Daftar Isi
Ibadah dalam Islam
Islam mencakup akidah dan syariat. Akidah meliputi perkara-perkara keimanan, sedangkan syariat meliputi perkara-perkara praktis. Termasuk dalam syariat yaitu hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, ekonomi, pemerintahan, pergaulan, peradilan, sanksi, dakwah, dan jihad.
Ibadah merupakan bentuk interaksi manusia dengan Allah. Padahal, hanya Allah yang tahu mengenai diri-Nya. Dengan demikian, teknis pelaksanaan ibadah sepenuhnya merupakan wewenang Allah. Ekstremnya, kalau Allah sama sekali tidak menerangkan adanya aktivitas ibadah, maka manusia tidak boleh mengadakan aktivitas ibadah.
Jadi, dalam hal ibadah, segala hal mengenai pelaksanaanya harus merujuk pada dalil. Hukum asal ibadah yaitu haram kecuali ada dalil yang menerangkannya.
Hadits Marfuu' dan Mawquuf
Dalam ilmu hadits, dikenal istilah hadits marfuu' dan mawquuf. Hadits marfuu'marfuu' bisa dikenali dari isinya yang secara eksplisit merujuk pada aktivitas Rasulullah atau bisa juga dari indikasi-indikasi tertentu. yaitu hadits yang disandarkan pada perkataan, perbuatan, atau pendiaman Rasulullah. Hadits
Hadits mawquuf' yaitu "hadits" yang tidak sampai ke Rasululah. Dengan kata lain, hadits mawquuf' pada dasarnya hanyalah perkataan, perbuatan, atau pendiaman sahabat. Derajat paling tinggi untuk hadits mawquuf' yaitu ijtihad sahabat, bukan "hadits" yang sebenarnya.
Dalam dokumen ini, indikasi-indikasi hadits marfuu' tidak akan saya bahas. Yang akan saya sampaikan yaitu bahwa hadits marfuu', jika memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak akan saya bahas, dapat digunakan sebagai dalil syar'iymawquuf' tidak dapat digunakan sebagai dalil syar'iy karena bukan berasal dari Rasulullah. karena berasal dari Rasulullah, sementara hadits
Penentuan Ramadhan dan Syawal
Ramadhan dan Syawal ditentukan berdasarkan rukyat, atau pengamatan, hilal atau Bulan sabit pertama, bukan perhitungan. Berikut dalil-dalil untuk klaim tersebut.
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR Bukhari nomor 1776 dari Abu Hurairah)
"Apabila kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya (hilal), maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah." (HR Bukhari nomor 1767 dari Abu Hurairah)
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh hari." (HR Muslim nomor 1810 dari Abu Hurairah)
"Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya. Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari." (HR Bukhari nomor 1773, Muslim nomor 1795, an Nasa'i nomor 2093; dari Abdullah bin Umar)
Peran Perhitungan Astronomis dalam Penentuan Ramadhan dan Syawal
Ramadhan dan Syawal ditentukan dengan rukyat hilal. Kalau begitu, apa peran perhitungan astronomis dalam penentuan Ramadhan dan Syawal?
Klaim Rukyat Lokal
Ada pihak yang menganggap bahwa tiap tempat di Bumi memiliki mathla' (tempat terbit) sendiri-sendiri. Konsekuensi dari anggapan ini yaitu tiap tempat bisa memiliki hasil pengamatan hilal yang berbeda satu sama lain dan berlaku untuk tempat yang bersangkutan. Anggapan ini didasarkan pada hadits berikut.
"Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, "Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu 'Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, "Kapan kalian melihat hilal?" Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jumat." Dia bertanya lagi, "Apakah kamu sendiri melihatnya?" Aku jawab lagi, "Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata lagi, "Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu, maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya." Aku lalu bertanya, "Tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Muawiyyah?" Dia menjawab, "Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami."" ( HR Muslim nomor 1819, Abu Dawud nomor 1985, at Tirmidzi nomor 629, an Nasa'i nomor 2084, Ahmad nomor 2653; dari Kuraib)
Hadits di atas memiliki dua kelemahan. Berikut penjelasan kelemahan hadits di atas.
