pola pikir yang mendasari adanya UU Migas, UU Penanaman Modal, dan RUU Listrik tidak lain adalah energi sebagai komoditas, yang bisa dimiliki oleh swasta dan privat.

Paradigma ini lahir tidak lain dari sebuah konsep kepemilikan yang diusung ideologi kapitalisme. Konsep inilah yang sedang diinternalisasi dan diekspansikan ke seluruh negeri terutama negeri-negeri dengan kekayaan SDA yang tinggi. Seperti sebuah trend internasional, yang dijadikan sebagai gaya baru penjajahan.

Solusinya ???

Sebelumnya, mari kita samakan parameter kita tentang validitas dan kelayakan sebuah gagasan dikatan sebagai sebuah solusi. Gagasan kita layak dianggap solusi jika ia benar-benar menuntaskan masalah yang sedang terjadi, hingga semua orang merasa tenteram karenanya. Solusi yang menenteramkan ini tidak bisa lahir selain dari solusi yang rasional dan sesuai dengan kondisi hakiki kita sebagai manusia.

Pengelolaan energi yang baik harus mampu menjawab keterbutuhan energi oleh seluruh warga negara. Dengan kata lain, kita tidak sedang membahas sistem produksi saja melainkan distribusi energi itu sendiri. Maka sistem apa yang mampu mendukung produksi dan distribusi energi yang memenuhi kebutuhan seluruh warga negara?

Apakah kita akan memilih kapitalisme dengan asas liberalnya? Dimana semuanya bisa dan bebas dimiliki privat dan dikompetisikan. Apakah atas nama profesionalitas dan iklim kompetisi kita mengorbankan sesuatu yang dibutuhkan rakyat banyak? Padahal ketika energi dikompetisikan, harganya jelas akan menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh kalangan luas. Dengan demikian, sistem ini tak bisa memberikan jawaban yang baik dari segi distribusi energi ini. Ketimpangan terjadi di mana-mana. Penguasaan minoritas bermodal atas asset-aset dan kekayaan alam sangat jelas terlihat.

Untuk itu dibutuhkan sebuah sistem yang mampu mengatur kepemilikan pribadi tanpa mengacaukan sistem secara keseluruhan dan tanpa pula pengekangan, serta mencatumkan batasan-batasan yang jelas.

Untuk melihat solusi alternatif yang lain, mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw 14 abad yang lalu, tentang sebuah hadist yang mengatur mengenai kepemilikan di bidang energi:

«اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الثّلاَثِ: فِي الْمَاءِ وَ الْكَلاَءِ وَ النّارِ»

Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Di dalam Islam telah ditentukan adanya pembagian sistem kepemilikan dalam Islam yaitu kepemilikan pribadi, negara, dan kepemilikan bersama . Dalam sistem kepemilikan ini, seperti yang diuraikan di hadist di atas, sangat tegas tersurat bahwa energi adalah bagian dari public goods (kepemilikan bersama) yang haram dimiliki secara individu dan negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan ummat.

Penyelesaian bersifat ideologis, terkait dengan pandangan tentang : kepemilikan sumber daya energi, hak pengelolaan sumber daya energi, kepemilikan industri energi, hak pengelolaan industri energi, pengaturan interaksi antar industri energi, dalam hal ini diusulkan penyelesaian dengan konsep Islam.

Lalu, bagaimana dengan pengembangan pemanfaatan sumber daya energi alternatif (nuklir dan terbarukan (kelautan, geotermal, angin, hidro, surya, biomass), peningkatan efisiensi penggunaan energi, pengunaan teknologi baru dalam eksploitasi sumber daya konvensional tersisa (gasifikasi dan pencairan batubara, enhanced oil recovery), pengembangan teknologi bahan bakar baru, pengembangan teknologi baru dalam penggunaan energi (sel bahan bakar dsb) ? Solusi ini bersifat universal dan harus dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan empirik. Di sinilah ranah kita kawan-kawan! Para pemikir muda.

Saatnya mengukir sejarah, bahwa mahasiswa ITB bukan sekedar mahasiswa biasa. Berawal dari energi dan berlanjut pada sistem kehidupan secara integral! Tak ada alasan untuk bediam diri saat ini.


Jaring FH#4

KRISIS PANGAN DUNIA : SALAH SIAPA ?

