Saturday, October 8, 2011

LiKa Chapter 5

Manajemen Aktivitas

Katakanlah "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri". Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku". Katakanlah: "Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku". (TQS. Az-Zumar [39]: 11-14)

Dalam menjalani kehidupan, tentu ada aktivitas atau perbuatan yang kita lakukan bukan? Tahukah kita bahwa seluruh perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari syari’at. Artinya, perbuatan itu tidak memiliki status wajib, sunnah, haram, makruh, atau pun mubah. Dengan demikaian, manusia boleh melakukan perbuatan itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak ada ‘taklif’ (beban hukum) sebelum sampai pernyataan syara’. Mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Allah SWT berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“(Dan) Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Israa: 15)

Hanya saja, ketika Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada mereka maka mereka harus menjalankan atau terikat risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah SWT berfirman:

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisaa: 165)

Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakimanannya dan ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya ia pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan sebagian hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.

“... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” (QS. Al-Hasyr: 7)

Hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah tidak hanya untuk umat pada masa Nabi Muhammad hidup saja, namun berlaku seterusnya, termasuk hari ini, dan berlaku untuk seluruh umat manuisa.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semua.” (QS. Al-A’raf: 158)

Hukum Asal Perbuatan : Terikat Hukum Syara’

Perbuatan adalah apa-apa yang dilakukan manusia berupa aktivitas, baik ucapan atau perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara hukum syara’ didefinisikan sebagai seruan asy-syaari’ (pembuat hukum, Allah) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Ulama yang menelusuri/mendalami nash-nash dan hukum-hukum syara’, mendapati bahwa syara’ telah membatasi hukum-hukum terhadap perbuatan dengan lima macam status yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Semua hukum ini bisa diketahui dengan memahami dalil-dalil syara’.

Setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ(92)عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ(93)

”Maka demi Rabbmu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al Hijr: 92-93)

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ

”Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61)

Yang dimaksud dengan “Kami mejadi saksi” dalam ayat di atas, berupa pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka dan bahwa Dia akan menghisab dan menanyakan mereka. Rasulullah saw pun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan hukum Allah (hukum Islam) dengan sabdanya:

“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”

Dari sini maka jelaslah bahwa setiap perbuatan merupakan hukum syara’ yang wajib bagi seseorang untuk mencari dalil syara’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu sebelum dilakukan. Ditetapkannya status hukum suatu perbuatan sebagai mubah, makruh, wajib, sunnah atau haram ditentukan dari adanya dalil sam’i bagi hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (sahabat) dan qiyas.

Apa itu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram ? kapan suatu perbuatan mendapat status wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram? Bisakah saat ini kita tunduk pada semua hukum yang Allah berikan pada kita? Temukan jawabannya dan kita diskusikan dalam LIKA #5.

0 comments: