Ditegakkannya satu had (hukum Allah) di muka bumi ini adalah lebih baik bagi umat manusia dibandingkan dengan diguyurnya mreka oleh air hujan selama 30 atau 40 hari. (HR. Ahmad, Ibn Majah, an-Nasa’i)
Sudah berapa lama memeluk Islam? Sudahkah mengenal Islam? Apakah Islam itu? Apakah ia sekedar agama ritual? Apakah dia juga sebuah mabda (ideologi)?
Secara harfiah, kata idelogi bukan berasal dari Islam. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, idea dan logos. Idea berarti gagasan, sedangkan logos berarti pengetahuan. Dalam istilah politik, ideologi adalah sistem ide yang menyangkut filsafat, ekonomi, politik, kepercayaan sosial dan ide-ide. Atau dalam ungkapan yang lebih sederhana bisa didefinisikan dengan pemikiran yang mendasar, yang tidak dibangun berdasarkan pemikiran lain, yang justru memancarkan pemikiran-pemikiran lain (sistem hidup). Pemikiran mendasar seperti ini adalah pemikiran dasar, bukan cabang, sekalipun kadang ada pemikiran cabang yang bisa menghasilkan pemikiran lain, seperti Patriotisme, Nasionalisme dan sebagainya. Pemikiran cabang seperti ini, memang bisa menghasilkan pemikiran lain, tetapi tidak otomatis akan menjadikannya sebagai ideologi, karena pemikiran tersebut bukan pemikiran dasar. Pemikiran ini hanya layak disebut kaidah (qâ'idah), bukan ideologi (mabda').
Adapun pemikiran dasar, dalam pandangan ulama' ushuludîn adalah akidah; yaitu pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan (Allah), dan apa yang ada setelahnya (Hari Kiamat), berikut apa relasi antara manusia, alam, dan kehidupan itu dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan. Relasi antara manusia, alam, dan kehidupan dengan apa yang ada sebelum kehidupan adalah adanya penciptaan. Sementara relasi antara manusia, alam, dan keidupan dengan apa yang ada setelah kehidupan adalah bahwa asetiap amal yang dilakukan manusia ketika hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat nanti.
Hanya saja tidak semua pemikiran akidah bisa menjadi ideologi, kecuali pemikiran akidah yang rasional; akidah yang lahir dari pembahasan rasional. Jika akidah tersebut merupakan dogmatis atau doktriner, maka ia tidak akan pernah menjadi pemikiran, karena tidak mempunyai realitas, dan karena itu tidak disebut pemikiran yang menyeluruh, sekalipun disebut akidah. Contohnya, pemikiran mengenai eksistensi tiga oknum Tuhan, Bapak, Anak dan Roh Kudus, diyakini sama dengan satu, adalah pemikiran yang tidak bisa dibuktikan realitasnya. Sebab, secara logis satu berbeda dengan tiga, dan terbukti secara riil, satu adalah satu, dan tiga adalah tiga, dimana masing-masing adalah realitas yang berbeda. Maka, menyatakan ide trinitas sebagai ide ketuhanan yang maha esa, jelas bertentangan dengan realitas. Karena itu, akidah seperti ini hanya diterima sebagai dogma dan doktrin kebenaran, bukan sebagai hasil pembahasan rasional, yang terbukti realitasnya. Dengan demikian, akidah seperti ini tidak layak menjadi ideologi.
Islam adalah ideologi, karena akidahnya merupakan akidah rasional yang mampu memancarkan sistem, yaitu akumulasi hukum syara' untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Masalah hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan juga sesamanya. Dengan demikian, Islam bukan hanya agama, tetapi juga ideologi. Berbeda dengan Kristen, Yahudi, maupun yang lain, atau Kapitalisme dan Sosialisme. Kristen dan Yahudi hanyalah agama; masing-masing hanya mengajarkan spiritualisme, tanpa sistem yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia. Sementara Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi, bukan agama, karena tidak mampu menyelesaikan masalah spiritualitas manusia yang muncul dari naluri beragama mereka.