Oleh : azZahra

“Skandal terbesar global bukanlah kelaparan, bahkan kelaparan tetap akan ada walau kita memiliki cara untuk menghilangkannya. Skandal terbesar global adalah mendiamkan isu kelaparan dan tidak berbuat apa-apa. Saatnya untuk mengambil aksi. Kelaparan tidak bisa menanti!”(Deklarasi Konferensi 55 Negara Menjelang Sidang Majelis Umum ke-60 PBB di New York, AS, 20 September 2004)

Dunia kelaparan. Berkurangnya pasokan di pasar komoditi internasional yang disinyalir menyebabkan kenaikan harga makanan pokok di banyak negara, menyebabkan kekacauan dunia. Berdasarkan data dari Bloomberg dan FAO, dalam kurun waktu setahun terakhir (terhitung Maret 2007-Maret 2008) tercatat kenaikan harga jagung mencapai 31%, beras 74%, kedelai 87%, dan gandum hingga 130%, di samping sejumlah bahan pokok lainnya. Kenaikan harga tersebut membuat sebagian besar penduduk dunia kalang kabut memenuhi kebutuhan pokok mereka itu. Terlebih bagi 2,8 milyar orang yang hanya berpenghasilan US$ 2 atau kurang tiap harinya. Kini, semakin banyak saja manusia yang memiliki keterbatasan akses pangan.


Kegalauan publik ini pun ditunjukkan dengan adanya gelombang protes yang muncul di mana-mana. Di Kamerun, 24 orang meninggal dan 1.600 orang diamankan pada Februari lalu menyusul aksi menolak tax slashed terhadap tekanan impor dan gaji sektor publik sebanyak 15%. Di Mesir, tujuh orang meninggal akibat berkelahi dan akibat kekelahan saat mengantri mendapatkan roti bersubsidi. Di Pakistan, ribuan tentara disebar untuk mengawal truk-truk yang mengangkut gandum dan terigu. Sementara di Burkina Faso, terjadi pemberontakan di tiga kota karena kegagalan pemerintah memenuhi janjinya dalam mengontrol harga bahan makanan. Yang terheboh adalah peristiwa di Haiti yang akhirnya mendesak parlemen untuk menurunkan perdana menteri mereka.

Menurut laporan Bank Dunia (World Bank) saat ini 37 negara terancam instabilitas politik akibat krisis pangan ini. Direktur Bank Dunia Robert Zoellick menyatakan bahwa krisis pangan ini mengakibatkan 100 juta orang di negara miskin terancam kelaparan. Berdasarkan data FAO, di seluruh dunia terdapat sebanyak 845 juta orang yang kekurangan pangan. Yang lebih mengenaskan, lima juta balita meninggal tiap tahunnya karena gizi buruk. Program Pangan Dunia PBB atau WFP memperkirakan sudah ada 20 juta orang yang terpukul krisis pangan. Sekitar 100 juta orang lagi kini sudah memasuki kategori kelaparan. Enam bulan lalu mereka belum memasuki kategori itu. Krisis pangan mirip serangan tsunami. Direktur Eksekutif WFP Josette Sheeran di London, Rabu (23/4), mengatakan, krisis pangan mirip serangan tsunami yang diam (silent tsunami). Tsunami ini telah menebar bencana kelaparan di mana-mana.

Begitu pun yang terjadi pada tahun-tahun silam. Prakarsa dunia mengatasi kelaparan global ini tidak mengalami kemajuan berarti dari masa ke masa. Pada tahun 2002, 815 juta penduduk di negara-negara berkembang mengalami kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Dalam konferensi menjelang Sidang Majelis Umum ke-60 PBB di New York, 21 September 2004, terungkap jumlah penduduk kelaparan meningkat menjadi satu miliar (Kompas, 28 September 2004). Data FAO menyebutkan bahwa satu dari tiap lima penduduk dunia kekurangan gizi. Sementara 777 juta penduduk lainnya menderita kelangkaan pangan, satu langkah lagi menuju kelaparan (Kompas, 17 Juni 2002).