-
Status hadits Kuraib masih diragukan, apakah termasuk marfuu' atau mawquuf (lihat pasal Hadits Marfuu' dan Mawquuf). Jawaban Ibnu 'Abbas, "Laa, hakadzaa amaranaa Rasuulullah ... ," atau, "Tidak, demikianlah Rasulullah telah memerintahkan pada kami ... ," muncul sebagai tanggapan atas peristiwa yang disampaikan Kuraib pada Ibnu 'Abbas. Lafal "amaranaa" yang bermakna "telah memerintahkan kepada kami" memang seolah-olah menunjukkan bahwa Ibnu 'Abbas merujuk pada Rasulullah. Yang jadi masalah yaitu apakah peristiwa serupa pernah terjadi pada masa Rasulullah.
Berikut contoh hadits yang juga menggunakan lafal "amaranaa".
"Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fitrah agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk salat." (HR Abu Dawud)
Peristiwa yang dibahas dalam hadits di atas jelas terjadi pada masa Rasulullah. Ini berbeda dengan hadits Ibnu 'Abbas yang seolah-olah muncul sebagai jawaban atas perkara yang muncul pada masanya. Perkataan Ibnu 'Abbas seolah-olah merupakan ijtihadnya, bukan penuturan yang merujuk langsung pada Rasulullah. Padahal, hadits yang jelas marfuu' lebih dikuatkan dari hadits yang disangsikan ke-marfuu'-annya.
- Seandainya hadits Ibnu 'Abbas di atas diamalkan, akan muncul masalah, "Berapa jarak paling dekat sehingga perbedaan awal Ramadhan atau Syawal diizinkan?" Pun ulama yang mengamalkan hadits tersebut berbeda pendapatnya mengenai masalah ini. Ada yang berpendapat jaraknya sama dengan jarak qashar. Ada juga yang berpendapat bahwa perbedaan mathla'nash-nash syar'iy. boleh diadakan untuk daerah-daerah yang berbeda iklimnya. Yang pasti, semua usulan standard jarak minimum tadi sama sekali tidak ada penjelasannya dalam
Klaim Rukyat Global
Klaim rukyat global justru dikuatkan diantaranya oleh hadits yang sudah jelas marfuu' dari Ibnu 'Abbas.
"Dari Ibnu 'Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.""(HR at Tirmidzi nomor 624, Ibnu Hibban nomor 2301; dari Ibnu 'Abbas)
Dalam hadits di atas, digunakan lafal "shumuu" atau "berpuasalah kalian" dan "afthiruu" atau "berbukalah kalian". Lafal "shumuu" dan "afthiruu" merupakan seruan untuk pihak kedua jamak. Ini bermakna bahwa seruan "berpuasa" dan "berbuka" dalam hadits berlaku untuk muslimin tanpa menghiraukan daerahnya. Dua seruan ini dijalankan dengan ketentuan "li ru'yatihi" atau "karena melihatnya" yang maknanya umum. Dengan kata lain, kesaksian melihat hilal dari siapapun dapat dijadikan dasar sudah masuknya Ramadhan atau Syawal bagi seluruh muslim di daerah manapun.
Pandangan di atas dikuatkan oleh hadits berikut, yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshar.
"Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari, datanglah beberapa musafir dari Mekah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan salat id pada keesokan harinya." (HR Ahmad, disahihkan oleh Ibnu Mundir dan dan Ibnu Hazm)
Berikut hadits dari Ibnu 'Abbas.
"Datang seorang Badui ke Rasulullah saw seraya berkata, "Sesungguhnya aku telah melihat hilal." (Hasan, perawi hadits, menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah saw bersabda, "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?" Dia berkata, "Benar." Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, "Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?" Dia berkata, "Ya benar." Kemudian Rasulullah bersabda, "Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok."" (HR Abu Dawud, at Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, atau apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Rasulullah langsung memerintah muslimin untuk berpuasa ketika orang yang melakukan rukyat itu muslim.
Kendala Rukyat Global
Dapatkah hilal teramati di suatu tempat tapi tidak teramati di tempat lain? Ini dapat terjadi.