Maka, menyatakan ideologi sebagai ciptaan akal manusia, semata karena melihat Kapitalisme dan Sosialisme, kemudian digeneralisir untuk menyebut semua ideologi adalah produk akal jelas merupakan kesalahan logis. Ideologi memang pemikiran yang bersemayam pada benak manusia, tapi sumber pemikiran itu bisa dari kejeniusan akal, dan bisa pula dari wahyu Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Islam sebagai ideologi yang terbukti ketangguhannya sepanjang zaman, baik ketika diemban oleh negara maupun tidak, adalah ideologi yang bukan merupakan produk akal manusia, melainkan dari wahyu Allah SWT.
Demikian juga menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi, karena masing-masing sama-sama merupakan agama yang mengajarkan spiritualitas juga jelas merupakan kesalahan analitis. Sebab, Kristen dan Yahudi tidak mempunyai konsepsi kehidupan, selain konsepsi keakhiratan, dan masing-masing agama ini tidak mempunyai sistem untuk menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan. Lebih-lebih kemudian menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi sebagai sumber konflik, karena itu Islam harus dijauhkan dari wilayah politik, dan dikembalikan pada relnya sebagai ajaran spiritual yang berfungsi mencerahkan jiwa, jelas merupakan kesalahan logika yang sangat fatal. Hal ini akan menyebabkan umat Islam tidak bisa bangkit membebaskan diri dari cengkeraman ideologi yang saat ini diterapkan atas mereka.
Realitas Akidah Islam sebagai Ideologi
Sebagai ideologi, akidah Islam adalah akidah rasional yang mampu memancarkan sistem. Rasionalitas akidah Islam ini, bisa dibuktikan dengan tidak adanya kontradiksi antara apa yang diyakini dengan realitasnya, dan bisa dibuktikan. Keyakinan mengenai adanya Allah sebagai pencipta alam, manusia dan kehidupan, misalnya, sesuai dengan realitas alam, manusia dan kehidupan itu sendiri yang terbatas. Sedangkan keyakinan mengenai al-Qur'an sebagai firman Allah, sesuai dengan realitas al-Qur'an yang merupakan kitab suci berbahasa Arab yang tidak ada yang mampu menyainginya. Adapun keyakinan mengenai Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah adalah keyakinan yang dibangun berdasarkan realitas, bahwa beliaulah yang menyampaikan al-Qur'an, yang merupakan firman Allah SWT, petunjuk untuk manusia menjalani kehidupan. Sementara tidak seorang manusiapun yang diberi tugas untuk menyampaikan kitab suci yang diturunkan Allah SWT, kecuali dia adalah seorang nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Realitas bahwa alQuran berasal dari Allah akan menunjukkan hal-hal yang dicantumkan dalam alQuran berupa hari kiamat,malaikat dan hal-hal gaib lain bahwa semuanya adalah realitas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisa: 136)
Ini jelas berbeda dengan kepercayaan pada hantu, misalnya, yang sama sekali tidak terbukti realitasnya, baik secara indrawi maupun penukilan yang dinyatakan oleh nash yang qath'i.
Adapun keyakinan terhadap qadhâ' dan qadar, mengenai perbuatan manusia, baik yang berasal darinya maupun yang menimpa dirinya, serta potensi benda yang diciptakan Allah; dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, baik perbuatan maupun benda.
Semuanya ini membuktikan rasionalitas akidah Islam sebagai keyakinan yang bulat, tidak bertentangan dengan realitas dan bersumber dari dalil. Dengan keyakinan yang rasional mengenai adanya Allah sebagai pencita alam, manusia dan kehidupan, serta keyakinan yang rasional mengenai al-Qur'an sebagai syariat yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad agar disampaikan kepada seluruh umat manusia, sebagai standar akuntabilitas di hadapan Allah, serta Muhammad sebagai Rasul, sang pembawa dan penjelas syariat, dan Hari Kiamat yang menjadi hari pembalasan dan perhitungan (hisâb), maka gambaran tersebut akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam kehidupan, yang akan menempatkannya pada jalur yang benar dan konsisten. Pada saat itulah, visi dan misi hidupnya sebagai pengemban risalah yang agung dan mulia di muka bumi akan terwujud. Kemudian, sistem yang terpancar dari risalah tersebut akan ditegakkan di muka bumi dengan dorongan keyakinan yang bulat serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT. Inilah hakikat akidah rasional Islam, yang memancarkan sistem dalam kehidupan.