Negeri Subur Kurang Pangan

Orang kelaparan tidak semata-mata karena tidak ada makanan. Ketika makanan berlimpah pun kelaparan bisa saja terjadi. Banyak laporan yang menyebutkan produksi pangan yang terus meningkat. Setelah bertahun-tahun tidak berswasembada, BPS memperkirakan tahun 2004 Indonesia bisa berswasembada beras (Suara Pembaruan, 2 Nopember 2004). Diperkirakan produksi padi nasional hingga Desember 2004 mencapai 54,34 juta ton gabah kering giling, sama dengan 34 juta ton beras, naik 4,23% dari tahun 2003, melebihi kebutuhan beras domestik, yakni 31 juta ton. Surplus ±2 juta ton, itu setara dengan jumlah impor pada tahun 2004. Namun kelaparan tetap merupakan problem kronis. Di tengah surplus pangan, antara 1996-2001 neraca pangan kita tumbuh positif (antara US$ 1,4 miliar-2,95 miliar)(Suryana, 2002), namun penduduk yang rawan pangan di tahun 2002 sampai 31,75 juta (15,16%). Sedangkan 84,80% penduduk konsumsi energinya di bawah rekomendasi (2.200 kkal/kapita/hari). Di bawah tahun 2000, terdapat 138 kabupaten/kota atau 42,59% yang rawan pangan beresiko tinggi dan mencapai lebih tinggi pada tahun 2001 (126 kabupaten/kota atau 40,5%)(Departemen Pertanian,2004). Bahkan di tahun 2005, kita dikejutkan oleh kabar kelaparan kronis yang melanda 10 kabupaten di NTT. Kondisi ini terus berulang tanpa koreksi.

Di bidang ketahanan pangan, berdasarkan data produksi padi nasional menunjukkan bahwa kita tidak hanya mengalami surplus di tahun 2004, namun juga di tahun 2007 dengan produksi sebesar 57,05 juta ton gabah kering giling atau 33,43 juta ton beras, meningkat 2,59 juta ton gabah kering giling atau 4,76% dibanding produksi tahun 2006. Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai sejak dua belas tahun terakhir. Data BPS juga menunjukkan kenaikan pada komoditas jagung, tebu dan sapi. Produksi jagung tahun 2007 naik 14,39 % dibandingkan tahun 2006. Adapun pada tahun 2007 produksi tebu dan daging berturut-turut naik sebesar 4,91 % dan 2,20 % dibanding produksi tahun 2006. Begitu juga terjadi kenaikan produksi padi di tahun 2008 dibandingkan tahun 2007 sebesar 2,13% (Lihat Tabel 1). Namun mengapa harus ada kasus kelaparan dan kerawanan pangan pada tahun-tahun ini ? Apakah ini yang dinamakan dengan kutukan SDA ?


Masalah Pangan di Indonesia

Baik miskin harta atau miskin pemahaman akan gizi, adalah penyebab utama kerawanan pangan, yang angkanya di Indonesia mencapai 110 juta, separuh dari penduduk Indonesia (Kompas, 24 Januari 2002). Karena kelaparan atau kurang gizi terjadi bukan karena tak ada makanan, tetapi karena orang tidak bisa memiliki makanan. Ditariknya subsidi BBM oleh pemerintah terbukti justru meningkatkan jumlah orang miskin di negeri ini. Begitupun dengan kebijakan pro-liberal lainnya yang justru menyengsarakan rakyat. Kenaikan harga BBM, konversi minyak ke gas, kenaikan tarif dasar listrik justru semakin meningkatkan jumlah antrian masyarakat miskin di negeri ini. Begitupula halnya dengan adanya privatisasi kesehatan yang kian menambah panjang daftar pengeluaran masyarakat. Adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintah kepada masyarakat dan subsidi kesehatan yang rendah tidak mampu menutupi masalah yang timbul. Menurut data BPS awal tahun 2007 pengangguran terbuka mencapai 10,55 juta orang, sementara angkatan kerja baru tahun ini diperkirakan 2,1 juta. Padahal pada tahun 2006, 1% pertumbuhan ekonomi hanya berkolerasi dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 48 ribu orang. Dengan demikian tahun 2008 akan terjadi ledakan kemiskinan, yang pada tahun 2006 saja jumlahnya mencapai 128,94 juta orang. Padahal 80 % pengeluaran penduduk miskin hanya untuk memenuhi kebutuhan pangannya saja, dimana 60% dari jumlah tersebut digunakan untuk beras.

