Kunci Perubahan dan Kebangkitan
Kadang-kadang, secara otomatis tergambar dalam benak kita bahwa an-nahdhah (kebangkitan) adalah kemajuan di bidang keilmuan, semakin meningkatnya produksi, pesatnya perkembangan industri, semakin canggihnya teknologi dan banyaknya penciptaan alat-alat yang mempermudah kehidupan. Hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa kebangkitan itu artinya kemajuan; berpindahnya masyarakat dan manusia dari suatu keadaan menuju keadaan lain yang lebih baik. Sehingga, sebagian orang mempunyai anggapan bahwa setiap negeri yang hidup dengan keadaan ekonomi yang makmur adalah negeri yang bangkit. Pernyataan ini telah telah dibantah oleh fakta yang nyata di sebagian besar negeri-negeri yang memiliki tingkat kemakmuran yang tinggi secara ekonomi, memiliki fasilitas kehidupan yang lengkap dan memiliki kehidupan yang mewah tetapi keadaan yang sebenarnya dari negeri-negeri tersebut adalah terbelakang dan terpuruk. Perceraian adalah hal biasa. Kriminal begitu mudah disaksikan . AIDS akibat pergaulan bebas merebak.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui definisi kebangkitan dan batasan maknanya serta tata cara mencapai kebangkitan tersebut. Dan apakah benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa kebangkitan itu adalah semakin tingginya tingkat pendidikan, semakin bertambahnya tingkat kekayaan dan dan semakin tingginya tingkat kesehatan? Sehingga jalan keluarnya adalah dengan cara menghilangkan sebab-sebab keterbelakangan seperti anggapan mereka yaitu kemiskinan, kebodohan dan penyakit? Apakah banyaknya sekolah, lembaga pendidikan, perguruan tinggi, sarjana dan lulusan pasca sarjana di seluruh bidang yang ada merupakan tanda kebangkitan sebuah negeri atau hanya merupakan proses menuju sebuah kebangkitan?
Sesungguhnya fakta menunjukkan bahwa sebagian besar negeri-negeri yang terbelakang tersebut tidak mampu melakukan apa-apa walaupun memiliki banyak sarjana dan lulusan pasca sarjana sehingga mereka menjadi tidak berguna, menjadi beban bagi negeri mereka dan tidak dapat disalurkan di lapangan kerja yang cocok dengan bidang mereka. Hal itu merupakan salah satu faktor yang memaksa mereka untuk pergi mencari pekerjaan ke luar daerah tempat tinggal mereka. Hal itu juga memaksa negeri mereka untuk membuat kebijakan pendidikan untuk membatasi jumlah sarjana di berbagai bidang serta membuat kriteria dan nilai tertentu untuk dapat lulus ketika melakukan penerimaan siswa baru. Hal itu dilakukan agar dapat meningkatkan kapasitas para sarjana yang tersebar di seluruh wilayah negeri tersebut dalam mencari pekerjaan atau menjadi karyawan sehingga dapat memberikan kesejahteraan hidup bagi mereka.
Jumlah sarjana dan lulusan pasca sarjana di sebagian besar negeri-negeri yang disebut dengan negara dunia ketiga atau negara berkembang melebihi jumlah sarjana dan lulusan pasca sarjana di negeri-negeri yang sudah maju. Akan tetapi, para sarjana dan lulusan pasca sarjana tersebut telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan ke negeri-negeri yang sudah maju. Bahkan banyak di antara mereka yang melepaskan kewarganegaraannya agar dapat tinggal di negeri-negeri tersebut.
Seandainya kita memperhatikan negeri manapun dari negeri-negeri dunia ketiga –yaitu negeri-negeri Islam- maka kita akan melihat perkara yang tidak masuk akal dan membingungkan. Ambil contoh negeri Mesir atau Pakistan atau Yordania atau Libanon atau Suriyah atau Turki atau yang lainnya, maka kita akan menemukan bahwa ratusan ribu putra-putrinya yang merupakan lulusan pasca sarjana di berbagai bidang seperti kedokteran, fisika, teknik, kimia, nuklir dan teknologi telah meninggalkan negeri-negeri mereka dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam rangka mencari penghidupan. Sebagian besar dari mereka tinggal di Amerika atau Jerman atau di negeri maju lainnya.
Telah banyak ulasan berkaitan dengan hal itu. Banyak penulis dan pemikir membahas hal tersebut dengan berbagai judul seperti “Pembajakan terhadap Orang-orang Pintar” atau “Hijrahnya Orang-orang Pintar ke negeri-negeri Orang Pintar” atau “Amerika telah Membeli Orang-orang Pintar Kita dengan Harta” dan judul-judul lainnya. Akan tetapi, orang-orang pintar dan para sarjana itu tidak dapat membangkitkan dan memajukan umat.