Lahirnya Sistem Islam dari Akidah Islam
Sebagai akidah rasional yang memancarkan sistem, ideologi Islam mempunyai proses yang berbeda dengan Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika realitas kehidupan dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Kapitalisme untuk melahirkan sistemnya, sementara faktor produksi dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Sosialisme untuk melahirkan sistemnya, maka Islam berbeda dengan keduanya. Sistem Islam lahir dari sumber yang tetap, yaitu nash-nash syara’ yang tetap, Al Quran dan As Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai sumber sistem yang layak, yakni Ijma’ Sahabat Rasulullah saw. dan Qiyas; dengan cara memahami nash-nash tersebut, memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan, dan mengkompatibelkan realitas dengan nash. Jika realitas itu kompatibel dengan nash, berarti hukum yang terdapat dalam nash tersebut merupakan hukum atas realitas itu. Dan demikian sebaliknya. Dengan mekanisme ini, sistem Islam tidak akan mengalami perubahan sepanjang waktu dan tempat. Pada waktu yang sama, di setiap waktu dan tempat akan lahir para ahli hukum Islam (fuqaha/mujathid) yang akan mampu menggali hukum (ijtihad) dari nash-nash tersebut untuk menyelesaikan berbagai persoalan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, secara normatif, Islam memang sebuah ideologi karena akidahnya memancarkan seluruh peraturan kehidupan.
Allah juga telah berfirman:
“........Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. “ (Q.S. Al-Maidah: 3)
Jika Islam diterapkan secara utuh sebagai sebuah ideologi (mabda), baik dari aspek ibadahnya, sosial, ekonomi, pemerintahan, peradilan, pendidikan, maupun akhlaknya untuk menyelesaikan problem manusia, tanpa dibedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain, pasti kemaslahatan yang hakiki akan diperoleh oleh semua orang. Bukan hanya akan dirasakan oleh orang yang melaksanakannya saja, tetapi juga oleh orang lain. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah ushul:
“Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”
Secara historis, dapat dibuktikan juga bahwa Islam adalah ideologi. Banyak bukti bisa dilihat dalam cacatan sejarah, sebagaimana yang dibukukan oleh ahli sejarah, baik dalam sîrah maupun târîkh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Maghâzi al-Wâqidi, Tabaqât Ibn Sa’ad, Sîrah Ibn Hisyâm, Târîkh al-Umam Wa al-Mulk, Târîkh Ibn al-Atsîr, Târîkh Ibn Katsîr dan sebagainya. Buku-buku sejarah ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana Islam diterapkan sepanjang berabad-abad. Hanya dalam laporan sejarah sering kali tidak dipisahkan antara penerapan syariat yang gemilang dengan penyimpangan penerapannya. Dari sini bukti historis kadang malah menyebabkan keraguan di hati pengkaji sejarah. Maka, satu-satunya bukti paling otentik penerapan syariat Islam adalah kodifikasi hukum Islam yang terbukukan dalam kitab-kitab fiqih, mulai dari zaman Rasulullah hingga zaman Khilafah Uthmaniyyah di Turki.
Kendatipun demikian sejarah telah mencatat cacatan kegemilangan Islam selama 1300 tahun lebih ketika Islam diterapkan sebagai mabda' yang memimpin dunia, di mana angka orang yang dipotong tangan akibat kasus pencurian dan dikenai sanksi hudûd hanya 200 kasus. Rekor ini bisa diraih karena ketika mabda’ Islam diterapkan di tengah masyarakat, Islam akan membina masyarakat supaya menjadikan akidah Islam sebagai qiyâdah fikriyyah atau intellectual leadership mereka. Dengan demikian akan lahir ketakwaan dalam diri anggota masyarakat, di mana ketakwaan tersebut akan memancarkan sifat protektif (itqâ’), sehingga mampu mengendalikan diri setiap individu dan mendorong mereka untuk melaksanakan perintah Allah SWT serta meninggalkan larang-Nya. Masyarakatnya juga akan membawa pemikiran dan perasaan Islam, sehingga manjadikan anggota masyarakatnya aktif dan peka dalam melakukan amar ma’rûf dan nahy munkar sebagai kontrol sosial agar senantiasa berada di jalan Islam yang lurus. Sementara yang memainkan peranan paling penting dalam konteks ini adalah pemikiran dan metode Islam yang diterapkan dalam sebuah negara.