Ini memang negeri paradoks, dimana kelaparan di tengah kelimpahan pangan bukanlah hal baru. Jika pada tahun 1984 lalu, Indonesia memperoleh predikat swasembada beras, saat ini menjadi negara importir beras terbesar di dunia. Prestasi ini makin lengkap dengan predikat sebagai negara importir kedelai terbesar di dunia, dan importir gula kedua terbesar di dunia setelah Rusia. Ironis, sebagai negara agraris, tanah kita dikenal sangat subur, bisa ditanami sepanjang tahun, sumber daya alam dan plasma nutfahnya melimpah.

Lalu apakah yang terjadi selama ini adalah semata-mata karena produksi Indonesia yang menurun dari tahun ke tahun? Kejadian kelangkaan minyak goreng pada tahun lalu membuktikan hal sebaliknya. Indonesia merupakan negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar kedua di dunia. Jumlah produksi minyak sawit indonesia sebesar 13,5 juta ton per tahun, dari angka tersebut 9 juta ton diantaranya diperuntukan untuk diekspor ke Uni Eropa, China dan India. Jumlah ini meliputi palm oil maupun palm kernel oil. Namun toh Indonesia pun saat itu tidak sanggup menjaga kestabilan harga minyak goreng saat terjadi kenaikan harga di tingkatan global akibat euforia biodiesel sedang marak di dunia. Bukankah saat itu Indonesia berada pada posisi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar, paling tidak pasar nasional? Namun toh hasilnya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Semua kejadian ini menimbulkan pertanyaan yang mengganjal di dalam hati, apakah Indonesia sudah sedemikian inferiornya sehingga semua kejadian di tingkat nasional ini hanya merupakan ekses dari kejadian global tanpa mampu berbuat apa-apa terhadapnya?

Walaupun produksi bukanlah masalah pangan mendasar di negeri ini, namun ini tetap menjadi faktor yang harus diselesaikan pula. Pada tahun 2005 saja indonesia telah mengimpor gula sebanyak 1,6 juta ton sementara produksi indonesia pada tahun yang sama hanya sebesar 1,8 juta ton. Produksi gula dalam negeri tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan memiliki kecenderungan produksi yang menurun dari tahun ke tahun (Lihat Gambar 1). Begitupula dengan nilai rendemen gula yang diproduksi kian menurun (Lihat Gambar 2). Minimnya perhatian dari pemerintah terhadap perkembangan industri, teknologi, dan pertanian di Indonesia merupakan faktor penyebab industri pertanian di Indonesia harus rela mengalah dengan produk pertanian impor yang sangat murah.


Masalah Distribusi

“Dewasa ini, 826 juta orang menderita kekurangan pangan yang sungguh kronis dan juga serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 miliar orang (dua kali lipat dari jumlah penduduk sekarang) tanpa masalah sedikit pun”(Rahman, Shukor, 2001, New Straits of Malaysia Times)

”Kelaparan adalah persoalan distribusi yang timpang (maldistribution) dan masalah ketidakadilan bukan masalah kekurangan pangan. Makanya, meskipun ada kelimpahan, kelaparan tetap saja menghantui”(WHO, 2001, Determinant of Malnutrition)

Apakah dunia kekurangan suplai pangan sementara jumlah penduduk terus meningkat sebagaimana ramalan Malthus dalam Essay on the Principle of Population? Ternyata tidak. Pada kenyataannya walau penduduk dunia ini telah meningkat sekitar enam kali lipat dibandingkan penduduk dunia pada saat Malthus menulis paper-nya, produksi pangan pun turut meningkat seiring perkembangan teknologi pertanian. Sebagaimana ditegaskan Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah tidak pernah terjadi kekurangan bahan pangan. Masalahnya terletak pada distribusi yang tidak merata hingga krisis kerap terjadi. Belum lagi belakangan ini sebagian produksi pangan dialihkan penggunaannya untuk biofuel. Tercatat sebesar satu milyar ton dari 2,1 milyar ton produksi grain dunia dialihfungsikan untuk biofuel (FAO). Hal ini cukup berperan besar melambungkan harga pangan dunia, yang otomatis memperkecil akses sebagian penduduk.


Liberalisasi Pangan

Masalah krisis pangan Indonesia ini tidak hanya karena negeri ini sudah salah urus, tetapi juga karena Indonesia sudah terjebak oleh permainan globalisasi pertanian. Lewat program structural adjustment dari Agreement on Agriculture (AoA), IMF, Bank Dunia, dan WTO, mendesak tarif bea masuk pasar domestik yang sangat ramah impor, dan menyulap Indonesia menjadi negara berkembang paling liberal di dunia. Impor pun melonjak tinggi, sebaliknya, ekspor komoditas pertanian merosot. Sejak tahun 1994 Indonesia jatuh dari net food exporter country menjadi net importer country. Dari hari ke hari angka ketergantungan impor atas pelbagai komoditas pangan terus menanjak.