Pada dasarnya, semua benda langit memiliki gerak diri masing-masing. Bulan, dibandingkan benda langit lain terutama Matahari, bergerak ke timur dengan laju 50 menit tiap 24 jam
. Kelajuan 50 menit tiap 24 jam
sama dengan 12,5 derajat tiap 24 jam
atau 3,125 derajat tiap 6 jam
. Dengan kata lain, dengan mengabaikan kecilnya kemiringan bidang orbit Bulan terhadap bidang orbit Bumi, selisih waktu lokal sebesar 6 jam
sudah cukup untuk "menggeser" Bulan sejauh lebih dari 2 derajat
. Padahal, ketinggian 2 derajat
dari ufuk merupakan kriteria di Indonesia untuk suatu fase Bulan itu hilal atau tidak.
Dengan adanya masalah di atas, masih dapat diterimakah klaim rukyat global? Klaim rukyat global jelas dapat diterima tanpa menghiraukan masalah di atas. Dalam hal ini, kekuatan klaim ditentukan oleh kekuatan dalil, bukan oleh fakta empiris. Masalah di atas justru merupakan tantangan bagi muslim, yang kini tersebar dari Nusantara, memutari Bumi hingga Nusantara lagi, untuk mengembangkan sistem komunikasi global. Ini sama saja dengan dikembangkannya ilmu geografi, astronomi, dan navigasi di masa lalu oleh muslimin untuk memudahkan dakwah dan jihad.
Ada masalah yang menjadikan rukyat global sukar diterapkan, yaitu sekat nasionalisme. Muslimin di sebagian daerah Sumatera, yang zona waktu lokalnya sama dengan zona waktu lokal sebagian Malaysia, bisa jadi memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan bersamaan dengan muslimin di Papua tapi tidak bersamaan dengan muslimin di Malaysia. Kalau ini masalahnya, sains dan teknologi tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan. Hanya otoritas global yang tidak berasaskan nasionalisme saja yang mampu menghapus sekat nasionalisme.
Penentuan Idul Adha
Untuk menentukan Idul Fitri, terlepas dari pembahasan kekuatan klaim, ada ulama yang menerapkan rukyat lokal dan ada yang menerapkan rukyat global. Namun, perbedaan semacam ini seharusnya tidak ada pada penentuan Idul Adha.
Silakan simak hadits berikut.
"Amir Mekah pernah berkhutbah dan berkata, "Rasulullah saw mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya."" (HR Abu Dawud nomor 2338 dan ad Daruquthni Juz II/167; dari Husain Ibn al Harits al Jadali ra)
Dengan demikian, waktu pelaksanaan manasik haji, seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Mudzdalifah, atau melempar jumrah, merujuk pada rukyat pihak yang memerintah Mekah, bukan Madinah, Kairo, Aceh, atau Makasar. Seruan ini berlaku umum tanpa menghiraukan kondisi penguasa Mekah, apakah sah atau tidak, apakah zalim atau adil.
Simak juga hadits berikut.
"Sesungguhnya Rasulullah saw telah melarang puasa pada Hari Arafah di Arafah." (HR Abu Dawud, an Nasa'i, dan Ibnu Khuzaimah)
Hadits di atas berkaitan dengan puasa sunah Arafah bagi yang bukan jamaah haji. Puasa Arafah dilaksanakan pada saat jamaah haji wukuf di Arafah. Padahal, penentuan saat wukuf diserahkan pada pihak yang memerintah Mekah. Jadi, Idul Adha, yang pelaksanaannya sehari setelah hari wukuf, pun dilaksanakan saat jamaah haji menyembelih hewan kurban, yang lagi-lagi tentunya dilaksanakan pada hari yang telah ditentukan oleh penguasa Mekah.
Jadi, muslimin di manapun boleh melakukan rukyat hilal Dzulhijjah, tapi mereka harus melaksanakan puasa Arafah dan Idul Adha bersamaan dengan wukuf dan penyembelihan hewan kurban jamaah haji. Sesungguhnya waktu dan tempat haji itu sudah jelas dan tidak ada perbedaan mengenainya.