Secara empiris, banyak bukti bisa disaksikan hingga saat ini. Taqiy ad-Dîn an-Nabhâni memberikan gambaran yang rinci mengenai bukti tersebut yang terepresentasikan dalam dua aspek: Pertama, melalui lembaga pengadilan (alqadhâ’) yang bertugas menyelesaikan perselisihan di tengah masyarakat, baik kasus yang menyangkut anggota masyarakat dengan sesama anggota masyarakat, ataupun kasus antara anggota masyarakat dengan pejabat pemerintahan. Kedua, melalui institusi pemeritahan (alhâkim) yang bertugas melaksanakan seluruh hukum Islam di tengah masyarakat.
Mengenai pengadilan (al-qadhâ’), belum pernah ada dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi saw. hingga abad ke-19 M, diterapkan hukum lain selain hukum Islam, sebagaimana yang terbukukan dalam kodifikasi hukum Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Sepanjang 13 abad belum pernah ada satu masalah pun yang diselesaikan dengan menggunakan hukum lain, selain hukum Islam. Bahkan orang-orang non-Islam pun sangat menguasai hukum Islam dengan baik, sehingga ada di antara mereka yang mampu menulis kitab fiqih Islam, seperti Salîm al-Bâz, penulis syarah kitab undang-undang al-Majallah. Namun, setelah mahkamah dipecah menjadi sipil dan agama (syarî’ah), setelah merosotnya penguasaan fiqih Islam dan langkanya hakim syar’i, disamping karena mengikuti model perundang-undangan Barat, akibatnya kasus-kasus yang ada diselesaikan bukan dengan hukum Islam. Sekalipun demikian, dalam penerapannya hukum Islam tetap dilaksanakan di negeri-negeri kaum muslimin meski tidak utuh. Misalnya hukum potong tangan, rajam dan cambuk masih diterapkan di beberapa negeri kaum muslimin, baik di Arab Saudi, Malaysia maupun yang lain.
Mengenai bukti empiris penerapan Islam yang terepresentasikan dalam pemerintahan (al-hâkim) yang menerapkan hukum Islam sangat jelas. Ini dapat dilihat dalam buku-buku fiqih, antara lain terlihat melalui struktur: (1) Khalifah, (2) Wakil khalifah (Mu’âwin tafwîdh), (2) Pembantu administratif khalifah(Mu’âwin Tanfîdz), (4) Penguasa wilayah dan daerah (Wullât wa al-’ummâl), (5) Biro administrasi umum (al-Jihâz alidâri), (6) Panglima Perang (Amîr al-Jihâd), (7) Majlis Ummat dan (8) Pengadilan.
Inilah fakta dan bukti-bukti empiris yang telah membuktikan keutuhan Islam sebagai ajaran agama yang komprehensif, baik menyangkut konsepsi politik maupun spiritualnya. Semuanya dengan gamblang telah diajarkan Islam. Hal ini semakin menguatkan kedudukan Islam sebagai ideologi. Dengan metode penerapan Islam dengan Khilafah Islam, seluruh penyelesaian masalah yang lahir dari akidah Islam tersebut bisa diterapkan dan dijaga, sehingga tidak ada satupun hukum Islam yang diabaikan, atau bahkan ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Ghazâli menyatakan:
"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah penjaga; Apa saja yang (tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa saja yang (ada) tanpa penjaga, pasti juga akan hilang."
Dengan pemahaman Islam yang utuh seperti inilah para sahabat Rasulullah saw. berhasil melanjutkan dakwah dan kehidupan Islam yang dibangun Rasulullah saw. sehingga Islam di masa mereka tersebar luas dan berdaulat sampai ke hampir 2/3 belahan dunia. Panji-panji tauhid pun berkibar, hukum-hukum Allah yang sempurna ditegakkan, keadilan dan kesejahteraan ditebarkan.
Bagaimana dengan hari ini? Apakah Islam sebagai sebuah ideologi telah tampak dalam kehidupan keseharian kita? Atau Islam saat ini hanya teralienasi dalam skala spiritual semata? Apakah Islam yang dulu membawa kesejahteraan hari ini ditegakkan? Mengapa begitu meluas kemiskinan bahkan kemiskinan juga menimpa negeri ini padahal mayoritas penduduknya beragama Islam ?Temukan jawabannya dalam LIKA #6 , Islam Agamaku, Islam Mabdaku.