AoA menghancurkan pasar pertanian Indonesia, dan menggeser basis produksi pangan, dari dalam negeri menjadi lebih pada impor. Enam tahun setelah AoA disepakati impor beras melonjak sampai 664%. Impor gula, dalam kurun waktu yang sama, meroket sampai 356%. Kebijakan pangan pemerintah bukan bertumpu pada lahan, tetapi pada pasar dunia (baca:oligopoli perdagangan). Sistem produksi pangan dalam negeri lantas rusak, dan sarana serta prasarana produksi selama beberapa masa tidak berguna (Khudori, 2004). Dengan membuka pasar domestik lebar-lebar, sama saja memaksa petani kita yang gurem, miskin, dan tradisional untuk bertarung dengan petani negara-negara maju yang kaya dan ditopang beragam proteksi serta subsidi besar-besaran dari negaranya. Pertanian di AS saja didukung lebih dari 100 jenis undang-undang. Mulai dari Sugar Act 1774, Homestead Act 1862 yang membuat petani memperoleh lahan pertanian lebih dari 65 hektar, dan sebagainya.(Pakpahan, 2004). Begitulah standar ganda sistem liberalisasi pertanian. Di negeri ketiga memaksa untuk melonggarkan proteksi, sedang di negeri maju melakukan perlindungan dan subsidi besar-besaran.

Mata rantai perdagangan pangan, baik di negara maju maupun di negara berkembang, saat ini sudah tidak lagi dikontrol oleh negara, tetapi oleh corporate. Sepuluh perusahaan mengontrol 32% dari bibit yang diperdagangkan senilai US$ 32 miliar, dan 100% dari pasar bibit transgenik. Hanya lima perusahaan yang mengontrol perdagangan biji-bijian (Shiva, 2000). Pada tahun 1998, bisnis pestisida yang bernilai sekitar US$ 31 juta, 73%-nya dikontrol oleh sepuluh perusahaan pertanian transnasional (New Internationalist, 2000). Ekspor gula hanya terkonsentrasi pada sedikit negara dan pengekspor gula hanya terpusat pada 7 perusahaan transnasional seperti Cargill, T&L, Man, Dryfus, dan Cubazukar. Mereka menguasai 83,2% pangsa pasar dunia (Nodeco, 1996). Studi CAFOD di Burkino Paso menyimpulkan bahwa control jaringan pasar yang sangat kuat dari perusahaan mengakibatkan tidak jelasnya hubungan antara harga global dan harga konsumen (Saragih, 2004). Adanya kartel perusahaan pangan ini sangat memungkinkan terjadinya spekulasi harga pangan dunia.

Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia, terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).

Dari fakta di atas, terlihat bahwa akar masalah krisis pangan di dunia ini adalah adanya permasalahan sistem distribusi, liberalisasi pertanian, dan adanya kartel perusahaan pangan yang pada akhirnya memberi peluang yang sangat besar bagi spekulan untuk mempermainkan harga pasar. Hal ini pasti terjadi dalam sistem ekonomi yang menempatkan scarcity atau faktor kelangkaan sebagai masalah ekonomi yang utama (baca:kapitalisme), dan melandaskan pertumbuhan ekonominya pada penguasaan sektor non real. Otomatis solusi yang dikedepankan melulu soal produksi dan produksi, sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya. Aspek pendistribusian yang merata tidak diperhatikan, sehingga yang kuat semakin kuat, dan yang lemah tak bisa berbuat apa-apa. Makanan dalam pandangan kapitalisme tak ubahnya seperti komoditas ketika berhadapan dengan sistem lain dalam kehidupan.

Makanan adalah kebutuhan jasmani yang tak terelakkan bagi umat manusia (the primary determinants of survival) maka pangan menjadi barang yang langka (scarcity) ketika dihadapkan dengan sistem-sistem ekonomi dan politik yang lebih luas”(Melville J.Herskovitas)


Membangun Kedaulatan Pangan

Pangan merupakan masalah besar bagi setiap individu, tak peduli ia miskin atau kaya. Bagaimanapun pangan termasuk kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi demi keberlangsungan kehidupan. Bagaimana bisa seseorang berkreasi dan menghasilkan karya intelektual bila pada saat yang sama ia kelaparan? Bagaimana pula suatu bangsa berharap dapat maju dan bangkit bila persoalan pangan rakyatnya saja belum diselesaikan?