Dengan melakukan pengamatan yang mendalam terhadap negeri-negeri tersebut kita akan menemukan bahwa bahan mentah dan sumber daya alam serta sumber daya manusianya sangat melimpah. Kita dapat meringkas hal itu dengan satu kalimat singkat bahwa negeri-negeri tersebut adalah belahan bumi yang terkaya, dengan pemberian Allah yang begitu melimpah dan memiliki banyak kelebihan tetapi pada saat yang sama negeri-negeri tersebut menderita kemiskinan yang sangat parah dan memiliki utang yang begitu menggunung sehingga mencapai keadaan dimana mereka berutang untuk membayar utang sebelumnya dan tidak mampu untuk membayar lagi sehingga meminta penjadwalan utang kembali. Hal itu terus berlangsung tanpa ada akhirnya dari waktu ke waktu hingga mencapai kondisi yang kritis dan lebih parah dari waktu sebelumnya.
Hal itu disebabkan oleh salah satu dari dua faktor berikut yaitu bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan para pemimpin umat terhadap makna kebangkitan dan jalan untuk mencapai kebangkitan tersebut. Sehingga mereka kebingungan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan ketika menangani urusan-urusan masyarakat. Bisa jadi pula karena mereka adalah orang yang memang berpihak pada asing yang tentu asing tidak mengiginkan perubahan sesungguhnya di tengah masyarakat namun memastikan kepentingan mereka aman di negeri-negeri itu. Oleh karena itu, merupakan keharusan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebangkitan, apa asas-asas yang menjadi landasannya dan bagaimana cara untuk mencapai kebangkitan tersebut.
Apa yang membedakan suatu umat dengan umat yang lainnya? apa yang membedakan antara bangsa yang bangkit dengan bangsa yang terpuruk? Apa standar yang membedakan antara manusia yang bangkit dengan manusia yang terbelakang? Apa yang membedakan seseorang dengan yang yang lainnya padahal keduanya telah diberi potensi diri yang sama, keduanya juga sama-sama telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan untuk memuaskan keinginannya, akan tetapi ternyata orang yang satu memperoleh kemajuan sementara yang lain mengalami keterpurukan. Hal itu terjadi tanpa memperhatikan gaya dan model pakaiannya, tidak memperhitungkan bentuk tubuh dan rupanya atau warna kulitnya. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa penilaian kita atas kedua orang tersebut adalah penilaian yang benar yaitu penilaian yang objektif sesuai dengan faktanya. Hal itu terjadi karena kita tidak menetapkan penilaian atas perkara tersebut kecuali setelah kita menyaksikan perilakunya, melakukan pengamatan terhadap tingkah lakunya, dan melakukan interaksi dengannya.
Oleh karena itu, tidaklah salah apabila ada orang yang mendefinisikan iman sebagai sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dalam lisan dan diwujudkan dalam perbuatan atau mendefinisakan iman sebagai sesuatu yang diucapkan dengan lisan dan dibenarkan dengan perbuatan. Dengan demikian, bukti yang pasti dan cermin yang objektif, yang sesuai dengan gambaran sebenarnya itu adalah tindakan dan perilakunya bukan yang lain. Adapun perkataan dan tulisan bukanlah gambaran yang sebenarnya kecuali hanya sebagai indikator yang akan menjadi alat pengukur dan alat untuk mengetahui hakekat kepribadiannya. Allah SWT berfirman:
“Dan di antara manusia terdapat orang yang perkataannya mengenai kehidupan dunia membuatmu kagum sedangkan Allah menyaksikan apa yang terdapat dalam hatinya yaitu permusuhan yang sangat keras.” (QS. Al-Baqarah: 204).
“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hati mereka.” (QS. Al-Fath: 11).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan. Sangat besar kebencian di sisi Allah apabila kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan.” (QS. Ash-Shaf: 2).
Adapun penetapan yang sebenarnya adalah firman Allah SWT:
“Dan katakanlah,”Beramallah kalian, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang yang beriman akan melihat amal kalian itu.” (QS. At-Taubah: 105).
Penilaian atas seseorang tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan cara mengetahui tindakan dan perilakunya. Demikian pula, penilaian atas kepribadian seseorang, apakah dia tinggi atau rendah, harus didasarkan pada aspek perilakunya yaitu perbedaan dari aspek akidah dan pemikirannya atau pemahaman dan pengetahuannya. Apa yang terjadi pada individu bisa terjadi pula pada masyarakat karena masyarakat merupakan kumpulan individu yang di dalamnya terdapat interaksi yang terus menerus. Interaksi yang terus menerus itulah yang menjadikan kumpulan manusia tersebut sebagai sebuah masyarakat.