Dalam Islam, pangan merupakan salah satu kebutuhan primer seorang warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Tanggung jawab pemerintah adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan tiap individu. Sebagaimana halnya yang pernah dilakukan Khalifah Umar r.a. Beliau bahkan memanggul sendiri gandum untuk keluarga miskin yang diketahui tak terpenuhi kebutuhan pangannya. Itulah gambaran tanggung jawab dan dedikasi berlandaskan keimanan dari seorang pemimpin pada rakyatnya.

Negara harus dapat menyelesaikan permasalahan ketidakmampuan individu dalam negerinya untuk membeli kebutuhan pangan. Adanya kenaikan harga bahan pokok bisa jadi terjadi karena adanya penimbunan barang atau karena kelangkaan barang tersebut. Apabila tidak adanya barang tersebut karena terjadi penimbunan, maka daulah akan segera menindaknya dengan sistem hukum yang tegas., karena penimbunan tersebut jelas diharamkan oleh Allah. Begitupun adanya spekulan pasar yang dapat menaikkan harga dengan begitu mudahnya, diharamkan dalam Islam, seperti yang diriwayatkan Ma’qal bin Yassar bahwa Rasulullah saw berkata :


“Siapa saja yang terlibat dalam sesuatu yang berupa harga bagi kaum muslimin, agar dia bisa menaikkan harga tersebut kepada mereka, maka kewajiban Allah untuk mendudukanmu dengan sebagian besar (tempat duduknya) dari neraka, kelak pada hari kiamat nanti”

Apabila barang tersebut tidak ada karena barangnya memang langka, maka khalifah diharuskan untuk melayani kebutuhan umum tersebut. Di masa Umar bin Khaththab, pernah terjadi masa panceklik (amur ramadah) yang terjadi hanya di Hijaz, sebagai akibat langkanya makanan pada tahun tersebut. Maka karena langkanya makanan di sana, harga makanan tersebut membumbung tinggi. Namun beliau tidak mematok harga tertentu untuk makanan tersebut, bahkan sebaliknya, beliau mengirim dan menyuplai makanan dari Mesir dan negeri Syam ke Hijaz. Sehingga di pasar menjamin ketersediaan pasokan pangan. Dari peristiwa ini terlihat bahwa khalifah harus berusaha mencukupi barang tersebut di pasar , dan mengusahakannya dari kantong-kantong pusat barang tersebut (lumbung beras). Dengan cara seperti itu, harga yang membumbung tinggi dapat dihindari. Tentunya mengupayakan adanya lumbung-lumbung beras di wilayah strategis Indonesia bukanlah hal yang terlampau sulit. Di Sukabumi, Jawa Barat terdapat sebuah daerah yang tidak pernah kekurangan pangan karena adanya lumbung beras yang selalu menyediakan cadangan beras untuk warganya. Warga daerah tersebut tidak pernah kekurangan beras karena beras yang dihasilkan oleh warganya tidak pernah dijual dan disimpan untuk kebutuhan bersama (Suara Pembaruan, 16 Agustus 2004).

Membangun kedaulatan pangan tidaklah mustahil, kata kuncinya adalah kemandirian, bertumpu pada sumber daya dan berbagai perangkat sistem kehidupan (ekonomi, hukum, politik luar negeri, dsb). Ketahanan pangan bermakna ketersediaan pangan di pasar dunia, namun lebih jauh lagi kedaulatan pangan bermakna hak umat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, tidak bergantung pada makanan ataupun pertanian impor. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat keamanan pangan. Karena itu, negara tersebut haruslah mandiri dalam kebijakan pertanian yang dijalankan, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal, dan perdagangan di wilayahnya. Negara harus mandiri dalam menentukan kebijakannya sendiri, bukan di bawah bayang-bayang badan perdagangan internasional ataupun korporasi kapitalisme global.

Sistem ekonomi Islam bertumpu pada sektor ekonomi real, dan menghindarkan sistem non real yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam Islam memang tidak ada pematokan harga oleh negara, karena harga ditentukan oleh kesetimbangan mekanisme pasar (adanya permintaan dan penawaran). Namun Islam melarang adanya monopoli ataupun kartel terhadap pasar. Subsidi yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan primer pun akan diberikan kepada masyarakat. Sistem hukum dan administrasi Khilafah pun akan menghindarkan terjadinya penyelundupan ataupun penimbunan bahan pangan. Begitupun dengan perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya bidang pangan dan rekayasa genetika, yang sangat didukung oleh negara dengan sistem pendidikan Islam. Begitupun sistem pertanian Islam akan mengembangkan potensi lahan Indonesia sebesar-besarnya demi kemaslahatan umat.

Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mustlâ mengungkapkan, dalam Islam, pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi), seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas tanah. Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan), seperti menambah luas area yang akan di tanam. Lahan pangan harus dijaga keberadaan dan produktivitasnya oleh khalifah, bukan justru dialihfungsikan menjadi gedung perkantoran ataupun pusat perbelanjaan. Dari data Departemen Pertanian, lahan sawah setiap tahunnya berkurang sekitar 40 ribu hektar hingga 100 ribu hektar pertahun. (Republika, 15/02/2007). Selain itu, intensifikasi pertanian dapat dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik-teknik modern di kalangan para petani, dan membantu pengadaan benih serta budidayanya, termasuk melakukan bioteknologi untuk bidang pertanian. Salah satunya adalah bioteknologi transgenik, yakni dengan menghasilkan varietas yang lebih unggul. Kemandirian produksi merupakan tujuan strategi pertanian ini dan melakukan impor besar adalah tindakan yang kontraproduktif.
Adapun ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, Pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda:

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ»

Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil (HR Bukhari dan Muslim)

Gambaran bagaimana sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khalifah dalam menangani krisis seperti sekarang, dengan akan terlihat dengan penerapan beberapa instrumen syariah seperti reformasi pengaturan penggunaan tanah. Reformasi ini akan dilakukan dengan mendistribusikan ulang tanah yang menganggur. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kompetisi di sektor pertanian yang didukung oleh dana investasi dari negara dalam pengembangan infrastruktur pertanian, seperti penelitian dan perbaikan mutu benih-benih unggulan. Menarik untuk diingat bahwa di tahun 1950-an, Korea dan Taiwan, sebagai macan ekonomi Asia, membangun roda perekonomiannya diawali dengan reformasi pengaturan penggunaan tanah dan investasi pertanian, sehingga mampu memperbaiki tingkat pendapatan dari pertumbuhan sektor pertanian.

Pangan adalah suatu kebutuhan yang paling vital bagi seorang manusia. Karena itu, negara akan benar-benar menaruh perhatian dan mendahulukan akan hal ini. Pengabaian akan hal ini, misalnya dengan memperumit jalur distribusi dan birokrasi ataupun menyepelekannya merupakan dosa. Jika terjadi kelaparan, tidak hanya negara, seorang individu muslim pun memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tetangganya dan saudara muslim yang lain.

Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan maka jaminan Allah telah lepas dari mereka”(HR Ahmad, al-Hakim,dan Abu Ya’la)


Tidak sempurna iman seseorang kepadaku yang bermalam dalam kondisi kenyang, sementara tetangganya kelaparan di sisinya dan ia mengetahuinya”(HR ath-Thabrani dan al Bazar)

Dengan mekanisme pengaturan pangan dan pertanian yang sinergis dalam kerangka aturan Islam menyeluruh seperti inilah, Khilafah Islamiyah mampu menghidupi warga negaranya seluas 2/3 wilayah dunia. Bahkan Khalifah pernah mendapatkan surat ucapan terima kasih dari pemerintah AS atas bantuan pangan yang dikirimkan Khilafah kepada AS saat dilanda kelaparan pasca perang dengan Inggris pada abad ke-18.

Wallahu a’lam bish shawab

LAMPIRAN


Tabel 1. Data produksi padi Indonesia tahun 2004-2008


Year

Harvested Area

(Ha)

Yield Rate

(Qu/Ha)

Production

(Ton)

Production

Growth

(%)

2004

11.922.974

45,41

54.088.468

3,74

2005

11.839.060

45,74

54.151.097

0,12

2006

11.786.430

46,20

54.454.937

0,56

2007*)

12.124.827

47,05

57.051.679

4,77

2008**)

12.299.391

47,38

58.268.796

2,13

Sumber : www.bps.go.id