Apabila interaksi yang terus menerus itu tidak terjadi maka kumpulan itu akan tetap sebagai kumpulan individu-individu seperti halnya para penumpang kapal yang tidak disebut sebagai sebuah masyarakat. Dengan demikian, masyarakat itu bergantung pada adanya interaksi tersebut. Penilaian terhadap masyarakat dibangun berdasarkan pada adanya interaksi yang terus menerus itu, bukan dibangun berdasarkan penderitaan yang dialami seperti akibat bencana dan kemiskinan, bukan pula karena berdasarkan pada kesenangan seperti kemewahan dan kemakmuran. Oleh karena itu, interaksi inilah yang merupakan cermin yang sebenarnya, yang akan merefleksikan masyarakat yang sebenarnya. Interaksi ini pula yang mengatur kehidupan manusia. Melalui interaksi tersebut akan diketahui seperti apa adat dan tradisinya. Melalui perjalanan interaksi dan melalui pengamatan terhadap perilaku manusia dalam melakukan interaksi dan kemaslahatan mereka itu, kita dapat menilai sebuah masyarakat apakah masyarakat itu adalah masyarakat yang saleh atau masyarakat yang bejad. Kita pun dapat menilai apakah masyarakat tersebut adalah masyarakat yang maju atau masyarakat yang terpuruk.
Dalam kondisi seperti itu banyaknya pelajar, para intelektual dan para sarjana tidak mempunyai nilai apapun. Demikian pula pertumbuhan industri atau perdagangan, peningkatan ekonomi dan kekayaan. Faktor yang akan dijadikan penilaian adalah tegaknya interaksi sehingga sebuah msyarakat bisa disebut sebagai masyarakat. Maksudnya, bahwa penilaian itu dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman yang membimbing masyarakat tersebut dan yang dijalankan manusia ketika meraih kemaslahatan mereka. Penilaian itu juga dilakukan terhadap rasa benci dan suka yang dibentuk oleh pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman tersebut. Penilaian itu juga dilakukan terhadap nilai-nilai luhur yang mereka yakini dan aturan yang bersifat umum, yang menjaga interaksi tersebut dan mengaturnya serta memelihara apa yang mereka sepakati dalam masyarakat. Oleh karena itu, interaksi itu merupakan cermin yang sebenarnya, yang akan menjelaskan hakekat sebuah masyarakat. Sedangkan penilaian terhadap sebuah masyarakat, yang dibangun berdasarkan pada gambaran tersebut, merupakan penilaian yang objektif.
Tegaknya sebuah masyarakat bergantung pada unsur-unsurnya yaitu pemikiran, perasaan dan peraturan yang membangun interaksi di tengah masyarakat. Tegaknya sebuah masyarakat tidak ada kaitannya dengan kekayaan alam dan yang lainnya. Maksudnya, hal itu tidak ada nilainya bagi maju atau mundurnya sebuah masyarakat. Kita sudah sama-sama saksikan bagaimana melimpahnya kekayaan alam negeri Indonesia ternyata tidak otomatis membuat rakyatnya makmur. mengapa? Karena memang aturan yang dilaksanakan tidak memihak pada rakyat namun pada para pemilik modal.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan masyarakat haruslah ada perubahan terhadap pemikiran, perasaan dan peraturan di tengah masyaraktat. Pemikiran, perasaan, dan peraturan seperti apa? Tentu adalah pemikiran Islam, karena hanya Islam lah yang dipastikan kebenarannya dan kesempurnaannya untuk menjawab setiap jenis masalah manusia. Harus pula ditanamkan rasa suka dan rasa benci ditengah masyarakat berdasarkan Islam karena yang disukai dan dibenci Allah yang disampaikan melalui ajaran Islam adalah hal-hal yang memang untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Terakhir, harus diupayakan ada aturan Islam yang diterapkan di tengah masyarakat, karena pemikiran Islam yang sempurna ketika tidak diterapkan sebagai sebuah aturan legal formal dalam sebuah negara akan membuat kesempurnaan Islam tidak nampak dalam kehidupan, membuat Islam tidak menjadi pemecah masalah manusia. Kondisi ini yang bisa kita lihat di Indonesia dan di semua negeri muslim lainnya.
Ringkasnya, untuk membangkitkan masyarakat harus ada penanaman Islam sebagai sebuah mabda (ideologi) di tengah masyarkat, sebuah ideologi yang berdiri di atas akidah rasional yang melahirkan sebuah sistem. Penanaman inilah yang kemudian disebut sebagai dakwah.
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, “ Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” ( Thaaha :123-126)
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. “ (TQS. al-Mâ’idah [05]: 48)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” ( ar-Rum : 41)
0 comments:
Post a Comment